Gaji Dosen Rendah, Buruknya Kapitalisme dalam Mengatur Pendidikan - Tinta Media

Minggu, 26 Mei 2024

Gaji Dosen Rendah, Buruknya Kapitalisme dalam Mengatur Pendidikan

Tinta Media - Tagar #JanganJadiDosen sudah 7000 kali dibagikan pada platform media sosial X, dalam rangka menyuarakan kepada publik tentang kondisi pelik yang dialami dosen, yakni gaji mereka yang berada di bawah Upah Minimum Regional (UMR). Pengamat pendidikan menyebut gaji dosen rendah dapat berdampak buruk bagi kualitas pendidikan di perguruan tinggi (BBC NEWS INDONESIA, 25/02/2024).

Dilema Dosen: Antara Memenuhi Kebutuhan Hidup dan Menjadi Pendidik

Dilansir dari Tempo.co (02/04/2024), hasil penelitian Serikat Pekerja Kampus (SPK) mengungkapkan mayoritas dosen menerima gaji bersih kurang dari 3 juta rupiah pada kuartal pertama 2023, termasuk dosen yang telah mengabdi selama 6 tahun. Sekitar 76% responden atau dosen mengaku harus mengambil pekerjaan sampingan, yang akhirnya membuat tugas utama mereka sebagai dosen menjadi terhambat dan berpotensi menurunkan kualitas pendidikan.

Selain itu, dosen di universitas swasta jauh lebih rentan menerima gaji rendah. Peluangnya tujuh kali lebih tinggi untuk menerima gaji bersih kurang dari 2 juta rupiah. Sebanyak 61% responden merasa gaji mereka tidak sejalan dengan beban kerja dan kebutuhan hidup mereka. Sebagian besar mengatakan pengeluaran bulanan di angka 3 sampai 10 juta rupiah, bahkan sekitar 12,2% memiliki pengeluaran bulanan lebih dari 10 juta.

Fakta yang sama juga didapatkan dari curhatan dosen penulis di Kota Bima. Beliau menyampaikan soal masyarakat yang mengatakan bahwa pendidik dianggap sebagai pahlawan tanpa tanda jasa, sehingga harus mendidik tanpa pamrih. Namun pada faktanya dosen juga butuh materi untuk memenuhi kebutuhan hidup. Apalagi menjadi dosen tidaklah mudah, butuh biaya mahal untuk menempuh pendidikan untuk penelitian, bayar kuliah dan pengembangan diri. Sehingga peran dosen sebagai pendidik berkurang karena kesempitan hidup.

Kapitalisme Menumbalkan Peran Pendidik

Fakta di atas menunjukkan bahwa rendahnya perhatian negara terhadap profesi pendidik. Padahal dosen adalah profesi mulia dalam menyebarkan ilmu, membangun karakter mahasiswa sebagai agen perubahan dan calon pemimpin masa depan. Jadi keberadaan dosen merupakan salah satu kebutuhan pokok terhadap dunia pendidikan tinggi. Tidak optimalnya peran dosen dalam mengajar tentu akan mempengaruhi kualitas ilmu serta kepakaran yang diraih mahasiswa.

Permasalahan yang dialami oleh dosen tidak terlepas pada buruknya pengaturan dalam sistem kapitalisme. Kapitalisme yang berasaskan sekularisme dan meniscayakan capaian materi sebagai tujuan hidup melahirkan peran negara yang abai terhadap persoalan umat. Rendahnya gaji para dosen tak dipandang sebagai masalah serius, padahal dampaknya terhadap kualitas generasi sudah cukup banyak dipaparkan di atas. Maka dari itu, tak mengherankan jika pendidikan tinggi sebagai tempat ditempanya para pakar dalam keilmuan masing-masing akhirnya gagal dicapai. Justru yang ada kerusakan generasi semakin meningkat, seperti terlibatnya mahasiswa dalam aksi kriminal, kejahatan narkoba, pergaulan bebas, pinjaman online, dan lain-lain.

Terjepitnya peran dosen dalam menjalankan profesinya sebagai pendidik sekaligus tulang punggung keluarga adalah salah satu efek dari buruknya pengaturan dalam sistem kapitalisme. Dosen dibiarkan bingung dalam memilih antara kewajiban mengajar dan menafkahi keluarga. Posisi seperti ini alaminya  tentu memaksa mereka memilih sesuatu yang harus tak dipilih-pilih. Akhirnya terabaikanlah peran dosen dalam mengajar dan peran mulianya itu seolah tidak penting lagi karena harus mencari nafkah.

