Tinta Media - Jawa Barat sebagai salah satu provinsi dengan jumlah penduduk terbanyak di Indonesia, menjadi sorotan penting dalam peta politik, terlebih menjelang pilkada 2024. Calon-calon ini kembali berburu suara rakyat, untuk kursi panas pilkada, dengan berbagai cara, janji manis, dan popularitas. Ini dikarenakan dinamika politik dan kekayaan budaya yang dimilikinya, akan memperkuat posisi para partai politik dalam panggung Politik Nasional. Para partai politik akan menyiapkan figur-figur populer untuk dicalonkan sebagai calon gubernur atau wakil gubernur, karena hal ini sering kalih memiliki pengaruh yang kuat dalam masyarakat Jabar dan bisa menjadi kunci sukses dalam memenangkan pilkada.
Figur populer bukan lagi dari kalangan artis yang sering kalih menjadi pendulang suara dalam setiap pilkada. Sebagaimana yang kini ramai dibicarakan sebagai calon gubernur yakni, Ridwan Kamil, Dedi Mulyadi, Bima Arya Sugiarto. Mereka bukan dari kalangan selebriti, tetapi popularitasnya melampaui selebriti. Tidak heran jika partai politik akan merebutkan mereka untuk diusung dalam pilkada.
Selain itu, koalisi partai keadilan (PKS) dan partai Golkar sepakat mengusung Imam Budi Hartono dan Ririn Farabi A. Rafiq sebagai calon wakil kota dan wakil wali kota Depok di pilkada 2024. Imam mengatakan koalisi PKS dan Golkar membuka lebar-lebar bagi partai politik yang ingin bergabung. Sebab, PKS dan Golkar memiliki tujuan sama, yaitu membangun kota Depok bersama-sama begitulah salah satu janji manis yang mereka lontarkan untuk merebut kursi kekuasaan di pilkada.(TEMPO.CO, Jakarta, 12 May 2024)
Dengan berbagai cara, janji manis, dan popularitas untuk mendapatkan kursi panas di pilkada hanya permainan belaka yang mereka gunakan. Padahal sejatinya, kontestasi ini bukan kepentingan rakyat, melainkan demi kepentingan elite oligarki. Mereka bekerja sama demi keuntungan duniawi semata. Para partai politik yang akan menang nantinya akan memberikan peluang kepada oligarki untuk mengambil keuntungan dari sumber daya alam yang dimiliki sebuah daerah tersebut dan rakyat pun diperdayakan.
Terlebih lagi masalah yang biasanya muncul pada politik, yakni korupsi. Korupsi politik akan senantiasa muncul dalam masyarakat sekuler. Terlebih lagi negara yang menerapkan sistem demokrasi, namun masyarakat sering kali salah mengira kalau korupsi politik itu semata-mata terjadi karena kesalahan individu, bukan kesalahan sistematik. Padahal fakta menujukan bahwa sistemlah yang menghasilkan individu-individu yang bermasalah. Dan sistem itu pula yang kemudian memberikan individu-individu tersebut melakukan bentuk korupsi. Beginilah jika berburu kedudukan sebagai penguasa, kekuasaan akan menjadi sarana meraih materi dan kedudukan.
Gambaran ini berbeda sekali dengan Islam. Dalam Islam kekuasaan adalah amanah, dan konsekuensi riayah (pengurusan), yang akan di minta pertanggung jawaban kelak. Bukan untuk kepentingan elite oligarki, meraih materi, maupun kedudukan semata. Akan tetapi kekuasaan itu untuk menetapkan hukum, yang menentukan benar dan salah, yang menentukan halal dan haram, ada di tangan Syariah Islam sesuai dengan ketetapan Allah dalam al-Qur’an dan As-Sunnah, bukan ditangan manusia. Dan menghilang kan kezaliman-kezaliman yang ada. Penguasa dalam Islam akan mengerti betul tugas yang dibebankan oleh mereka karena semua perbuatan dalam Islam ada konsekuensinya di akhirat kelak.
Selain itu, pemilihan kepala daerah dalam Islam sederhana, cepat, dan mudah, efektif dan efisien karena kepala daerah (wakil atau amil) dipilih oleh khalifah. Mereka adalah perpanjang tangan khalifah dalam meriayah rakyat dan juga membantu menjalankan penerapan syariah Islam di daerah tersebut. Bukan penguasa daerah tunggal. Dan pemilihan ini bukan semata-mata popularitas atau yang lainnya.
Oleh: Dzakiyyah Kholishotun Nuha, Sahabat Tinta Media