Fenomena Food Waste dan Food Loss, Buah Gaya Hidup Sekuler - Tinta Media

Kamis, 02 Mei 2024

Fenomena Food Waste dan Food Loss, Buah Gaya Hidup Sekuler

Tinta Media - Pada tahun 2021, indeks limbah makanan dari United Nations Environment Programme (UNEP) melaporkan bahwa limbah rumah tangga merupakan penyumbang terbesar, yakni 569 ton per tahun 2019, diikuti dengan layanan makanan dan jasa lainnya. 

Indonesia menjadi negara dengan sampah makanan terbesar ke-2 di dunia.
Pernahkah kita berpikir bahwa makanan sisa yang terbuang akan sangat berpengaruh terhadap lingkungan? 

Fenomena food waste dan food lose secara global cukup banyak mendapatkan sorotan sebagai penyumbang limbah dan dampak buruknya untuk ekosistem. 

Menurut Food and Agriculture Organization (FAO), food waste adalah makanan yang terbuang, padahal makanan tersebut masih baik dan layak dikonsumsi. Sedangkan food loss  menurut FAO adalah limbah makanan atau makanan yang terbuang karena kondisi makanan yang sudah tidak layak konsumsi atau berkualitas rendah, seperti produk makanan olahan yang kedaluwarsa atau expired. 

Selain dari sisi lingkungan, kerugian pun berdampak pada sisi ekonomi dan kebutuhan pangan. Food loss (FL) pada dasarnya adalah hilangnya nilai ekonomi untuk badan usaha pangan, yang akan berdampak di tingkat global sebagai pemborosan nilai makanan. 

Fenomena food loss dan food waste ini menjadi hal yang miris dan sangat kontras ketika pada saat yang sama masyarakat kekurangan makanan, bahkan kelaparan masih terjadi di berbagai wilayah.

Pada Juli 2021, Oxfam melaporkan bahwa 155 juta orang di seluruh dunia hidup pada tingkat krisis ketahanan pangan dan 11 orang meninggal setiap menit dalam kondisi kelaparan. Namun mirisnya, masih banyak orang yang senang membuang-buang makanan. Ini merupakan gaya hidup akibat kebebasan berperilaku dan sikap individualisme akut yang lahir dari memperturutkan hawa nafsu manusia. 

Gaya hidup tersebut lahir dari penerapan sistem kapitalisme sekularisme liberalisme yang mengatur kebebasan dalam kepemilikan, sehingga ditemukan jurang yang dalam antara si kaya dan si miskin. Si kaya dapat mengakses segala fasilitas kehidupan, termasuk dalam mendapatkan makanan apa pun yang diinginkan, sedangkan si miskin sulit untuk mendapatkannya. 

Hal tersebut diperparah dengan gaya hidup hedonis yang menjadikan kepuasan jasadiyah (termasuk dalam hal makanan), begitu merebak di tengah masyarakat. Ini dibarengi dengan budaya komsumtif yang merupakan titik sentral kehidupan dalam tatanan sosial masyarakat kapitalisme. Perilaku konsumtif ini semakin dipicu oleh berbagai macam iklan di berbagai jenis media, baik cetak, elektronik, hingga media sosial.

Berbagai panganan (kuliner) menjamur di mana-mana, dari yang harga ekonomis hingga harga fantastis yang dipermudah dalam jual- belinya, baik online maupun offline. Ini menjadi peluang bisnis baru bagi masyarakat, terutama para kapitalis, karena bisnis makanan tidak ada matinya.

Keberadaan negara hanya sebagai regulator dan fasilitator yang justru mendukung perilaku-perilaku konsumtif dan hedonis ini, karena negara dengan sistem sekuler kapitalisme beranggapan bahwa setiap individu memiliki hak untuk memenuhi keinginan. Dalam hal ini, negara tidak boleh ikut campur. 

Di sisi lain, negara memberikan peluang bisnis kepada para kapitalis untuk menghadirkan berbagai fasilitas makanan tersebut demi memenuhi gaya hidup rakyat. Padahal, patokan kesejahteraan masyarakat tidak dilihat dari seberapa konsumtifnya mereka dalam hal makanan, tetapi apakah masyarakat secara keseluruhan mampu memenuhi kebutuhan hidupnya secara maksimal ataukah tidak. Bukan hanya kebutuhan jasmani (makan), tetapi juga kebutuhan-kebutuhan nalurinya. 

