Tinta Media - Beberapa waktu lalu, Dinas Ketenagakerjaan (Disnaker) Kabupaten Bandung kembali menggelar Job Fair yang menjadi ajang terbukanya ratusan lowongan pekerjaan (loker) bagi masyarakat. Terlihat para pencari kerja memadati arena Job Fair yang dilaksanakan di Halaman Gedung Budaya Sabilulungan, Soreang tersebut. Mereka terlihat sudah mempersiapkan persyaratan pekerjaan.
Diberitakan bahwa acara Job Fair kali ini melibatkan 30 perusahaan dan 200 lowongan pekerjaan, dengan segala macam jenis pekerjaan seperti admin, akunting, marketing, dan lain-lain. Job Fair ini diadakan untuk memfasilitasi para pencari kerja, sehingga mengurangi tingkat pengangguran, khususnya di Kabupaten Bandung.
Secara nasional, tingkat pengangguran di Indonesia sampai saat ini masih tinggi. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) per Agustus 2023, sebanyak 7,86 juta orang Indonesia atau setara dengan tingkat pengangguran terbuka (TPT) sebesar 5,32% masih dalam status pengangguran dari 147,71 juta orang yang memiliki pekerjaan.
Meski jumlahnya menurun 0,54% dari Agustus 2022 yang mencapai 8,42 juta orang, tetapi tingkat pengangguran ini masih relatif lebih tinggi dibandingkan dengan 7,1 juta orang sebelum pandemi Covid-19, atau sebelum Agustus 2019. Permasalahan ini membuat masyarakat khawatir, di tengah naiknya hampir semua bahan pokok. Masyarakat juga dibingungkan dengan sulitnya mencari pekerjaan.
Menurut pakar ekonomi syariah Dr. Narim Nasim, ada dua faktor utama tingginya pengangguran, yaitu faktor individu dan faktor sistem. Persoalan pengangguran bukanlah sekadar persoalan mikro saja, seperti kecakapan individu mencari kerja, tetapi sudah mencakup persoalan makro yang melingkupi negara.
Tingginya angka pengangguran tidak lepas dari faktor kurangnya lapangan pekerjaan.
Pemerintah dalam sistem kapitalisme berposisi sebagai “makelar” yang hanya menghubungkan antara penyedia SDM, yaitu dunia pendidikan dengan penyedia lapangan kerja, yaitu industri.
Pemerintah hanya menghubungi perusahaan jika rakyat membutuhkan pekerjaan. Akan tetapi, jika perusahaan tidak membutuhkannya, maka pemerintah tidak bisa berbuat apa-apa. Alhasil, lapangan pekerjaan menjadi masalah individu rakyat yang harus dipecahkan sendiri dan negara mulai lepas tangan. Bahkan, penguasa membolehkan TKA (tenaga kerja asing) masuk ke Indonesia sebagai imbas dari kerja sama bilateral, khususnya dengan Cina.
Memang benar, ada upaya-upaya dari pemerintah untuk mengatasi permasalahan pengangguran ini. Salah satunya dengan mengadakan pelatihan-pelatihan keterampilan, peminjaman modal dan juga job fair. Namun, upaya tersebut dinilai tidak bisa menjadi jalan keluar pengangguran.
Apalagi, jumlah lapangan pekerjaan yang ada tidak sebanding dengan para pencari kerja lokal dan juga masuknya TKA. Hal ini karena kata kunci dari permasalahan ini adalah lapangan pekerjaan. Selama lapangan pekerjaan tidak cukup tersedia, angka pengangguran akan tetap tinggi dan tidak akan selesai, bahkan terus melonjak.
Kondisi ini membuktikan bahwa penguasa negeri ini salah urus dalam penyediaan lapangan pekerjaan. Ini adalah hal yang wajar karena dalam sistem kapitalisme yang diterapkan di negeri ini, negara tidak lain hanya sebagai penjaga mekanisme pasar yang berjalan tanpa hambatan dan juga sebagai pelayan kepentingan para kapitalis. Sistem ini memandang bahwa teknologi, SDA, bahkan sumber daya manusia hanya sebagai faktor-faktor produksi demi memenuhi nafsu rakus para kapitalis (pemilik modal).
Berbeda dengan konsep kepemimpinan dalam sistem Islam, yaitu khalifah yang berposisi sebagai raa’in (pengurus). Khalifahlah yang bertanggung jawab dalam menjamin ketersediaan lapangan kerja bagi rakyat dengan menerapkan ideologi Islam yang mengatur segala aspek kehidupan, karena beberapa alasan berikut:
Alasan pertama, Islam tegas menjadikan negara sebagai penanggung jawab dalam menyediakan lapangan pekerjaan bagi rakyat. Ini berdasarkan keumuman hadis Rasulullah saw., “Seorang Imam (kepala negara) adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyatnya.” (HR Bukhari, 844).
Dengan segala permasalahan yang kompleks seperti sekarang, negara membutuhkan tenaga kerja yang sangat banyak. Contohnya dalam memenuhi APBN misalnya, akan dipenuhi melalui pos-pos, semisal ganimah, anfal, kharaj, dan jizyah, juga pos hasil pengelolaan kepemilikan umum semisal SDA. Ini memerlukan para pegawai dalam berbagai bidang, seperti ekonomi, IT, pengarsipan, kepegawaian, pendidikan, pertanian, dan lain-lain.
Apalagi di era industri seperti saat ini, seharusnya lapangan pekerjaan bukan menjadi sebuah permasalahan. Akan tetapi, menjadi permasalahan ketika industri hanya dikuasai oleh para oligarki seperti dalam sistem kapitalisme liberalisme seperti sekarang ini. Sedangkan dalam sistem Islam, industri dibangun hanya untuk kemaslahatan umat (rakyat).
Kepemilikan industri harus dikelola oleh negara, bukan swasta, yaitu menjadikan negara sebagai pengatur utama tanpa ditunggangi kepentingan pribadi.
Pengelolaan industri mandiri oleh negara secara otomatis akan membuka lapangan pekerjaan di banyak lini, mulai dari tenaga ahli sampai tenaga terampil.
Khalifah akan mengembangkan alat-alat industri (industri mesin) sehingga akan menghasilkan industri-industri baru lainnya.
Dalam iklim investasi dan usaha, khalifah akan menciptakan iklim yang merangsang masyarakat untuk membuka usaha melalui cara yang sederhana dan tanpa pajak.
Dalam mekanisme individu terutama pendidikan masyarakat, khilafah menanamkan wajibnya bekerja dan kedudukan orang yang bekerja di hadapan Allah Swt. Ini karena pada dasarnya, dalam Islam, tiap-tiap manusia harus bisa memenuhi kebutuhan hidup dengan bekerja. Khilafah harus bisa memberikan sarana dan prasarana, termasuk pendidikan.
Semua mekanisme tersebut tidak bisa terwujud dalam sistem kapitalisme yang saat ini digunakan oleh hampir seluruh negara. Hanya sistem khilafah Islamiyyahlah yang mampu melakukannya. Ini telah terbukti berabad-abad silam, di saat Islam masih menjadi mercusuar dunia. Waallahualam.
Oleh: Ira Mariana, Sahabat Tinta Media