Tinta Media - Pembunuhan dan kekerasan seksual terhadap anak bukan lagi menjadi rahasia umum, hal demikian terus saja terjadi bahkan kian marak terjadi. Mirisnya pelakunya merupakan anak di bawah umur yang juga merupakan teman korban sendiri.
Di Sukabumi, seorang anak laki-laki yang baru mau duduk di bangku sekolah dasar berinisial MA (6 tahun) ditemukan tewas di jurang perkebunan dekat rumah neneknya diwilayah kecamatan Kadudampit, kabupaten Sukabumi. Tidak hanya dibunuh tapi juga menjadi korban kekerasan seksual sodomi. Polres Sukabumi mengungkapkan bahwa pelaku utama pembunuhan dan sodomi merupakan seorang pelajar yang masih duduk dibangku SMP. Polisi pun menetapkan pelaku sebagai tersangka dan berstatus Anak Berhadapan dengan Hukum (ABH). (Sumber Sukabumiku.id)
Tidak hanya di Sukabumi, di Jambi pihak kepolisian menemukan fakta baru dalam persidangan dua tersangka atas kematian santri Pondok Pesantren Raudhatul Mujawwin bernama AH (13 tahun) yang dibunuh oleh teman sesama santri. Majelis hakim pengadilan negeri (PN) Kabupaten Tebo telah menjatuhkan vonis terhadap dua tersangka, yaitu AR (15) dengan hukuman 7 tahun 6 bulan penjara, sedangkan Rd (14) dengan hukuman 6 tahun 6 bulan penjara. (sumber Metrojambi.com) kedua kasus tersebut hanyalah sebagian kecil kasus dan masih banyak lagi kasus kriminal lainnya.
Menurut data dari Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia kasus anak yang berkonflik dengan hukum menunjukkan peningkatan pada periode 2020 hingga 2023, tercatat hampir 2.000 anak berkonflik dengan hukum. Sebanyak 1.467 anak di antaranya berstatus tahanan dan masih menjalani proses peradilan, sementara 526 anak sedang menjalani hukuman sebagai narapidana. Anak-anak yang menjalani masa tahanan di tempatkan pada beragam fasilitas pemasyarakatan. Saat ini tahanan anak ditampung di Lembaga pemasyarakatan (lapas) 243 orang, rumah tahanan negara (rutan) 53 orang, dan Lembaga pemasyarakatan perempuan (LPP) sejumlah 7 orang. Di tahun 2023 masih menyisakan empat bulan hingga akhir tahun, artinya angka tersebut kemungkinan akan mengalami peningkatan. Hal demikian menjadi alarm bahwa anak-anak di negeri ini sedang tidak baik-baik saja dan menuju pada kondisi yang sangat problematik. (sumber Kompas.id)
Hal demikian sangatlah miris, namun maraknya kriminalitas oleh anak-anak merupakan gambaran buruknya output dalam sistem pendidikan kapitalisme. Yaitu sistem yang hanya berorientasi pada materi. Maka akibatnya Orang tua dianggap hanya sebagai pihak pemberi materi, sehingga orang tua merasa cukup jika sudah mampu memenuhi kebutuhan anak-anaknya berupa materi seperti pakaian, makanan, mainan kesukaan mereka, hingga sekolah favorit dan lainnya. Sementara itu orang tua juga hanya sebagai pengejar materi sebagaimana yang ditanamkan oleh kapitalisme.
Akibat dari tekanan ekonomi ayah dan ibu sibuk bekerja sehingga anak-anak pun tidak mendapatkan pendidikan yang benar di dalam rumah, sementara itu disekolah juga diarahkan oleh sistem pendidikan sekuler yakni kurikulum pendidikan sekuler yang berorientasi pada materi dan minim nilai agama. Alhasil anak-anak pun terus diarahkan mengejar prestasi tanpa bimbingan akhlak dan ketaatan kepada Allah swt.
Apalagi sanksi di sistem kapitalisme tidak membuat jera pelaku kriminal. Apalagi jika pelakunya anak-anak (usia kurang dari 18 tahun), adanya peradilan anak yang juga tidak membuat si anak pelaku kriminal jera. Akibatnya anak-anak pelaku kriminal pun semakin marak akibat dari sanksi yang tidak menjerakan hingga kasus kriminal terus marak terjadi.
Berbeda dalam sistem pendidikan Islam dalam menjaga generasi dari kehancuran dan kerusakan, Islam memiliki mekanisme yang mampu mencetak generasi yang berkualitas baik dari segi keimanan, akhlak dan potensi diri. Islam memiliki sistem pendidikan Islam yang berdasarkan pada akidah Islam sehingga mampu dan telah terbukti menghasilkan peserta didik yang memiliki kepribadian Islam bukan kepribadian kriminal.
Dalam Islam peran keluarga juga menduduki posisi yang khusus, keluarga merupakan fondasi awal sebuah peradaban karena kualitas generasi pertama kali ditentukan oleh keluarga. Peran orang tua dalam pendidikan anak sangat besar, Islam mewajibkan ibu menjadi sekolah pertama dan pendidik pertama bagi anak-anaknya. Didikan seorang ibu yang berlandaskan pada syariat Islam maka akan membentuk anak yang sholih dan sholihah. Pembentukan karakter ini akan semakin kuat karena Islam mewajibkan seorang ayah menjadi qawwam (pemimpin keluarga) sehingga peran ayah dan ibu akan memberi dampak yang sangat besar bagi pendidikan anak-anaknya.
Islam juga menetapkan adanya sanksi yang tegas sehingga keamanan pun anak-anak terjamin. Dalam Islam pelaku kejahatan akan diberi sanksi selama mereka sudah baligh dan dilakukan dalam keadaan sadar. Islam tidak mengenal pembatasan usia berdasarkan umur seperti usia 18 tahun yang dikategorikan sebagai anak-anak dan usia di atas 18 tahun dikategorikan dewasa. Islam hanya mengenal pembatasan usia berdasarkan baligh. Jika anak-anak belum baligh maka akan dihukumi anak-anak. Jika anak-anak sudah baligh maka mereka dihukumi mukallaf. Karena itu sekalipun usia mereka masih 15 tahun jika mereka sudah baligh maka sanksi akan berlaku kepada mereka. Penganiayaan yang berakhir pembunuhan akan mendapatkan sanksi qishas, sodomi mendapatkan had liwath yakni dijatuhkan dari tebing atau tempat didaerah tersebut. (sumber MMC)
Maka dengan demikian sanksi Islam akan menimbulkan efek zawajir yang mampu menjadi pencegah dan jawabir menjadi penebus dosa bagi pelaku kriminal. Tidak hanya itu dengan penerapan sanksi juga akan mampu menumpas para pelaku pembunuhan termasuk pelaku sodomi. Sehingga sanksi yang diterapkan akan mampu memberikan efek jera dan tidak menimbulkan adanya pelaku baru. Hanya saja konsep demikian akan terwujud jika keluarga, masyarakat, dan negara menerapkan Islam secara kaffah dalam setiap sendi kehidupan. Allahu A’lam Bishawab.[]
Oleh: Haniah, Sahabat Tinta Media