Tinta Media - Kaum muslim saat ini masih dalam suasana suka cita setelah merayakan hari kemenangan Idul Fitri. Namun, di balik kebahagiaan momen tersebut ternyata tersimpan cerita miris, yaitu timbulnya peningkatan volume sampah.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Jabar, Prima Mayaningtyas mengatakan bahwa buangan sampah dari kawasan Bandung Raya ke TPK Sarimukti selama Ramadan mencapai 1.611,23 ton atau sekitar 347 truk per hari. Jumlah tersebut berasal dari Kota Bandung 32.807,35 ton, Kota Cimahi 4.066,47 ton, Kabupaten Bandung 5.669,64 ton, dan Kabupaten Bandung Barat 4.182,61 ton.
Jadi, selama Ramadan total ritasi 10.065 truk, total tonase sebanyak 46.726,06 ton. Dari data yang ada, Kota Bandung masih menempati urutan tertinggi volume sampah yang dibuang ke TPK Sarimukti. Hal itu karena Kota Bandung merupakan kota metropolitan yang berpotensi menghasilkan sampah lebih banyak.
Memang, di setiap momen hari raya penumpukan sampah acapkali terjadi. Tempat wisata dan pusat kegiatan keagamaan, serta tempat kumpul-kumpul biasanya mengalami lonjakan volume sampah. Walaupun pasukan kebersihan telah dikerahkan hingga 2 kali lipat serta adanya imbauan kepada masyarakat untuk menerapkan konsep kurangi, pisahkan, dan manfaatkan sampah (kangpisman) organik dan anorganik, tetapi penumpukan sampah tak kunjung teratasi, bahkan menggunung. Tak hanya di tempat pembuangan akhir (TPA), bahkan sering kita temui di pinggir-pinggir lahan kosong.
Walaupun pemerintah telah menggandeng perusahaan swasta untuk pengelolaan sampah dan co-firing sampah untuk dijadikan bahan baku terbarukan, tetapi sepertinya hal itu baru wacana saja. Faktanya, penumpukan sampah terus terjadi dan anehnya hal ini terjadi di banyak daerah di negeri ini.
Hari Peduli Sampah Nasional (HPSN) diperingati setiap 21 Februari. Sayangnya, meski peringatan demi peringatan dilewati setiap tahun, tetapi tidak menyolusi masalah sampah. Padahal, Indonesia telah mengonfirmasi kesiapannya dalam melaksanakan komitmen Zero Waste Zero Emission 2050. Akankah hal ini terealisasi di tengah minimnya penegakan hukum dan anggaran pengelolaan sampah oleh pemerintah?
Penumpukan sampah bukan hanya lahir dari kegiatan masyarakat, peningkatan jumlah penduduk, perubahan musim, ataupun momen tertentu. Pangkal dari permasalahan sampah muncul dari pola hidup konsumtif masyarakat yang berbelanja bukan untuk memenuhi kebutuhan, tetapi untuk memuaskan keinginan yang tak ada habisnya.
Masyarakat kerap kali membeli barang karena ingin tampil beda, show off barang baru untuk mendapatkan pujian ataupun prestise dari orang lain. Walaupun tak jarang kegiatan tersebut didukung dengan modal dari hasil berutang ataupun terjerat pinjol, terlebih jika ada diskon yang sering terjadi pada momen hari raya. Ini menjadikan mereka gelap mata.
Pakaian hingga makanan diskon sering kali dibeli, baik secara langsung maupun online. Nyatanya, setiap produk yang dibeli akan dibungkus minimal dengan kantung plastik yang akan menghasilkan sampah.
Inilah yang menjadikan salah satu sebab penumpukan sampah terjadi saat momen hari raya, terkhusus Idul Fitri yang menjadi hari kemenangan umat Islam yang mayoritas di Indonesia.
Perilaku konsumtif masyarakat seperti itu tercipta karena adanya kepuasan saat berbelanja. Pola hidup ini menjadi cara pandang hidup masyarakat yang lahir dari ideologi kapitalisme yang menjadikan kepuasan individu sebagai tolok ukur kebahagiaan manusia. Ideologi ini mengusung sekularisme, yaitu paham yang memisahkan agama dari kehidupan.
Dengan ideologi ini, manusia tidak memikirkan bahwa sikap boros dan membuang-buang harta kelak akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah Swt. di hari akhir.
Allah Swt. berfirman dalam surat al-Isra ayat 26 dan 27 yang artinya:
"Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya orang-orang yang pemboros itu adalah saudara setan dan setan itu sangat ingkar kepada Tuhannya."
Seharusnya, masalah sampah juga menjadi tanggung jawab negara. Namun, sistem kapitalisme yang diusung negeri ini tak akan pernah mengurus dan memedulikan rakyat secara tulus, tidak memperhatikan kerusakan lingkungan dan memedulikan keselamatan manusia.
Hal utama yang menjadi perhatian para penguasa dan pejabat dalam sistem ini ialah mendapatkan keuntungan dan terpenuhinya kepentingan saat berkuasa. Berbagai solusi dan inovasi telah dilakukan. Namun, sampah menjadi persoalan yang tak pernah bisa terurai, bahkan setiap kebijakan untuk mengatasinya pun selalu pragmatis.
Permasalahan sampah seharusnya diatasi dari akar masalah yang utama, yakni mengubah mindset konsumtif masyarakat. Pola konsumtif inilah yang seharusnya diubah dengan pola konsumsi yang benar yang ada pada Islam.
Islam mendorong manusia untuk memiliki gaya hidup bersahaja, mengonsumsi sesuai kebutuhan, dan melarang untuk menumpuk tanpa pemanfaatan. Hal ini akan terwujud karena dorongan keimanan yang muncul karena penerapan sistem Islam.
Masalah sampah juga menjadi tanggung jawab negara. Islam mengharuskan negara menjalankan fungsinya sebagai pengurus rakyat dengan mengedukasi bahaya sampah bagi kehidupan. Islam memiliki sistem pengelolaan sampah yang sistematik.
Sejarah kekhilafahan Islam telah mencatat hal tersebut sejak abad 9 hingga 10 Masehi. Pada masa Bani Umayyah, jalan-jalan di kota Cordoba bersih dari sampah karena adanya mekanisme menyingkirkan sampah di perkotaan yang idenya dibangun oleh Qusta bin Luqo, ar-Raszi, Ibnu al-Jazzar, dan Al-Masihi. Tokoh-tokoh ini telah mengubah sistem pengelolaan sampah yang awalnya diserahkan kepada masing-masing individu beralih ke negara. Wallahu’alam bisshawwab.
Oleh: Thaqiyunna Dewi, S.I.Kom
Sahabat Tinta Media