Tinta Media - Generasi Indonesia hari ini sedang tidak baik-baik saja. Beberapa di antaranya menjadi pelaku kriminal di umur yang masih muda. Hal ini menjadi keprihatinan dan pekerjaan rumah bersama untuk mengatasinya.
Sungguh, tidak ada orang tua yang menginginkan anak yang ia besarkan menjadi pelaku kriminal, hingga dicaci sebagai orang tua yang gagal. Lalu, apa yang menjadikan anak sebagai pelaku kriminal?
Fakta Kasus Anak
Sebut saja kasus kematian santri di Jambi, Airul Harahap. Tiga anak berhadapan dengan hukum segera jadi tersangka kasus kematian Airul. Hal ini dikatakan oleh Penyidik Ditreskrimum Polda Jambi yang telah mengirimkan surat kepada Kapolres Tebo untuk diteruskan kepada Kasat Reskrim dan penyidik (metrojambi.com, 04-05-2024).
Terbaru, kurang dari 1×24 jam, Kepolisian Resor (Polres) Malinau melalui jajaran Satuan Reserse Kriminal (Satreskrim) berhasil mengungkap kasus Pencurian Kendaraan Bermotor (Curanmor) yang terjadi di Panggung Kesenian Padan Liu’ Burung, Desa Malinau Kota, Kecamatan Malinau Kota, Kabupaten Malinau pada Minggu (12/5/2024). Pelaku curanmor seorang anak di bawah umur berinisial BAH yang juga masih berstatus pelajar (humaspolri.co.id,13-05-2024)
Akar Masalah
Belakangan ini banyak diberitakan kasus tindak pidana atau anak menjadi pelaku kriminal, seperti penganiayaan hingga mengakibatkan korban luka berat atau meninggal dunia, bullying, dan sebagainya. Sebenarnya, apa yang menyebabkan anak di bawah umur melakukan tindak pidana?
Sebelum menjawab pertanyaan di atas, perlu diketahui, anak yang melakukan tindak pidana disebut dengan anak yang berkonflik dengan hukum, yaitu anak yang telah berumur 12 tahun dan belum berumur 18 tahun. Ketentuan selengkapnya mengenai sanksi/hukuman pidana untuk anak dan tindakan padanya dapat ditemukan dalam Pasal 71 s.d. Pasal 83 UU Pidana Anak.
Pada dasarnya, perbuatan anak akan menjadi cambuk ataukah hadiah bagi orang tua yang merupakan lingkungan pertama bagi anak untuk mendapatkan pendidikan. Pendidikan yang diterima anak dalam lingkungan keluarga sangat penting bagi masa depan anak itu sendiri, karena akan menentukan sifat dan karakter anak pada masa yang akan datang.
Adapun faktor-faktor yang menyebabkan kurangnya peran orang tua dalam memberi pendidikan bagi anak, antara lain:
Pertama, orang tua terlalu sibuk bekerja hingga mendidik anak pun terlupa.
Kedua, broken home. Ini merupakan salah satu faktor yang banyak terjadi dan mengakibatkan orang tua kurang perhatian terhadap anaknya.
Ketiga, kondisi ekonomi yang kurang.
Keempat, kurangnya kesadaran orang tua terhadap pendidikan.
Inilah gambaran buruknya output dalam sistem pendidikan kapitalisme. Orang tua dianggap hanya sebagai pihak pemberi materi. Orang tua juga hanya mengejar materi sebagaimana yang ditanamkan oleh kapitalisme.
Aturan agama pun dipersempit dalam perkara ibadah ritual, yaitu 5 rukun Islam semata dan memisahkannya dari pengatur hidup bernegara. Padahal, Islam mengatur secara sempurna segala lini kehidupan manusia. Bahkan, pendidikan kepada anak sangat diperhatikan agar menjadi anak berkarakter baik. Lantas, apa parameter karakter yang baik?
Karakter itu ibarat buah dari suatu tanaman. Buah yang kualitasnya baik akan muncul dari tanaman yang pohonnya tumbuh dengan baik. Pohon yang tumbuh dengan baik bermula dari biji atau benih yang kualitasnya juga baik.
Untuk itulah, membentuk karakter yang baik pada anak harus kita awali dengan menyiapkan “benih” yang baik, yaitu dasar iman (akidah) yang benar. Dengan demikian, mengajarkan keimanan yang lurus dan benar kepada anak sejak usia dini adalah kunci utama untuk membentuk karakter yang baik pada anak dan akan dibawanya hingga dewasa.
Konsep Karakter dalam Islam
Karakter dalam Islam biasa disebut sebagai kepribadian (syakhshiyah islamiyah). Agar bisa berkepribadian Islam, harusnya kita menjadikan pola pikir dan pola sikap sesuai dengan aturan Islam. Sebelum mencapai usia baligh, orang tua harus sudah mengenalkan syariat, bahkan mengokohkan akidah pada anak. Ini dimulai sejak ia mulai bisa mengamati sekitarnya.
Sistem pendidikan Islam pun berdasarkan akidah Islam dan akan menghasilkan peserta didik berkepribadian Islam, bukan kriminal. Peran orang tua dalam pendidikan anak pun sangat besar. Ibu adalah sekolah pertama dan pendidik pertama.
Namun, dalam sistem kapitalisme hari ini, ibu malah menjadi tulang punggung, ditambah lagi ada fatherless. Jadi, yang gagal bukan semata salah orang tua, tetapi aturan hidup yang mengatur manusia. Selama masih mengadopsi kapitalisme, maka akan banyak anak menjadi pelaku kriminal dan ini terus terulang.
Islam menetapkan adanya sanksi tegas dan tidak membedakan usia selama sudah baligh atau dilakukan dalam keadaan sadar. Karena itu, kembali kepada aturan Islam adalah solusi untuk mengatasi dan mencegah ananda untuk menjadi pelaku kriminal.
Wallahu a'lam.
Oleh: Annisa Al Maghfirah
(Relawan Opini)