Tinta Media - Profesi dosen memiliki privilege tersendiri di tengah masyarakat. Namun, kini masyarakat yang menjalani profesi tersebut merasa resah. Ini terlihat dari tagar #janganjadidosen pada bulan Februari lalu yang kemudian menjadi pembicaraan di media sosial.
Munculnya tagar itu disertai dengan cuitan sejumlah dosen yang mengungkapkan bahwa gaji mereka masih di bawah upah minimum regional atau UMR. Hal tersebut sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Serikat Pekerja Kampus atau SPK yang mengungkap bahwa mayoritas dosen menerima gaji bersih kurang dari Rp3 juta.
Pada kuartal pertama 2023 termasuk dosen yang telah mengabdi selama lebih dari 6 tahun, sekitar 76% dosen mengaku harus mengambil pekerjaan sampingan karena rendahnya gaji dosen. Pekerjaan itu membuat tugas utama mereka sebagai dosen menjadi terhambat dan berpotensi menurunkan kualitas pendidikan.
Selain itu, dosen di universitas swasta jauh lebih rentan terhadap gaji rendah, bahkan peluangnya tujuh kali lebih tinggi untuk menerima gaji bersih kurang dari Rp2 juta. Kemudian, sebanyak 61% responden merasa kompensasi mereka tidak sejalan dengan beban kerja dan kualifikasi mereka. Tidak hanya itu, beberapa dosen merasa kurang dihargai.
Pengamat pendidikan mengatakan bahwa rendahnya gaji dosen dapat berdampak buruk pada kualitas pendidikan di perguruan tinggi. (bisnis.tempo.co.id, 02/05/2024)
Fakta ini memang sangat ironis, karena rendahnya gaji dosen menggambarkan rendahnya perhatian dan penghargaan negara atas profesi yang memengaruhi masa depan bangsa. Bahkan mirisnya, fakta ini tampaknya akan menggeser cara pandang generasi terkait ilmu.
Orang pintar atau ilmuwan yang seharusnya dimuliakan bisa saja kelak tidak dimuliakan, apalagi diidolakan. Maka dari itu, kesejahteraan yang belum terwujud dan pemberian upah tidak layak di kalangan dosen sejatinya tidak lepas dari kapitalisasi pendidikan di negeri ini.
Tata kelola negara kapitalistik berlandaskan pada paradigma good governance atau reinventing government. Paradigma ini berperan besar melahirkan petaka pada biaya pendidikan dan menjadikan pemimpin berlepas tangan dari tanggung jawab utamanya sebagai pelayan rakyat. Salah satunya dalam menjamin pendidikan setiap individu rakyat dan pemberian upah yang layak bagi tenaga pendidik, termasuk dosen.
Kondisi ini diperparah dengan tata kelola keuangan dan ekonomi negara yang kapitalistik dan memiskinkan negara. Tata kelola keuangan yang rusak ini menjadikan negara tidak memiliki cukup dana untuk menggaji pegawai, termasuk dosen.
Sistem kapitalisme yang lahir dari akidah sekularisme telah memisahkan peran agama dari kehidupan. Sistem ini telah menjadikan individu, masyarakat, hingga negara meletakkan standar kemuliaan pada materi. Wajar, dosen sekadar dipandang sebagai profesi.
Kapitalisme telah menggerus kemuliaan atas jasa besar para dosen akibat prinsip materi yang dipandang berharga tersebut. Bahkan, kebijakan negara malah cenderung pada kepentingan para kapital atau pemilik modal. Oleh karena itu, problem rendahnya gaji dosen merupakan problem sistemik akibat penerapan sistem kapitalisme dalam segala aspek kehidupan di negeri ini.
Berbeda halnya dengan Islam, sistem kehidupan sempurna yang sangat menghormati ilmu dan menjunjung tinggi para pemilik ilmu. Kedudukan mereka sangat tinggi dalam Islam.
Begitu pula dengan dosen dalam Islam, profesi ini dihormati dan dimuliakan karena peran mereka dalam mencetak generasi pemimpin, bukan hanya sekadar pekerjaan. Pasalnya, ilmu akan memelihara akal manusia dan menjadi investasi masa depan sebuah bangsa.
Negara adalah pihak yang diamanahi dalam menyelenggarakan pendidikan terbaik bagi seluruh rakyat, sebagai bagian dari pemenuhan kebutuhan dasar manusia yang dipimpin oleh khalifah.
Hal ini sebagaimana hadis Rasulullah saw. yang artinya,
“Imam atau khalifah adalah ra’in atau pengurus rakyat dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” HR. Al-Bukhari.
Negara akan mencegah pendidikan sebagai bisnis atau komoditas ekonomi seperti saat ini. Kebijakan negara secara sistemik akan mendesain sistem pendidikan dengan seluruh supporting sistemnya.
Negara Khilafah wajib menyediakan fasilitas dan infrastruktur pendidikan yang cukup dan memadai, seperti gedung-gedung sekolah, laboratorium, balai-balai penelitian, buku-buku pelajaran, dan lain sebagainya secara gratis. Negara Khilafah juga berkewajiban menyediakan tenaga-tenaga pengajar yang ahli di bidangnya. Ini termasuk dosen di pendidikan tinggi beserta penggajian yang layak bagi tenaga pengajar dan pegawai yang bekerja di kantor pendidikan.
Dosen adalah profesi mulia dalam menyebarkan ilmu dan membangun karakter mahasiswa sebagai agen perubahan dan calon pemimpin masa depan. Oleh karena itu, gaji para dosen tentu bukan hanya dihargai sebagai jasa, tetapi kemuliaan ilmu yang tidak bisa ditukar dengan materi.
Sejarah Islam mencatat bagaimana Islam memuliakan tenaga pengajar, termasuk dosen. Buktinya adalah pada masa kejayaan Khilafah Abbasiyah yang memberikan gaji fantastis bagi para pengajar dan ulama. Kala itu, gaji para pengajar mencapai 1000 dinar per tahun.
Sistem ekonomi Islam yang tangguh dan kuat akan mampu membiayai pendidikan rakyatnya hingga bisa diakses secara gratis, tetapi tetap dengan penggajian fantastis bagi seluruh tenaga pengajar. Dengan demikian, permasalahan dosen yang tidak dimuliakan hanya bisa terselesaikan dengan penerapan Islam kafah di muka bumi ini. wallahualam bishawwab.
Oleh: Amellia Putri (Aktivis Muslimah dan Mahasiswi)