Mengkritisi Pernyataan Mendikbud yang Menimbulkan Kontroversi - Tinta Media

Kamis, 30 Mei 2024

Mengkritisi Pernyataan Mendikbud yang Menimbulkan Kontroversi

Tinta Media - Pernyataan Nadiem Makarim selaku Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang menyebut kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT) sudah sesuai dengan asas keadilan dan inklusivitas menuai kritik dari sejumlah tokoh dan masyarakat. Salah satunya dari Said Didu. Mantan Sekretaris Badan Usaha Milik Negara tersebut mempertanyakan mengapa kenaikan UKT disebut berasas keadilan. Bahkan, Said  menyebut Nadiem sebagai menteri perusak negeri. (22/05/2024)

Pernyataan Nadiem tersebut sungguh di luar dugaan. Bagaimana bisa kenaikan UKT sudah sesuai dengan asas keadilan? Sejatinya, tidak ada keadilan jika pendidikan tinggi berbiaya mahal. Sebab, itu berarti hanya orang kaya yang bisa mengenyam pendidikan. Jika sudah begitu, mana ada keadilan jika yang bisa masuk perguruan tinggi hanya orang kaya, sementara orang miskin tidak memiliki akses untuk bisa mengenyam pendidikan tinggi akibat biayanya yang mahal. Kesimpulannya, kenaikan UKT ini jelas merupakan kepentingan dari rezim saat ini.

Sejak menduduki jabatannya, Nadiem sudah banyak mengeluarkan kebijakan. Namun, kebijakan yang diambilnya kerap menimbulkan kontroversi di tengah masyarakat. Tak hanya sekali, Nadiem banyak menelurkan kebijakan yang justru menjadi bumerang bagi dirinya karena hal itu menyangkut perkembangan pendidikan di Indonesia. Hal ini membuatnya sering menerima banyak kritik pedas dari sejumlah tokoh masyarakat.

Bahkan, jawaban Nadiem terkait kenaikan UKT dinilai tak tepat lantaran ia mengaku kenaikan UKT tak akan menjadi penyebab mahasiswa putus kuliah. Bagaimana dia bisa sangat yakin bahwa kenaikan UKT tidak akan berpengaruh pada kondisi mahasiswa, sedangkan melambungnya harga-harga bahan kebutuhan pokok saja sudah sangat memengaruhi keberlangsungan hidup masyarakat yang notabene mayoritas dari penduduk negeri ini hidup di bawah garis kemiskinan.

Kondisi semacam ini menjadi hal yang lumrah dalam sistem demokrasi. Demokrasi yang lahir dari rahim kapitalisme sekuler menjadikan pemerintahan ini hanya sebagai regulator untuk setiap pengambilan kebijakan. Ini membuat apa pun kebijakan yang diambil oleh penguasa tidak akan pernah pro rakyat. Sebab, lahirnya kebijakan adalah untuk memuluskan jalan para kapitalis (pemilik modal).

Di dalam Islam, negara bertanggung jawab mengatur pemenuhan kebutuhan-kebutuhan primer bagi rakyat secara penuh dan menyeluruh. Pendidikan menurut syara' termasuk ke dalam kebutuhan primer. Sejatinya, memang hanya Islamlah satu-satunya sistem kehidupan yang mendorong umatnya untuk meraih ilmu setinggi-tingginya. Wajibnya menuntut ilmu di antaranya sesuai dengan hadits Nabi saw.

"Menuntut ilmu wajib bagi setiap diri muslim." ( HR Ibnu Majah)

Untuk itu, pendidikan dalam Islam adalah kewajiban sekaligus kebutuhan bagi umat. Syara' telah mewajibkan pendidikan dan menjadi kebutuhan vital guna menyelesaikan berbagai persoalan kehidupan kaum muslimin, baik dalam urusan agama maupun urusan dunia. Oleh karenanya, Islam memandang bahwa pendidikan bukanlah kebutuhan tersier atau kepentingan orang-orang berduit saja.

Dengan demikian, negara berkewajiban menyediakan sarana pendidikan yang berkualitas dengan biaya yang dapat dijangkau oleh semua kalangan masyarakat. Negara di dalam sistem Islam bahkan akan berusaha memberikan pelayanan terbaik untuk rakyatnya dalam segala hal termasuk dalam sektor pendidikan. Bila perlu, negara menggratiskan biaya pendidikan agar semakin banyak tercipta calon generasi emas peradaban.

Negara memiliki sumber-sumber keuangan yang jelas dan semuanya tersimpan di baitul mal. Berdasarkan hal itu, negara tidak akan kesulitan untuk melakukan tugasnya sebagai pelayan rakyat. Dengan begitu, setiap kebijakan yang diambil sudah pasti pro rakyat. Jika sudah begitu, tidak akan ada lagi ketimpangan-ketimpangan sosial di tengah masyarakat. Sebab, semuanya akan mendapatkan haknya dengan adil dan merata.

Namun, semua itu hanya bisa terjadi pada saat negara memakai hukum dan aturan Islam secara kafah. Sebab, dalam pengambilan kebijakan, negara hanya akan menjadikan syara' sebagai tolok ukurnya. Untuk itu, sudah saatnya kita bangkit dan memperjuangkan kembali untuk tegaknya sebuah negara yang hanya menjadikan hukum Allah sebagai pengatur dalam menjalankan kehidupan. Wallahuallam.

Rina Herlina

Payakumbuh, Sumbar

Rekomendasi Untuk Anda × +

Bagikan artikel ini

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini.

Artikel Menarik Lainnya :