Tinta Media - Kementerian Agama dan Unicef menjalin kerja sama untuk memperkuat perlindungan hak anak di Indonesia. Kemenag yang diwakili Dirjen Bimas Islam, Kamarudin Amin mengatakan, dengan MOU ini akan terwujud hak-hak anak Indonesia. Kerja sama ini meliputi advokasi, pengembangan kapasitas, dan berbagi sumber daya sebagai langkah konkret meningkatkan kesadaran akan hak-hak anak (www.kemenag.go.id, 28/03/2024).
Amin menekankan pentingnya meningkatkan kualitas hidup anak-anak, terutama dalam hal pendidikan, serta akses masjid yang ramah untuk anak (m.antaranews.com, 28/3/2014).
Akankah MOU ini menyelesaikan berbagai persoalan yang membelit anak?
Menakar Masalah
Tidak bisa dimungkiri, masalah anak sangat kompleks. Bukan hanya kurangnya akses pendidikan dan kesejahteraan anak, bahkan kemiskinan, stunting, maupun kekerasan anak masih tinggi. Permasalahan sistemik muncul akibat penerapan sistem kapitalisme yang mengagungkan kebebasan individu, salah satunya dalam kepemilikan.
Sektor publik seperti tambang dan sumber daya lainnya bisa diprivatisasi, hingga kekayaan negara dikuasai segelintir oligarki. Sementara, rakyat hidup di bawah garis kemiskinan. Negara pun ikut dimiskinkan. Sehingga, ketika melaksanakan pembangunan, negara hanya mengandalkan pajak dan utang luar negeri.
Terlebih, sistem ini juga menempatkan pemerintah hanya sebatas regulator, bukan periayah rakyat. Kebijakan penguasa justru memihak swasta yang hanya mengejar keuntungan.
Layanan publik seperti pendidikan dan kesehatan diliberalisasi dan dikapitalisasi. Akibatnya, untuk mendapat layanan kesehatan dan pendidikan berkualitas, rakyat dibebani biaya tinggi. Sementara, layanan yang disediakan pemerintah kurang memadai.
Kendala dalam mengakses sektor ini menyebabkan anak putus sekolah, anak terpaksa bekerja, mengalami diskriminasi, hingga berbagai kekerasan. Kerja sama Unicef dan Kemenag layak diapresiasi, tetapi merupakan solusi yang bersifat tambal sulam, tidak menyentuh akar permasalahan.
Sebagaimana solusi yang ditawarkan pemerintah sebelumnya, selama masih dalam bingkai kapitalisme, maka tidak akan menyelesaikan masalah. Seperti UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Dengan adanya undang-undang tersebut, faktanya kasus kekerasan pada anak masih merebak.
Kekerasan terhadap anak, baik pemukulan, penganiayaan, perundungan, hingga pemerkosaan masih terjadi, baik di lingkungan keluarga, sekolah maupun masyarakat. Komnas Perlindungan Anak melaporkan, pada tahun 2023 terdapat 3.547 kasus kekerasan terhadap anak. Sebanyak 3.000 di antaranya berupa kekerasan seksual terhadap anak (umsida.ac.id, 22/1/2024).
Bahkan, angka stunting Indonesia masih menduduki peringkat tertinggi kedua setelah Timor Leste (theconversation.com, 14/9/2023).
Ini adalah berbagai persoalan yang senantiasa akan ada dalam sistem kapitalisme.
Sistem Islam Pelindung Hakiki Anak
Berbeda dengan sistem kapitalisme, Islam mempunyai solusi tuntas mewujudkan perlindungan hak-hak anak. Penguasa dalam sistem Islam adalah penggembala yang bertanggung jawab secara penuh untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat, termasuk anak. Nabi saw. bersabda yang artinya,
"Imam itu laksana penggembala, dan dialah penanggung jawab rakyat yang digembalakannya."
Seorang penguasa berkewajiban memastikan setiap rakyatnya terpenuhi semua kebutuhan pokok, baik secara individu maupun kebutuhan pokok komunal. Nabi saw. mengancam seorang pemimpin bahwasanya ia tidak akan mencium bau surga jika menyia-nyiakan amanah mengurus rakyat.
Penguasa menjamin kebutuhan pokok individu, baik berupa pangan, sandang, dan papan. Dia menjamin harga kebutuhan pokok terjangkau oleh rakyat, kemudahan bagi laki-laki bekerja untuk memenuhi kewajiban nafkah, serta hak yang sama bagi rakyat untuk mengakses sektor tersebut.
Penguasa berkewajiban memenuhi kebutuhan pokok komunal, baik pendidikan, kesehatan, maupun keamanan secara gratis. Setiap rakyat mempunyai hak yang sama dalam mengakses pendidikan dan kesehatan dengan layanan terbaik. Sektor ini tidak boleh dikomersialisasi dan dikapitalisasi.
Dalam sistem Islam, penguasa mudah meriayah (mengurusi) rakyat karena memiliki sumber pendapatan yang berlimpah. Salah satunya dengan pengaturan mekanisme pembagian kepemilikan. Ada kepemilikan umum, seperti bahan tambang, gas, batu bara, hutan, laut, dan sebagainya. Juga ada kepemilikan negara, seperti kharaj, jizyah, usyur, harta orang murtad, harta orang yang tidak memiliki ahli waris, dan sebagainya. Pemasukan dari kedua sektor ini lebih dari cukup untuk meriayah (mengurusi) rakyat.
Dengan mekanisme sempurna tersebut, negara mampu mewujudkan kesejahteraan rakyat, termasuk memenuhi hak-hak anak, baik pendidikan maupun kesehatan. Hal tersebut akan terwujud bila penguasa menerapkan Islam secara kaffah.
Oleh: Ida Nurchayati
Aktivis Muslimah