PHK, Efek Domino Ekonomi Kapitalis - Tinta Media

Minggu, 26 Mei 2024

PHK, Efek Domino Ekonomi Kapitalis

Tinta Media - Ekonomi dunia saat ini di ambang bahaya besar dan akan mengalami stagflasi. Inilah pandangan yang diungkapkan Borge Brende, Presiden World Economic Forum (WEF) saat melakukan konferensi di Qatar (CNBC Indonesia).

Stagflasi adalah siklus ekonomi yang ditandai dengan pertumbuhan yang lambat dan tingkat pengangguran yang tinggi disertai inflasi. Kombinasi ini sangat sulit untuk ditangani, karena upaya untuk memperbaiki salah satu faktor dapat memperburuk faktor lainnya.

Hal inilah yang membuat perusahaan banyak melakukan PHK sebagai solusi anti resesi.  Selain ketidakpastian ekonomi di negeri kita sendiri, membludaknya PHK di antaranya muncul karena ketakstabilan politik di masa transisi saat ini, serta akibat perang Rusia-Ukraina, lemahnya ekonomi di negara tujuan eksport, dan  serbuan barang impor yang membanjiri pasar lokal. 

Kementerian Ketenagakerjaan sendiri telah merilis jumlah angka PHK pada tahun 2024 (Januari-Maret) ini. Khusus di Jawa Barat, angka PHK berjumlah 2.650, sementara DKI Jakarta dengan jumlah angka PHK lebih tinggi, yaitu 8.876 pekerja, disusul kemudian Jawa Tengah dengan angka PHK 8.648 pekerja. Belum lagi angka PHK di daerah lainnya yang menurut prediksi Menteri Ketenagakerjaan akan ada sekitar 41 juta jiwa berisiko menganggur dan 16 juta jiwa kehilangan pekerjaan hingga tahun 2025.

Dengan kompleksnya permasalahan yang terjadi di dunia kerja saat ini, seharusnya  negara memberikan solusi agar dapat menyelamatkan perusahaan dan juga pegawai.  Namun sayang, negara seolah tak berdaya untuk mengatasi permasalahan ini. 

Alih-alih memberikan solusi, negara malah membuat regulasi yang makin menyulitkan pekerja dengan hadirnya UU Cipta Kerja yang memberikan kemudahan kepada perusahaan untuk melakukan PHK yang memunculkan masalah-masalah baru sebagai efek dari PHK.

Alhasil, rakyat kembali menjadi tumbal. PHK menjadikan kesulitan hidup semakin berat, di tengah sulitnya pemenuhan kebutuhan hidup akibat kenaikan pajak yang mengakibatkan harga komoditas barang melonjak naik. Begitu juga dengan biaya kesehatan hingga biaya sekolah anak.

Hal ini jelas akan semakin menambah jumlah warga miskin di negeri gemah ripah loh jinawi ini. Miris memang, kehidupan rakyat bak tikus yang mati di lumbung padi. Terlebih, efek kemiskinan akan menambah berbagai persoalan sosial mulai dari depresi, tindak kriminalitas, hingga bunuh diri.

Inilah potret buram kehidupan hasil dari penerapan sistem kapitalisme demokrasi  yang selalu dibanggakan. Sistem ini lahir dari sekularisme yang menihilkan peran agama dalam mengatur kehidupan manusia. Alhasil, penerapan sistem kapitalisme dalam bidang ekonomi menjadikan para oligarkilah yang menjalankan kebijakan ekonomi sekehendaknya, tanpa memikirkan efeknya terhadap kehidupan rakyat.

Mereka hanya mengejar keuntungan diri dan kelompok sebanyak-banyaknya. Terlebih, negara abai dan tutup mata akan hal ini, bahkan bergandengan tangan dan menjadi kaki tangan para oligarki.

Negara membuat regulasi yang akan menambah pundi kekayaan, membuka peluang bagi kepentingan mereka untuk mengeruk sumber daya alam yang melimpah. Hal ini tampak pada produk UU seperti UU privatisasi, UU minerba, hingga UU Omnibuslaw Cipta Tenaga Kerja.

Melalui UU tersebut, mereka diberi keleluasaan menguasai kekayaan alam yang seharusnya menjadi milik umum, mulai dari tambang hingga pulau yang seharusnya dikelola oleh negara untuk dapat menghidupi rakyat.

Oligarki semakin buncit sementara rakyat kecil tidak mendapatkan apa-apa, kecuali remahan ekonomi, melalui kerja sebagai buruh, atau pegawai rendahan yang mudah untuk di-PHK dan hidup dalam bayang-bayang pengangguran dan kemiskinan.

Berbeda dengan Islam, sistem hidup yang berasal dari Allah Swt. ini memiliki regulasi yang sempurna dalam mengatur kehidupan manusia. Penerapan sistem perekonomian Islam berasaskan halal dan haram, menetapkan kebijakan terkait penyediaan lapangan pekerjaan bagi rakyat.

Negara Islam atau Khilafah akan membuka lapangan pekerjaan seluas-luasnya dalam berbagai sektor, seperti industri, pertanian, peternakan, pengelolaan sumber daya alam, perdagangan, dan bidang lainnya dengan gaji yang layak sesuai standar hidup di wilayah setempat.

Selain itu, negara khilafah juga akan mewujudkan iklim usaha yang aman, mulai dari penyediaan modal usaha yang mudah, juga penyiapan SDM rakyat yang terampil dalam skill (kemampuan) apa pun. Dunia pendidikan akan dipenuhi oleh lembaga-lembaga pendidikan (sekolah dan perguruan tinggi), yang diselenggarakan oleh negara secara gratis, tetapi tetap berkualitas tinggi.

Hal tersebut karena pendidikan merupakan salah satu kebutuhan dasar rakyat, selain  kesehatan, dan keamanan, yang menjadi kewajiban negara untuk memenuhinya secara gratis. Pembiayaannya diambilkan dari pos pemasukan Baitul Mal hasil dari pengelolaan SDA yang merupakan harta milik umum.

Rasulullah saw. bersabda:

"Kaum muslimin berserikat dalam tiga perkara, yaitu padang rumput, air, dan api." (HR. Abu Dawud dan Ahmad).

Hadis tersebut menyatakan bahwa ketiganya tidak boleh dimiliki oleh individu dan  haram untuk diswastanisasi, tidak untuk dikelola asing atau swasta, dan wajib dikelola oleh negara yang hasilnya diperuntukkan untuk mengurusi kehidupan rakyat.

Selain itu, akan diciptakan iklim usaha yang sehat, aman, dan adil bagi semua rakyat, sehingga kemandirian dan ketahanan ekonomi akan tercipta. Ditopang oleh sistem moneter yang berbasis pada emas dan perak, akan semakin mengokohkan ekonomi negara. Wallahu’alam bisshawwab.

Oleh: Thaqiyunna Dewi, S.I.Kom., Sahabat Tinta Media 

Rekomendasi Untuk Anda × +

Bagikan artikel ini

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini.

Artikel Menarik Lainnya :