Tinta Media - Ada catatan krusial pada pidato yang dilontarkan oleh Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Bintang Puspayoga. Beliau menyampaikan bahwa momentum Hari Kartini harus dijadikan tonggak untuk mencapai impian Kartini, yakni menjadikan perempuan-perempuan Indonesia mampu menentukan nasibnya sendiri.
Meski maksud dari Menteri PPPA ini baik, yakni mengangkat kemuliaan dan derajat kaum perempuan Indonesia karena dinilai kaum perempuan saat ini tertindas dan hanya dijadikan obyek saja, tetapi perempuan harus mampu menentukan sendiri nasib dan masa depannya. Jangan sampai perempuan hanya nurut-nurut saja ataupun selalu dijadikan obyek untuk meraih keuntungan. Akan tetapi, perempuan juga harus mandiri.
Namun sayang sekali, ibu menteri belum tahu bahwasanya Islam sendiri telah menjadikan perempuan punya kedudukan yang sama dengan laki-laki, yakni sebagai hamba Allah Swt.
Allah selalu memberikan kabar gembira kepada setiap perempuan. Misalnya, perempuan yang hamil, baik hamil bayi perempuan ataupun laki-laki, maka Allah menempatkannya pada posisi yang paling mulia. Dengan kesabaran dalam menerima beban kehamilan itulah pahala surga mudah diraih perempuan. Apalagi kalau bayinya perempuan, peluang masuk surganya sangat besar.
Berbeda dengan peradaban-peradaban kotor yang menilai perempuan adalah hal buruk dan selalu dilecehkan. Contoh, di peradaban Yunani, perempuan diklasifikasikan berdasarkan latar belakang. Wanita elit diperlakukan sebagai tahanan sedangkan kalangan bawah dijadikan komoditi untuk diperjualbelikan.
Romawi pun sama. Perempuan disejajarkan dengan budak yang hanya menjadi penyenang dan penguntung tuannya. Di India, perempuan hanyalah pelayan seksual.
Di Cina, gadis yang lahir dari rahim keluarga miskin hanya dijadikan sebagai budak orang kaya bahkan keluarganya sendiri, sedangkan lahir dalam rahim orang kaya, perempuan harus menderita dulu di masa kecilnya agar bisa terangkat derajatnya.
Di Arab sebelum Islam datang_ pun sama, anak perempuan yang lahir harus dikubur hidup-hidup. Tak jauh beda di Eropa yang pernah terjadi pembantaian besar-besaran terhadap perempuan karena dianggap sebagai pembawa sihir. Terakhir, di masa ini pun tak jauh beda. Di sistem kapitalisme sekuler, perempuan hanya dijadikan sebagai kaum pemuas pria.
Terbukti, Islam menjunjung tinggi derajat kaum perempuan. Sebagai anak, perempuan akan menjadi pintu surga untuk kedua orang tuanya, ketika beranjak dewasa atau menikah, ia menjadi penyempurna sepertiga agama suaminya, dan ketika menjadi seorang ibu, derajat kemuliaannya lebih tinggi dibandingkan laki-laki. Ini terbukti ketika Rasulullah saw. menyebut kata ibu sampai 3 kali.
Cobalah kita lihat di agama lain. Hampir semua agama selain Islam menempatkan perempuan di posisi yang hina. Contoh agama Nasrani dan Yahudi yang menganggap perempuan sebagai makhluk yang penuh dosa dan dianggap sebagai ibu dari semua kesengsaraan.
Memang tak ada yang lebih memuliakan perempuan daripada Islam. Islam memberikan kedudukan yang luar biasa pada kaum perempuan, bahkan ketika di dalam kandungan sampai ketika beranjak dewasa atau menjadi ibu.
Tak heran, yang cocok untuk mengatasi problematika perempuan jawabannya ada di Islam, bukan yang lain. Apalagi peradaban sekarang kapitalis sekuler yang menjadikan perempuan sebagai penghasil cuan, karena patokannya adalah materi. Sedangkan Islam, patokannya adalah halal-haram yang mengacu pada ketentuan Allah lewat hukum syara'. Karena kita dan seluruh alam semesta adalah ciptaan Allah, maka wajar jika harus tunduk pada peraturan-Nya.
Maka, sangat sinkron dengan surat R.A. Kartini kepada Prof. Anton dan Nyonya di tanggal 4 Oktober 1902 dulu. Dalam surat itu tertulis bahwa perempuan bukanlah saingan ataupun rival laki-laki. Namun, seorang perempuan harus lebih cakap dalam melakukan kewajiban yang diserahkan alam (sunatullah) sendiri dalam tangannya, yakni menjadi ibu, dan menjadi pendidik manusia yang pertama-tama.
Kewajiban perempuan yang dirasa mampu meninggikan derajatnya adalah dengan mengacu pada syariat Islam. Terbukti, hanya Islamlah yang mampu menempatkan perempuan sesuai dengan fitrahnya.
Oleh: Setiyawan Dwi
(Jurnalis)