Mafhum yang seperti ini tentu merupakan masalah besar yang harus diurus oleh negara. Namun, Indonesia selaku negara yang berasaskan kapitalisme menghitung untung dan rugi dalam memutuskan segala sesuatu, termasuk dalam melihat permasalahan pendidikan. Banyak kampus dan sekolah yang luput dari perhatian. Seperti yang disampaikan oleh Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraj, “Kebijakan pemerintah saat ini ke arah privatisasi pendidikan. Jadi baik di kampus negeri maupun swasta, beban pembiayaan itu dilimpahkan ke kampus. Akibatnya, kampus harus meminimalisir pengeluaran, termasuk untuk gaji-gaji dosennya." (BBC NEWS INDONESIA, 25/02/2024).

Terabaikannya dunia pendidikan menunjukkan bahwa sistem kapitalisme adalah sistem yang rusak. Baik merusak peran negara, masyarakatnya maupun aktivitas-aktivitas yang ada di ruang lingkup sosial masyarakat. Kerusakan ini muncul akibat tidak menjadikan aturan Pencipta sebagai aturan hidup. Sehingga negara melalaikan kewajibannya sebagai pengurus urusan umat dan memandang segala sesuatu bahwa yang diurus harus menghasilkan materi bagi kantong penguasa. Sehingga tidak heran gaji dosen tidak mencukupi biaya hidupnya padahal di lain sisi biaya UKT (Uang Kuliah Tunggal) semakin mahal.

Pandangan Islam Mengenai Peran Pendidik

Islam memandang bahwa terwujudnya suatu peradaban yang kokoh tidak terlepas pada peran negara dalam membentuk individu masyarakat yang berkepribadian Islam. Pembentukan itu telah dilakukan sejak manusia masih berada dalam rahim ibunya, berupa penanaman nilai akidah yang terus diasah melalui penambahan ilmu yang lain yang disediakan oleh negara melalui pendidikan formal.

Islam mewajibkan bagi setiap individu muslim menuntut ilmu dan mengajarkannya, sehingga keberadaan sebuah negara harus seoptimal mungkin dalam menyediakan fasilitas pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi, termasuk gaji para pendidik. Meskipun mengajar adalah suatu kewajiban, namun bagi seorang dosen, mereka terikat akad kerja dengan negara maupun pemilik kampus. Maka nilai jasa yang mereka keluarkan harus diganjar sepadan dengan gajinya. Jadi tak ada istilahnya para pendidik akan 'dibayar dengan pahala'.

Selama 14 abad memimpin peradaban, Islam sangat menjunjung tinggi pendidikan, karena dari situlah terbentuk generasi-generasi mulia dan unggul yang akan menjadi estafet penjaga syariat Allah dan terbentuknya jiwa-jiwa pejuang. Hal itu terbukti dari banyaknya universitas di berbagai negara peninggalan Islam, sekaligus lahirnya para ilmuan Islam. Semua itu tidak terlepas dari pembinaan guru-guru mereka yang serius dan fokus dalam meningkatkan kualitas peserta didiknya, sehingga generasi Islam pun berlomba-lomba menjadi berilmu dan membuahkan karya untuk peradaban.

Keberadaan guru maupun dosen yang hebat itu lahir dari negara yang hebat pula, yaitu khilafah. Khilafah begitu memuliakan posisi pendidik dan menghargai jasa mereka dengan memberikan gaji yang bisa memenuhi kehidupan mereka. Sebut saja pada masa khulafaur rasyidin, Khalifah Umar bin Khattab menggaji guru sebesar 15 dinar (1 dinar = 4.25 gram emas) atau setara dengan 86.500.000 rupiah hari ini. Begitu pun pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz gaji pendidik adalah sebesar 100 dirham, jauh berbeda dengan apa yang ada dalam sistem saat ini.

Begitulah Islam menghargai para pendidik. Khalifah menyadari betul bahwa menghargai profesi dosen adalah bentuk penjagaan bagi negara terhadap generasi selanjutnya. Maka kewajibannya sebagai pendidik sekaligus pencari nafkah akan diringankan oleh negara. Dengan penghargaan yang demikian, dosen tetap fokus mengajar tanpa dipaksa memilih antara mengajar dan mencari nafkah. Wallahualam.

Oleh : Novi Anggriani, S.Pd., Sahabat Tinta Media 

Rekomendasi Untuk Anda × +

Bagikan artikel ini

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini.

Artikel Menarik Lainnya :