Anak Pelaku Kejahatan Lahir dari Sistem Rusak - Tinta Media

Minggu, 19 Mei 2024

Anak Pelaku Kejahatan Lahir dari Sistem Rusak


Tinta Media - Masyarakat dipaksa untuk terbiasa saat mendengar ada kasus kejahatan  yang terjadi, karena jumlah kejahatan setiap tahunnya terus meningkat. Bahkan Kepolisian Republik Indonesia (Polri) mencatat ada 288.472 kejahatan selama tahun 2023. (Dataindonesia.id. 28/12/2023). Kasus kejahatan ini rata-rata dilakukan oleh orang dewasa.

Tetapi akhir-akhir ini ada kasus kejahatan yang dilakukan oleh anak di bawah umur. Sungguh sangat menggemparkan publik. Anak sekecil itu sudah lihai melakukan kelakuan bejatnya seorang diri. Bermula dari anak laki-laki berinisial MA (6) menjadi korban pembunuhan, tidak hanya dibunuh anak yang baru mau duduk di sekolah dasar ini juga menjadi korban kekerasan seksual sodomi. Yang menjadi pelaku utama kasus ini adalah seorang pelajar berusia 14 tahun yang masih duduk di bangku sekolah menengah pertama (SMP). (Sukabumiku.id. 02/05/2024)

Tak berhenti di kasus tadi, ada juga kasus pembunuhan yang dilakukan di pondok pesantren. Polisi mengungkap penyebab kematian santri Airul Harahap (13) di pondok pesantren Raudhatul Mujawwadin Kabupaten Tebo, Jambi. Ternyata sebelum meninggal korban dipukuli menggunakan kayu oleh dua orang senior berinisial AR (15) dan RD (14). Akar permasalahannya karena korban menagih utang kepada pelaku. (Detik.com. 23/03/2024)

Maraknya kriminalitas oleh anak-anak saat ini, terjadi karena diatur oleh sistem yang salah, sistem yang menomorsatukan materi, manfaat dan kebebasan yaitu kapitalisme. Bahkan dalam kapitalisme peran orang tua dianggap hanya sebagai pihak pemberi materi, sementara itu orang tua juga tugasnya hanya mengejar materi sebagaimana yang ditanamkan oleh kapitalisme ini.

Padahal orang tua merupakan lingkungan pertama bagi anak untuk mendapatkan pendidikan, karena ini akan menentukan sifat dan karakter anak pada masa yang akan datang. Hanya saja hidup dalam sistem kapitalis peran orang tua sangat minim dalam memberikan pendidikan pada anak-anaknya. Dengan dalih sibuk pada pekerjaannya maka perhatian yang dibutuhkan oleh anak seolah sudah cukup tergantikan hanya dengan memenuhi faktor finansialnya saja. Atau "broken home" yang dirasakan oleh anak menyebabkan anak mencari perhatian dengan melakukan hal-hal di luar nalar. Begitu pun kondisi ekonomi yang kurang atau kurang kesadaran orang tua terhadap pendidikan. Itu semuanya faktor yang menyebabkan peran orang tua tidak mempunyai andil dalam mendidik anak-anak mereka. (Psikologiuma.ac.id. 03/06/2023)

Tidak hanya peran orang tua yang bergeser dalam sistem ini, tataran masyarakat pun  seolah menutup mata melihat kejadian ini, padahal semua orang mempunyai tanggung jawab yang besar untuk menciptakan anak- anak sebagai penerus generasi. Yang harus turun tangan langsung yaitu mulai dari pihak keluarga, masyarakat bahkan pemerintah.  Yang paling penting adalah peran pemerintah, karena mempunyai wewenang untuk membuat aturan dalam bidang pendidikan yang dapat mencetak karakter pelajar yang tangguh, tapi ternyata kurikulum pendidikan yang dibuat pun mendukung untuk pelajar memiliki gaya hidup yang sekuler dan hedonis, sehingga menjauhkan dari kepribadian yang luhur.

Selain sistem pendidikan, pemerintah mempunyai wewenang dalam mengontrol lalu lintas sistem informasi digital. Kebebasan mengakses semua informasi tanpa penyaringan dapat menyebabkan anak-anak di bawah umur bebas melihat berbagai informasi tentang kekerasan, pergaulan bebas, pornografi/pornoaksi. Sehingga mereka dengan leluasa bisa mencontoh tanpa memahami kebaikan dan keburukannya.

Berbeda dengan Islam, dalam sistem pendidikan Islam yang pertama dilakukan adalah membangun kepribadian islami, yaitu pola pikir dan pola sikap bagi anak - anak. Ini menjadi sebuah keharusan karena akidah Islam adalah dasar kehidupan setiap muslim sehingga dijadikan sebagai landasan untuk berpikir dan bertindak, maka akan menghasilkan kepribadian yang luhur dan mulia.

Mempersiapkan anak-anak menjadi generasi unggul agar diantara mereka menjadi para ulama yang ahli dalam setiap bidang kehidupan, baik ilmu agama maupun sains dan teknologi. Jadi mereka mahir dalam sistem digitalisasi dan bertakwa kepada Allah sehingga mereka sanggup menjadi generasi pemimpin yang diharapkan oleh umat. Anak-anak tidak akan kehilangan arah dan terjerumus dalam kejahatan karena mereka sudah faham benar tujuan dalam mengarungi kehidupan.

Tak perlu diragukan lagi, jika aturan Islam diterapkan dalam setiap aspek kehidupan, termasuk dalam sistem pendidikan maka keberhasilan akan diraih. Sebagaimana telah dicontohkan oleh para ulama shalih terdahulu, salah satunya diantara banyak sosok yang dijadikan panutan, seperti Imam Syafii pada usia 7 tahun sudah menghafal Al- Qur'an  dan menjadi qadhi. Masya Allah.

Wallahu'alam Bishowab.

Oleh: Irma Legendasari, Sahabat Tinta Media 

Rekomendasi Untuk Anda × +

Bagikan artikel ini

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini.

Artikel Menarik Lainnya :