Sistem Kapitalis Pemicu Pornografi - Tinta Media

Jumat, 03 Mei 2024

Sistem Kapitalis Pemicu Pornografi

Tinta Media - Seiring dengan kemajuan teknologi, semakin marak konten-konten bermunculan di media sosial. Tapi sayangnya marak pula konten yang bermuatan negatif. Dengan mudahnya masyarakat setiap hari disuguhi dengan konten-konten di media sosial yang tidak pantas untuk ditayangkan, salah satunya konten pornografi. Bahkan semakin berani dan vulgar. Dan mirisnya kali ini kita mendengar berita konten pornografi anak.

Seperti yang disebutkan oleh Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Hadi Tjahjanto bahwa Indonesia masuk peringkat keempat   dengan kasus pornografi anak terbanyak. Data tersebut diungkap oleh National Center for Missing Exploited Children (NCMEC). Bahkan korbannya tidak tanggung-tanggung yakni  dari disabilitas, anak-anak, SD, SMP, SMA, bahkan PAUD, (Liputan 6)

"Temuan konten  pornografi anak Indonesia selama 4 tahun sebanyak  5.566.015 kasus. Indonesia masuk keempat secara  internasional dan kedua dalam regional ASEAN", ujar Hadi dalam konferensi pers di Kemenko Polhukam, Kamis (18-4-2024).

Mirisnya, jumlah tersebut belum menggambarkan di lapangan. Pasalnya, masih banyak korban yang enggan mengungkapkan kasusnya. Sayangnya lagi, kasus ini belum ada jalan solusinya. Bahkan pemerintah tengah berupaya mengatasi kasus pornografi anak di tengah kasus-kasus pornografi lain yang belum selesai. Salah satunya dengan cara menurunkan atau melakukan take down konten terkait itu di media sosial.

Fakta yang membahayakan, merusak dan memalukan ini menjadi bisnis yang tidak pernah padam. Industri pornografi memang menjanjikan perputaran uang yang besar dan cepat, tapi nir faedah dan nir adab. Bahkan seharusnya tidak boleh dibiarkan ada. Karena perbuatan yang amoral ini tentu merusak generasi dan peradaban mulia manusia.

Lihatlah hari ini dampaknya, betapa banyak kasus pemerkosaan maupun pelecehan seksual, yang korbannya sudah menyasar pada anak-anak usia dini. Dan tak kalah menyedihkannya ternyata tidak sedikit pelaku kasus asusila ini adalah orang terdekat korban. Ada teman dekat, tetangga, kakek kandung, paman kandung, kakak atau adik kandung bahkan ayah kandungnya sendiri.

Orang terdekat yang seharusnya menjadi pelindung, justru menjadi penghancur masa depan anak perempuan mereka  sendiri. Sebuah fakta yang menyedihkan sekaligus mengerikan.

Salah satu pemicunya adalah mulai dari pengaruh pergaulan bebas, minuman keras,  konten pornografi yang bebas mereka akses hingga tuntutan sulitnya ekonomi. Belum lagi  kemajuan teknologi digitalisasi media yang telah membuat  pornografi berkembang. Stimulus seksual bertebaran dimana-mana dalam beragama bentuk, baik tontonan maupun gambar-gambar, lukisan, dan lain-lain. Di sisi lain media dan pergaulan bebas berkolaborasi merusak generasi, hingga pada usia anak yang masih belia di kehidupan mereka telah hadir predator seksual yang terus mengintai. Tidak cukup melakukan  pelecehan tetapi mereka direkam lalu diunggah demi mendapatkan cuan.

Untuk menangani kasus ini, beragam langkah antisipasi dan upaya mereduksi kasus telah pemerintah lakukan. Namun sayangnya tidak  mengurangi problem pornografi khususnya pada anak. Kondisi ini sejatinya menunjukkan betapa negeri ini  memiliki segudang masalah sosial. Tapi itulah konsekuensi wajar jika hidup di dalam sistem yang rusak dan merusak seperti demokrasi sekuler saat ini. Solusi yang dihadirkan pun bukannya menyelesaikan masalah tapi justru mendatangkan masalah baru.

Walhasil, ini tidak bisa  diselesaikan hanya  dengan menyerukan pentingnya edukasi seks pada anak atau sekedar memeriksa kondisi psikologis pelaku saja. Pornografi adalah masalah besar yang harus segera ditangani dan diselesaikan. Jika dibiarkan akan menambah panjangnya penyakit sosial di masyarakat, juga yang terpenting adalah nasab keturunan yang kian kacau. Apakah ini masalah individu? Tentu bukan. Untuk menciptakan atmosfer sosial yang sehat tentunya membutuhkan peran negara. Negara sangat berperan penting dalam menciptakan sistem sosial yang sehat dan bersih dari pornografi. Dengan demikian negara wajib  memberikan perlindungan hakiki pada anak.

Hanya saja di sistem sekuler ini, prinsip kebebasan yang dianut masyarakat sangat kuat, seakan jadi batu penghalang. Menjadi dilema tatkala negara harus menjadi pelanggar kebebasan. Berbeda dengan Islam, untuk mengurangi pornografi, Islam memiliki konsep yang khas. 

Setidaknya ada dua hal untuk mengurangi pornografi. Pertama, menerapkan syariat yang melindungi tata sosial. Kedua,  menerapkan politik yang melindungi masyarakat dari konten pornografi.

Dalam sistem Islam, negara mengatur tata cara pergaulan antara laki-laki dan perempuan.  Salah satunya tidak campur baur antara laki-laki dan perempuan terkecuali dalam muamalah, pendidikan dan kesehatan. Islam juga menjaga agar laki-laki dan perempuan sama-sama menjaga kemuliaan dan kehormatan demi mewujudkan tata sosial yang sehat. Negara juga melindungi masyarakat dari informasi dan visualisasi media yang mengacaukan sistem sosial masyarakat. Selain itu, hukum Islam yang lengkap, tegas dan keras tentu akan semakin efektif untuk mencegah dan mengatasi seluruh masalah pornografi.

Dengan sistem Islam akan terwujud sistem pergaulan yang sehat dan generasi yang terlindungi dari hal-hal negatif yang merusak. Wallahu a'lam bish shawwab.

Oleh: Ummu Nizam
Sahabat Tinta Media 
Rekomendasi Untuk Anda × +

Bagikan artikel ini

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini.

Artikel Menarik Lainnya :