Tinta Media - Sebuah gudang di Jalan Kapten Sumarsono, kecamatan Medan Helvetia digerebek oleh petugas gabungan pada hari Kamis, 25 April 2024 lalu. Gudang tersebut ternyata digunakan untuk tempat pembuatan minuman keras (miras) oplosan. Penggerebekan ini pun membuat kehebohan para warga sekitar dan berbondong-bondong datang ke lokasi. Warga sekitar juga tidak pernah menaruh curiga karena gudang itu dianggap kosong. (Tribun-Medan.com, 25/04/2024)
Penggerebekan kembali dilakukan oleh aparat karena yang diproduksi adalah miras oplosan. Hal ini menjadi perhatian oleh negara karena banyak korban yang jatuh akibat minuman oplosan. Sehingga miras oplosan mendapat perhatian lebih dari pemerintah.
Miras oplosan dikatakan jauh berbeda dengan minuman beralkohol resmi yang dapat dibeli di hotel atau supermarket. Hal ini disampaikan oleh Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Bidang Kebijakan Publik Danang Girindrawardana dalam perbincangan bisnis yang diadakan di Restoran Salero Jumbo pada Rabu, 21 September 2021 lalu. Hal ini disampaikannya karena dia merasa negara mencampuradukkan masalah ekonomi dengan masalah sosial ketika pemerintah membahas mengenai pelarangan minuman beralkohol (minol).
Beginilah gambaran negeri yang menerapkan sistem kapitalis-liberal yang mana berdiri atas dasar pemisahan agama dari kehidupan dan segala sesuatu dinilai dengan materi (keuntungan) sehingga semua lini kehidupan dijadikan lahan bisnis tanpa melihat apakah hal tersebut halal/haram. Dalam sistem kapitalis setiap barang yang memiliki permintaan dipasar dianggap barang ekonomis. Sehingga, produksi, distribusi/peredaran dan konsumsinya bebas dalam sistem kapitalis. Negara berperan sebagai regulator sehingga yang beredar adalah miras/minol yang legal menurut undang-undang. Sedangkan miras oplosan dianggap ilegal karena dapat memakan korban.
Baik miras oplosan maupun miras yang katanya legal yang dijual di hotel dan supermarket sama saja. sama-sama memberikan efek memabukkan yang pada akhirnya menimbulkan kejahatan. Kasus pembunuhan satu keluarga yang dilakukan remaja pada bulan Februari yang lalu juga dimulai dengan pesta miras. Tidak hanya membunuh. Remaja tersebut pun memperkosa anak perempuan dan ibunya. Ini hanya secuil kasus dampak dari miras.
Miras Induk Kejahatan
Miras tidak hanya merusak pribadi yang meminumnya tapi juga menyebabkan kerusakan terhadap orang lain. Peminum miras yang rusak akalnya berpotensi melakukan berbagai kejahatan, mencuri, memperkosa bahkan membunuh. Sehingga Baginda Rasulullah mengatakan Miras/khamr merupakan ummul khaba’its (induk dari segala kejahatan).
Islam dengan jelas dan tegas mengharamkan segala macam miras. Apakah miras oplosan atau bukan. Tidak ada miras legal dan ilegal. Islam juga melarang total segala yang berkaitan dengan miras (khamr) mulai dari produksi (pabrik-pabrik miras), distributor, penjual hingga konsumen (peminumnya). Karena dalam sistem ekonomi Islam khamr bukan barang ekonomis. khamr sesuatu yang tegas hukumnya haram.
Islam telah menetapkan sanksi bagi peminum khamr dengan cambukan 40 kali atau 80 kali. Ali bin Abi Thalib ra. Menuturkan, "Rasulullah SAW mencambuk (peminum khamr) 40 kali, Abu Bakar mencambuk 40 kali, Umar mencambuk 80 kali. Masing-masing adalah sunnah. Ini adalah yang lebih aku sukai” (HR Muslim).
Selain peminum maka sanksinya dikenakan sanksi ta’zir yang diserahkan
kepada khalifah sesuai dengan ketentuan syariah. Tentu saja seharusnya produsen
dan yang menjadi distributor/pengedarnya dikenakan sanksi yang lebih berat
karena mereka menyebabkan kerusakan yang luas ditengah-tengah masyarakat. Hal
ini hanya dapat terlaksana dan miras/khamr dapat dibabat habis hingga akar
dengan diterapkannya syariah Islam secara kaffah dalam institusi Daulah
Khilafah Islamiyah yang dipimpin oleh kepala negara yakni Khalifah.
Oleh: Ria Nurvika Ginting, S.H., M.H. (Sahabat Tinta Media)