Antara Musik dan Demokrasi - Tinta Media

Selasa, 04 Juni 2024

Antara Musik dan Demokrasi

Tinta Media - Belum lama ini Ustadz Adi Hidayat (UAH) mendapatkan banyak hujatan akibat ceramahnya yang menghalalkan musik. Para penghujat berpandangan musik adalah haram dan yang menghalalkannya dianggap menyimpang dari Alqur'an dan Sunnah. Anehnya, terhadap demokrasi dan pemuja demokrasi para penghujat UAH lebih banyak diam bahkan justru ada yang ikut serta dalam pesta demokrasi.

Padahal jika ditakar dengan Al-Qur’an dan Sunnah, demokrasi bukan hanya menyimpang melainkan bertentangan dengan akidah Islam.

Demokrasi meletakkan kedaulatan di tangan rakyat. Artinya, rakyat yang berhak membuat hukum. Teknisnya, rakyat diwakili sejumlah orang untuk menyusun dan memutuskan hukum yang dianggap baik dan sesuai dengan kepentingan rakyat.

Kedaulatan rakyat jelas ditolak dalam Islam. Sebab, akidah Islam hanya meyakini kedaulatan ada di tangan Allah Subhanahu Wa Ta'ala. Sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an surat Yusuf ayat 40 yang artinya, "keputusan itu hanyalah milik Allah."

Dalam tafsir Ibnu Katsir dijelaskan bahwa keputusan, kekuasaan bertindak, kehendak dan kekuasaan seluruhnya hanya milik Allah dan Allah telah memerintahkan seluruh hamba-Nya untuk tidak beribadah kecuali hanya kepada-Nya.

Dengan menjadikan kedaulatan berada di tangan rakyat berarti rakyat menjadi penentu suatu aturan baik atau buruk, benar atau salah. Rakyat juga yang menentukan sesuatu itu halal atau haram. Ini jelas melanggar hak Allah sebagai satu-satunya yang berhak mengatur kehidupan manusia.

Dalam Al-Qur’an surat Attaubah ayat 31, Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman yang artinya, "mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan selain Allah."

Adi bin Hatim menanggapi ayat tersebut sebagaimana dikisahkan dalam hadits riwayat Imam Ahmad, Imam Turmudzi dan Imam Ibnu Jarir, sesungguhnya mereka tidak menyembahnya. Lalu Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam bersabda: "Tidak, sesungguhnya mereka mengharamkan hal yang halal bagi para pengikutnya dan menghalalkan hal yang haram, lalu mereka mengikutinya. Yang demikian itulah penyembahan mereka kepada orang-orang alim dan rahib-rahib mereka."

Apalagi demokrasi terlahir dari akidah sekularisme yaitu akidah yang memisahkan agama dari kehidupan. Tentunya, akidah sekularisme ini bertolak belakang dengan akidah Islam yang justru mengharuskan manusia untuk senantiasa beribadah kepada Allah, tunduk dan patuh kepada seluruh aturan Allah agar meraih keselamatan dan kebahagiaan di dunia maupun di akhirat.

Demokrasi menjamin empat macam kebebasan, yaitu kebebasan beragama, kebebasan berpendapat, kebebasan kepemilikan dan kebebasan berperilaku. Dengan terjaminnya empat kebebasan ini, demokrasi secara tidak langsung menyuburkan berbagai macam bentuk pelanggaran syariat Islam. Sebab, Islam memiliki aturan yang ketat dan tegas terkait akidah, aturan yang kompleks terkait perilaku manusia termasuk di dalamnya perkataan, tata cara berpendapat juga mencakup soal kepemilikan.

Kebebasan beragama misalnya telah menumbuhsuburkan berbagai aliran sesat serta berbagai paham yang menyimpang seperti pluralisme. Fenomena nikah beda agama bahkan pindah agama menjadi hal yang biasa. Padahal dalam Islam, sebagaimana dalam hadits riwayat Muslim dan ashhab assunan, pindah agama (Murtad) dari Islam diancam dengan hukuman mati.

Atas nama kebebasan berpendapat dan kebebasan berperilaku bermunculan orang-orang yang berani menghina ajaran Islam bahkan menghina Nabi Muhammad shalallahu 'alaihi wasallam. Demokrasi pun memberikan perlindungan bagi siapa yang berekspresi dalam hal berpakaian maupun dalam hal memuaskan nafsu seksnya. Hasilnya, banyak yang tidak malu-malu mengumbar aurat di depan umum, bahkan ada yang nekat melakukan hubungan layaknya suami istri di area publik.

Dalam hal kebebasan kepemilikan, demokrasi memberi angin segar bagi para manusia serakah untuk menguasai kekayaan alam tanpa batas. Dengan alasan kompetisi, para pemilik modal bebas mengembangkan bisnisnya di mana pun dengan cara apa pun. Hasilnya yang kaya semakin kaya sedangkan yang gagal berkompetisi karena kurangnya modal akan semakin terpuruk.

Berdasarkan penjelasan singkat di atas sudah seharusnya umat Islam menolak demokrasi dan menjauhkannya dari kehidupan kaum muslimin. Kaum muslimin harus bersikap tegas, karena jika tidak akan berakibat terjadinya berbagai kemaksiatan akibat diterapkannya demokrasi. Sikap tegas kaum umat ini haruslah melebihi dari penolakannya terhadap musik. Sebab kerusakan yang diakibatkan oleh demokrasi jauh lebih besar dari yang diakibatkan musik.

Apalagi demokrasi justru menghidupkan musik yang cenderung menjauhkan dari mengingat Allah. Dengan kebebasan berekspresi mendorong para pemusik mengembangkan seninya tanpa peduli melanggar syariat Islam atau tidak. Kenyataannya, musik yang berkembang di tengah masyarakat saat ini adalah musik yang mendorong pendengarnya bermaksiat.

Karena itu sikap kaum muslimin yang paling tepat saat ini dalam menjauhkan diri dari kemaksiatan adalah menolak demokrasi, melawan upaya propagandanya dan membongkar wajah demokrasi sesungguhnya. Di saat yang sama memahamkan kaum muslimin tentang syariat Islam secara kaffah dan berusaha menegakkannya dengan dakwah secara sungguh-sungguh.

Oleh: Muhammad Syafi’i, Aktivis Dakwah

Rekomendasi Untuk Anda × +

Bagikan artikel ini

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini.

Artikel Menarik Lainnya :