Tinta Media - Menjelang memperingati Hari Buruh Internasional 2024, Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menuntut dua kebijakan utama yaitu mencabut "Omnibuslaw" terkait Undang-Undang Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan Hapus Outsourcing. (Kompas.com, 29/04/24).
Mirisnya, 138 kali memperingati hari buruh dengan rekam jejak diwarnai demo dan ricuh. Ironisnya tidak mengubah keadaan namun seperti memancing di air keruh, yang artinya menambah rangkaian problem baru dan memperburuk keadaan.
Momentum "May Day" memang tepat digunakan oleh para demonstran untuk menyuarakan aspirasi para buruh. Hal ini terjadi karena memang terjadi ketimpangan antara kebijakan dan yang terjadi di lapangan.
Apabila di pelajari lebih teliti dan saksama di setiap UU Cipta Kerja, muaranya akan menguntungkan perusahaan. Dianalogikan para buruh ditekan masalah kesejahteraan, sementara pihak perusahaan berburu profit dengan mempertimbangkan laba-rugi. Alhasil karena beratnya beban perusahaan harus menanggung kesehatan, jaminan hari tua, dan sebagainya dari para buruh yang seharusnya menjadi tanggung jawab negara.
Sehingga dengan adanya omnibus cipta kerja ini, menguntungkan pihak perusahaan dan menjerat buruh karena antara etos kerja tidak balance dengan taraf kesejahteraan, sedangkan perusahaan meraup keuntungan melimpah dengan menekan pengeluaran beban-beban. Menjadi wajar apabila kebijakan ini mendapatkan banyak pertentangan yang mana dari rancangan sampai diterapkan, bahkan berjalan hampir 4 tahun pun masih digodok oleh para buruh.
Adanya Undang-Undang cipta kerja akan semakin memperkuat upaya pemerintah dan korporasi dalam melakukan pembangunan di darat, hutan, gunung hingga laut dan pulau-pulau kecil yang mengakibatkan pencemaran dan penghancuran lingkungan semakin meluas.
Kemudian, Perpu ini juga tetap mempertahankan dan memperkuat pasal-pasal yang membuka kriminalisasi bagi rakyat. Misalnya, dalam Perpu Pasal 39 yang mengubah Pasal 162 UU Minerba, rakyat yang mempertahankan ruang hidupnya diancam pidana 1 tahun dan denda 100 juta rupiah
Bertepatan dengan "May Day" terbukti banyak sekali tugas dan kewajiban pemerintah dalam mengatasi problem para buruh. Berdasarkan riset, meningkatnya kasus pengangguran ditengah-tengah maraknya pembangunan dalam segala lini, meningkatnya kasus PHK dari 69% ternyata dari 67% bagian dari perusahaan besar. Pernyataan dari Director of Career Services Mercer Indonesia Isdar Marwan (CNN.Indonesia, 26/4/24).
Dari rangkaian panjang problem ini sebenarnya lahir dari asas yang menjadi pijakan sistem kapitalisme, yaitu kebebasan kepemilikan, kebebasan berusaha atau bekerja, dan menjadikan standar hidup yang paling minim sebagai asas dalam menentukan upah ajir (setiap orang yang bekerja mendapatkan upah)
Sementara barometer sejahtera adalah profit sementara perusahaan akan mendapatkan keuntungan apabila karyawan atau buruh totalitas dan loyalitas, mirisnya efek dari sistem ini buruh hanya dijadikan faktor produksi saja. Ketika fungsi negara untuk menjamin kesejahteraan rakyat nya tidak terealisasi karena faktanya negara hanya berperan sebagai regulator dan pihak penengah antara perusahaan dan buruh melalui uu cipta kerja ini.
Setiap individu dipaksa untuk memenuhi kebutuhan masing-masing melalui bekerja, sedangkan akses mendapatkan pekerjaan susah. Seperti itulah potret buruk sistem ini, kebijakan di buat hanya untuk menancapkan hegemoni para pemilik modal.
Namun, problema perburuhan seperti ini tidak akan terjadi didalam islam, karena didalam islam tidak ada kabebasan kepemilikan (hurriyyah milkiyyah) dan kabebasan berusaha (hurriyyaj 'amal) tetapi hanya ada kebolehan kepemilikan (ibahah milkiyyah) dan kebolahan berusaha (ibahah 'amal). Pada hakikatnya islam memiliki sistem politik (Khilafah) sebagai solusi haqiqi dimuka bumi ini. Hakikat khilafah merupakan hirasatuddin wa siyasatuddunya yaitu memelihara agama serta mengatur dunia.
Tiga sumber ekonomi didalam islam yaitu pertanian, perindustrian, serta perdagangan, dan untuk menghasilkan produksi membutuhkan bantuan usaha manusia. Karena yang menanami tanah, membangun industri, mengoperasikan mesin, dan manusia pula yang melakukan transaksi jual beli.
Islam sangat jelas bagaimana mengatur asas penentuan upah karena negara memiliki mekanisme ideal melalui penerapan sistem Islam kaffah dalam semua bidang kehidupan, yang menjamin nasib buruh dan juga keberlangsungan perusahaan sehingga menguntungkan semua pihak.
Tidak bisa dikatakan anjloknya harga-harga barang yang dihasilkan seorang ajir yang menyebabkan kerugian seorang musta'jir, yang demikian merupakan kedzaliman yang nyata. Sebab terkadang dibulan ini harga-harga barang turun disebabkan banyak nya penawaran, dan dibulan berikutnya harga barang naik disebabkan sedikitnya penawaran. Sehingga tidak bisa menjadi tolak ukur manaikkan dan menurunkan upah ajir, bahkan dijadikan standar pemutusan hubungan kerja secara sepihak.
Sedangkan Apa pun yang dibutuhkan para pekerja, seperti jaminan kasehatan, jaminan pendidikan, dsb, merupakan tanggung jawab negara bukan pemilik pekerjaan (musta'jir) dan tidak termasuk dalam pembahasan ajir.
Seakan menguraikan benang kusut karena sangat kompleks dan sistemik, karena perbedaan asas yang menjadikan pijakan dalam perkara ini. Hanya dalam islam lah satu-satunya lembaga yang secara langsung manangani semua urusan rakyat. Saatnya ganti sistem dan melanjutkan kehidupan islam. Wallahu'alam Bisowab.
Oleh: Novita Ratnasari, S.Ak.
Sahabat Tinta Media