Secara Normatif maupun Faktual, Pancasila Hanyalah Nama Lain dari Sekularisme - Tinta Media

Rabu, 10 April 2024

Secara Normatif maupun Faktual, Pancasila Hanyalah Nama Lain dari Sekularisme

Tinta Media - Tadinya, kaum Muslim bersatu dalam naungan khilafah dengan menjadikan Islam sebagai dasar negaranya sehingga tegaklah syariat Islam secara kaffah. Pasca runtuhnya khilafah, kaum Muslim terpisah dan tersekat ke lebih dari 57 negara bangsa dan tak satu pun negaranya yang menerapkan syariat Islam secara kaffah. 

Hal itu terjadi lantaran faktor internal dan eksternal. Secara internal pemahaman kaum Muslim terhadap ajaran Islam mengalami kemerosotan signifikan. Secara eksternal, kafir penjajah berhasil menanamkan  ide sekularisme dan ide negara bangsa di benak tokoh-tokoh Muslim yang memang mengalami kemunduran pemahaman akan ajaran agamanya sendiri. 

Khusus di Indonesia, merupakan keberhasilan penjajah kafir Belanda dalam program Politik Etis pada 1901-1942 M, yang salah satu targetnya adalah berupa edukasi agar kaum Muslim menjadi sekuler dan menerima ide negara bangsa.

Walhasil, bukan berjuang mengusir penjajah untuk kembali menegakkan syariat Islam secara kaffah dengan sistem pemerintahan khilafah dan menjadikan Islam sebagai dasar negaranya, setelah penjajah terusir malah semuanya menjadikan sekularisme sebagai dasar negaranya. Sistem pemerintahannya: ada yang demokrasi (contoh: Indonesia; Pakistan); ada pula yang kerajaan (contoh: Brunei Darussalam; Arab Saudi). 

Hanya saja, sekularisme ini memiliki nama beragam. Di Indonesia dikenal dengan nama Pancasila.

Normatif dan Faktual 

Mungkin sebagian kaum Muslim bertanya-tanya mengapa Pancasila dikatakan sebagai nama lain dari sekularisme, bukankah sila pertamanya jelas-jelas “Ketuhanan Yang Maha Esa”, bahkan di Pembukaan UUD 1945 disebutkan “Atas berkat Rahmat Allah Yang Maha Kuasa...”?

Dikatakan sekuler/sekularisme karena memang secara normatif maupun secara faktual mempercayai adanya Tuhan Yang Maha Esa (Allah yang Mahakuasa) tetapi dalam tata negaranya, maupun sebagian (besar) hukum yang diterapkan bukan dari Islam, bahkan tak sedikit yang bertentangan dengan Islam.  

Secara tata negara, negara ini bersistem pemerintahan demokrasi (sesuai dengan sila keempat Pancasila). Sedangkan dalam pandangan Islam, demokrasi merupakan sistem kufur yang haram untuk ditegakkan, dijaga, dan disebarluaskan. Lantaran, sistem tersebut (1) bukan lahir dari akidah dan syariat Islam, tetapi lahir dari akidah sekuler kafir penjajah Barat, serta (2) menjadikan kedaulatan ada di tangan rakyat. 

Padahal dalam Islam, kaum Muslim sama sekali tak boleh menerapkan sistem pemerintahan yang lahir dari (1) akidah dan aturan selain Islam, dan (2) wajib hanya menjadikan Allah SWT yang berdaulat dengan menjadikan Al-Qur’an, Hadits, Ijma Shahabat dan Qiyas Syar’i sebagai sumber hukumnya.

Selain itu tak ada satu klausul pun dalam konstitusi negara Pancasila ini yang mewajibkan penyelenggara negara menerapkan aturan dari Tuhan Yang Maha Esa (Allah yang Mahakuasa) secara kaffah. Makanya, banyak regulasi yang jelas-jelas bertentangan dengan Islam tetapi tak pernah dinyatakan bertentangan dengan Pancasila. 

Di antaranya adalah regulasi yang melegalkan perbankan maupun pinjaman online (pinjol) menarik riba (bunga/interest); melegalkan negara melalui BUMN Sarinah mengimpor khamar (miras/minol) dan menjualnya di negeri yang berpenduduk mayoritas Muslim ini, juga melegalkan Pemda DKI Jakarta dan Pemda NTT memiliki saham di pabrik khamar. 

Sampai detik ini pun badan yang paling otoritatif dalam pembinaan ‘ideologi’ Pancasila (BPIP) tak pernah mempermasalahkan semua keharaman dalam Islam tersebut sebagai sesuatu yang bertentangan dengan Pancasila.

Bahkan, UU Omnibus Law Cipta Kerja yang jelas-jelas bertentangan dengan Islam karena banyak pasal yang bertentangan dengan ajaran Islam, (salah satunya adalah memandatkan kepada presiden agar membolehkan asing berinvestasi membuat pabrik miras di Indonesia) dikatakan sesuai Pancasila. 

“Saya bisa katakan Omnibus Law UU Cipta Kerja Pancasila banget,” ujar Sekretaris Utama BPIP Karjono, Jumat (27/11/2020) sebagaimana diberitakan di situs resmi BPIP, bpip.go.id.

Lebih jauh lagi, malah Ketua BPIP Yudian Wahyudi sebelumnya (Februari 2020) menyatakan, “Jadi kalau kita jujur, musuh terbesar Pancasila itu ya agama.” Agama apa lagi yang dimaksud kalau bukan Islam? Karena selama ini ajaran agama yang distigma negatif rezim negara Pancasila ini adalah Islam, tak terdengar mereka menstigma negatif ajaran agama selain Islam. 

Di sini kaum Muslim mesti sadar, Pancasila hanyalah nama lain dari sekularisme. Selain itu, tak perlu pula berekspektasi seluruh syariat Islam akan diterapkan secara sempurna di negara Pancasila dengan sistem pemerintahan demokrasinya.

Karena, sekularisme ---apa pun namanya--- memastikan tata negaranya jangan sampai islami, dan (sebagian/sebagian besar/seluruh) aturan yang ditegakkan tak boleh dari Islam. 

Maka tak aneh, Pancasila kerap kali dijadikan alat rezim dari masa ke masa untuk menggebuk siapa saja yang ingin menerapkan syariat Islam secara kaffah, dengan alasan: radikal, bertentangan dengan Pancasila, tidak demokratis, dan lain sebagainya.

Tapi giliran penjahat seksual manggung di podcastnya Deddy Corbuzier dan berbagai wasilah lainnya, Menko Polhukam Mahfud MD mengatakan, “Ini negara demokrasi. Negara tak berwenang melarang Deddy menampilkan LAGI BETE di podcast miliknya.” 

Padahal jelas-jelas propaganda kejahatan seksual yang dilakukan DC itu sama haramnya dengan praktik kejahatan seksual yang dilakukan pasangan penjahat seksual yang diundangnya, semuanya (dalam aturan Islam) wajib dihukum tegas, tanpa ampun. 

Maka, sekali lagi, dapat disimpulkan, secara normatif maupun faktual, Pancasila hanyalah nama lain dari sekularisme. Tak lebih dan tak kurang. Wallahu’alam bish-shawwab. [] 

Depok, 14 Syawal 1443 H | 15 Mei 2022 M

Oleh: Joko Prasetyo 
Jurnalis
 


Rekomendasi Untuk Anda × +

Bagikan artikel ini

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini.

Artikel Menarik Lainnya :