Tinta Media - Saat perayaan hari raya Idul Fitri beberapa hari lalu, umat Islam banyak yang menyediakan dan mempersiapkan berbagai hidangan khas lebaran, seperti opor, rendang, ketupat dan lain-lain. Ini sudah menjadi kebiasaan. Memang benar dan tidak dapat dimungkiri bahwa pada saat lebaran pasti banyak makanan yang dihidangkan dan terkadang sampai lebih dan tidak termakan semuanya sehingga akan terbuang. Inilah kejadian yang selalu berulang saat lebaran tiba.
Istilah "boros makan" atau sering sebut juga Food Loss dan Food Waste menjadi semakin asyik didiskusikan. Pemerintah pun menyikapinya dengan serius dengan kampanye melawan sikap kurang menghargai makanan tersebut.
Pembahasan tersebut telah mencuri perhatian banyak pihak, bahkan ada yang menyebutkan bahwa food loss dan food waste adalah bagian yang tidak bisa dipisahkan dari ketahanan dan kekokohan pangan di suatu bangsa. [HIBAR PGRI]
Lebaran adalah momen yang sangat dinantikan oleh kaum muslimin setelah sebulan penuh melaksanakan ibadah puasa Ramadan. Kebahagiaan itu disambut pula dengan berbagai hidangan spesial dan kue lebaran yang beraneka ragam. Hampir setiap muslim berusaha menyambutnya dengan gembira karena akan berkumpul dengan sanak saudara dan tetangga.
Tak bisa dimungkiri memang, saat menjelang Ramadan berbagai tempat makanan serta pusat perbelanjaan diserbu pembeli, apalagi dengan banyaknya diskon yang mereka tawarkan yang terbukti berhasil memikat para pembeli. Dengan kemajuan teknologi digital pula, masyarakat dimanjakan dengan mudahnya bertransaksi via online saat ini.
Hal ini wajar terjadi di sistem kapitalis sekuler dengan budaya konsumtif yang sudah merasuki sebagian besar masyarakat hari ini. Mereka rela merogoh kocek untuk membeli barang dan makanan yang mereka sukai hanya untuk memuaskan hawa nafsu.
Namun, tidak bagi mereka yang ekonominya serba kekurangan. Di belahan dunia lain seperti di Palestina, justru mereka sangat kekurangan makanan hingga mengalami kelaparan yang memilukan. Mereka puasa dan hari raya di tengah situasi yang sangat memprihatinkan.
Paradigma kapitalisme
Budaya konsumtif merupakan buah dari penerapan sistem kapitalisme sekuler yang sudah mengubah cara pandang tentang konsep kebahagiaan. Kebahagiaan menurut kapitalis adalah jika seseorang itu bisa meraih apa yang dia inginkan, tanpa memperhatikan mana kebutuhan dan mana yang sekadar keinginan.
Kebebasan itulah yang mengakibatkan terjadinya konsumsi makanan berlebih akibat sifat suka berbelanja, membeli makanan dan kebutuhan lainnya, asalkan punya uang. Itulah konsep kebahagiaan mereka yang hanya bersifat fisik semata.
Sangat jauh berbeda dengan konsep kebahagiaan dalam pandangan Islam. Kebahagiaan dalam Islam adalah ketika kita mendapatkan rida Allah dengan takwa, melakukan perbuatan sesuai perintah dan larangan-Nya.
Sebenarnya, Islam tidak melarang untuk belanja kebutuhan hidup. Hanya saja, semua itu ada aturannya, sesuai syariat. Umat tidak boleh boros dalam membelanjakan uang untuk hal-hal yang tidak dibutuhkan.
Adapun ketahanan pangan, itu hanya akan terwujud dalam sistem Islam, bukan demokrasi. Ketahanan pangan dalam Islam akan menjadi hal yang sangat diperhatikan agar kebutuhan dasar rakyat terpenuhi dengan baik. Dengan berlandaskan keimanan itulah seorang khalifah melakukan kewajibannya dengan jujur dan amanah. Ini karena seorang khalifah sadar bahwa semua perbuatannya akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah Swt.
Terwujudnya ketahanan pangan disebabkan karena Islam merupakan negara adidaya dengan sumber daya alam yang dikelola sesuai syariat. Dalam Islam, negara tidak boleh kalah dengan para pelaku kartel yang melakukan praktik monopoli.
Hal ini karena tindakan monopoli merupakan sebuah kecurangan dan kezaliman yang merugikan rakyat dan dilarang dalam Islam. Jika ada yang berani melakukan, maka akan diberi sanksi tegas bagi pelakunya. Hukum yang memberi efek jera akan meminimalisir terjadinya tindak kejahatan dan kecurangan.
Oleh karena itu, solusi hakiki ketahanan pangan adalah dengan adanya negara yang menerapkan syariat Islam secara menyeluruh dan komprehensif, bukan yang lain. Wallahu a'lam bishawab.
Oleh: Dartem
Sahabat Tinta Media