Tinta Media - Pada saat itu, para utusan kabilah Abs, Zubyan, Banu Kinanah, Ghatfan dan Fazarah menuju ke rumah orang-orang terkemuka dan menyampaikan kepada Khalifah Abu Bakar bahwa mereka akan menjalankan shalat tetapi tidak akan membayar zakat. Sehingga sang Khalifah mengumpulkan beberapa sahabat dan dengan tegas, Abu Bakar menyatakan pada Umar, “Demi Allah, aku akan memerangi mereka yang membedakan antara kewajiban shalat dengan zakat, orang yang keberatan menunaikan zakat kepadaku, yang dulu mereka lakukan kepada Rasulullah Sallallahu 'alaihi wassalam, akan aku perangi."
Umar khawatir bahwa memerangi mereka akan membahayakan kaum
muslimin. "Bagaimana kita akan memerangi orang yang Rasulullah SAW.
menyatakan 'Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka
berkata: Tiada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rasul-Nya. Barang siapa
telah berkata demikian, maka darah dan hartanya terjamin, kecuali dengan
alasan, dan masalahnya kembali kepada Allah,” ujar Umar.
Khalifah Abu Bakar langsung menjawab, "Demi Allah, aku
akan memerangi siapa pun yang memisahkan antara sholat dengan zakat ”. Dalam
hal ini orang yang menolak membayar zakat berarti mereka tidak mau tunduk pada
aturan Islam secara total. Meskipun mereka telah bersyahadat, berpuasa di bulan
Ramadhan, mematuhi seluruh aturan Islam yang diterapkan oleh negara, kecuali
satu perkara, yakni zakat. Kondisi ini membuat mereka diperangi karena dianggap
telah murtad, menolak satu hukum syariat Islam berarti sama dengan menolak
seluruh isi Al-Qur’an.
Pada akhirnya Umar setuju dengan sikap tegas Abu Bakar
kemudian berkata: "Demi Allah, tidak ada lain yang harus kukatakan, semoga
Allah melapangkan dada Abu Bakar dalam berperang (memerangi mereka). Aku
mengetahui dia benar."
Peristiwa ini mengingatkan kita bahwa ketika seseorang sudah
bersyahadat, berarti dia telah siap, memasrahkan diri sepenuhnya untuk diatur
oleh Allah Subhanahu Wata’ala. Dia harus rela untuk hidup berdasarkan seluruh
aturan Allah Subhanahu Wata’ala, tanpa kecuali. Ketika menolak satu aturan,
zakat saja sudah dianggap murtad, bahkan langsung diperangi. Lalu, bagaimana
dengan menolak sebagian besar aturan yang telah diturunkan oleh Allah Subhanahu
Wata’ala? Bukankah itu berarti sama, murtad juga, bahkan lebih parah.
Padahal, saat ini kita hidup dalam sebuah sistem
pemerintahan yang menolak sebagian besar aturan Allah. Tidakkah kita gelisah,
dengan status keislaman kita? Kalau kita hidup di masa Khalifah Abu Bakar,
tentu kita akan menjadi sasaran utama untuk diperangi karena penolakan terhadap
syariat tersebut. Karena kita hidup di masa kekhilafahan sudah diruntuhkan,
kita tidak merasa penolakan terhadap aturan Allah sebagai suatu yang
membahayakan nasib kita kelak, lantaran tidak ada yang dating memerangi kita.
Di dalam hati pun masih optimis masih termasuk hamba yang beriman, bahkan
dengan lantang terang-terangan menolak setiap upaya penerapan Islam secara
keseluruhan.
Memang benar, saat ini tidak ada seorang khalifah yang
sedang berkuasa, sehingga tidak ada yang menyatakan kita sebagai orang yang
murtad, walaupun kenyataannya kita telah menolak syariat. Tetapi, bukankah
aturan yang telah diturunkan oleh Allah Subhanahu Wata’ala itu tetap berlaku
hingga akhir zaman? Suatu saat kita pasti akan mati dan kelak pasti akan
dimintai pertanggungjawaban atas penerapan semua aturan Allah Subhanahu
Wata’ala di bumi ini. Bila ternyata sebagian besar aturan tersebut diabaikan,
bukankah ini berarti rakyat digiring untuk murtad bersama, didorong untuk masuk
neraka oleh sistem yang ada. Tidakkah ada rasa gelisah, sedangkan akhirat akan
kita jalani selamanya.
Tidak ada penghilang kegelisahan itu kecuali ada upaya
serius untuk menerapkan seluruh hukum Allah itu kembali. Penerapan yang kaffah,
menyeluruh dalam seluruh aspek kehidupan, baik dalam masalah aqidah, ibadah,
akhlaq, makanan, minuman, maupun pakaian. Juga penerapan syariat Islam dalam
seluruh sistem kehidupan, baik ideologi, politik, ekonomi, sosial
kemasyarakatan, hukum, pendidikan, budaya, maupun sistem pemerintahan. Tidak
ada contoh terbaik dalam melangkah menuju ke sana kecuali kembali meneladani
Rasulullah SAW dalam setiap aktivitas dakwah. Bila upaya ini dilakukan dengan
kesungguhan, semoga gelisah itu akan sirna berganti dengan harapan akan
pertolongan dari-Nya.
Oleh: Eko Rahmad P (Aktivis Dakwah)