Hal seperti ini tidak dapat dibiarkan. Sebagai seorang muslim, tentu kita harus mengembalikan segala tata aturan kehidupan ini kembali kepada syari'at Islam, sebagai aturan Sang Pencipta, Allah Swt.

Fenomena food waste dan food loss menunjukkan adanya ketimpangan ekonomi di tengah masyarakat. Ini juga menunjukkan bahwa kesejahteraan tidak dirasakan oleh semua rakyat.
Negara di dalam Islam akan memastikan terpenuhinya segala kebutuhan masyarakat, termasuk dalam hal pangan. Dalam pembelanjaan harta, Islam sangat melarang perilaku konsumtif. 

Seperti dalam Firman Allah Swt.

ÙˆَØ¡َاتِ Ø°َا ٱلْÙ‚ُرْبَÙ‰ٰ Ø­َÙ‚َّÙ‡ُÛ¥ ÙˆَٱلْÙ…ِسْÙƒِينَ ÙˆَٱبْÙ†َ ٱلسَّبِيلِ ÙˆَÙ„َا تُبَØ°ِّرْ تَبْØ°ِيرًا

Artinya: "Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros." (TQS. Al-Isra :26)

Islam tidak pernah melarang umatnya menjadi kaya, tetapi Islam sangat melarang perilaku berlebihan-lebihan, apalagi dengan kondisi masih banyak masyarakat yang untuk makan saja sulit. 

Kesederhanaan yang diperintahkan langsung oleh Allah dalam Al-Qur’an dan dicontohkan oleh Rasulullah ini sangat mengakar dalam individu masyarakat Islam. Akhlak dalam hal makanan mengarahkan agar makan secukupnya dan berhenti sebelum kenyang. Mereka bisa mengatur segala asupan yang dibutuhkan sehingga tidak ada makanan yang terbuang, karena makan sesuai kebutuhan.

Di samping itu, Islam juga mendorong setiap individu dalam masyarakat untuk bertanggung jawab dalam urusan umat di sekitarnya, bukan hanya mementingkan individu saja.

Masyarakat dalam daulah Islam akan dididik, baik secara individu ataupun masyarakat untuk menyadari bahwa apa yang mereka konsumsi akan ada pertanggungjawaban di akhirat kelak, bahwa tolak ukur kebahagiaan bukan dari kepuasan dengan membeli atau mengonsumsi barang. Akan tetapi, bagaimana kita bisa membelanjakan harta sesuai tuntunan syari'at, baik dalam memenuhi kebutuhan pribadi, keluarga, kerabat, bahkan untuk masyarakat. Semua itu semata-mata demi meraih keridaan Allah Swt.

Ketetapan syariat Islam terkait kewajiban zakat (bagi yang sudah terkena nisab dan haul), disunahkannya infak, sedekah, dan sebagainya, merupakan cara Islam dalam menuntaskan masalah ketimpangan ekonomi yang mungkin muncul di tengah masyarakat. Pengelolaannya dilakukan oleh negara melalui kas di Baitul Mal. Ini akan memaksimalkan tercapainya maksud dari penetapan syariat tersebut.

Selain itu, negara juga memiliki peran penting dalam mengatur industri periklanan, agar media tidak seenaknya menayangkan iklan yang memunculkan perilaku konsumtif. Negara justru akan memanfaatkan media massa untuk mengedukasi (mendidik) rakyat dengan opini-opini dan ide-ide Islam, yang akan semakin menguatkan ketaatan rakyat terhadap Allah Swt.

Demikian pula akan diatur aktivitas produksi barang ataupun komoditas yang mendukung negara dalam pemenuhan kebutuhan rakyat, baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Hal ini berdasarkan politik Islam yang bermakna pengaturan urusan rakyat (umat).

Negara pun, akan menetapkan regulasi tentang pengelolaan limbah makanan, jika permasalahan tersebut muncul, termasuk terkait pemisahan jenis limbah dan peta jalan utama alur pengelolaan limbah dari hulu hingga hilir. Bahkan, negara akan melakukan riset dengan dana yang dikhususkan, untuk menemukan teknologi yang tepat dalam menuntaskannya. Wallahualam..

Oleh: Ira Mariana
Sahabat Tinta Media 
Rekomendasi Untuk Anda × +

Bagikan artikel ini

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini.

Artikel Menarik Lainnya :