Tinta Media - Jalan retak dan ambles kembali terjadi. Kali ini lokasinya terletak di Desa Wanasuka, penghubung antara Kampung Kiara Loa RW 04, menuju Kampung Pasir Junghun RW 03, serta menuju Kampung Srikandi RW 01 dan RW 02, Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung. Menurut keterangan warga setempat, sebelum jalan ini retak dan ambles, hampir setiap hari turun hujan. Akibat luapan air hujan, gorong-gorong tersumbat dan membuat tanah terkikis, sehingga tidak dapat menampung debit air. Akibatnya, jalan retak dan amblas. Peristiwa ini terjadi pada hari Selasa (12/03/2024) pukul tiga pagi hari, dan telah dilaporkan ke dinas Pekerjaan Umum.
Di sisi lain, koordinator wilayah dari Dinas Pekerjaan Umum dan Tata Ruang (PUTR) Kabupaten Bandung, H. Agung Priatna mengatakan bahwa setelah ada informasi dari masyarakat, tim dari Dinas PUTR sudah melihat dan mengecek lokasi jalan yang retak dan ambles tersebut dan pihaknya akan secepatnya melakukan koordinasi agar cepat dilakukan penanganan.
Jalan adalah infrastruktur yang dibangun untuk melancarkan mobilitas distribusi barang dan jasa dalam memberikan kemudahan akses ke layanan publik, mendukung pertumbuhan ekonomi, dan berbagai fungsi lainnya.
Jalan sangat penting untuk kepentingan rakyat dalam menjalankan kehidupannya, terlebih jika menghubungkan dua wilayah, sebagai akses antar kabupaten, misalnya. Oleh karena itu, perencanaan, pembangunan, pengembangan, dan pemeliharaan jalan harus menjadi prioritas pemerintah dalam upaya meningkatkan kualitas hidup masyarakat dan pertumbuhan ekonomi suatu negara, sehingga pemerintah pun harus maksimal terkait infrastruktur jalan ini.
Namun anehnya, negeri yang menganut sistem kapitalis demokrasi ini telah membuat dan menetapkan Undang-Undang No.38 Tahun 2004 tentang jalan, yang menetapkan bahwa hanya jalan nasional yang menjadi kewenangan pemerintah pusat (negara), yaitu melalui Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Sedangkan jalan provinsi, kabupaten, dan kota merupakan kewenangan pemerintah daerah.
Hal inilah yang sering kali menjadikan saling lempar tanggung jawab antara pemerintah pusat dan daerah, terkait pembangunan jalan, pemeliharaan, serta perbaikannya. Akhirnya, semua mangkrak, tanpa memedulikan efek terhadap kehidupan masyarakat luas.
Fakta ini semakin menunjukkan lemahnya tata kelola sistem kapitalisme demokrasi dalam menjamin hak umum rakyat berupa ketersediaan jalan yang memadai untuk keberlangsungan hidup mereka.
Efek dari hal tersebut, selain akan mempersulit dan memperlambat mobilitas rakyat terkait distribusi barang dan jasa, efek turunannya akan berakibat pada mahalnya barang dan jasa yang dibutuhkan oleh masyarakat. Tampak jelas bahwa sistem ini jauh dari visi keumatan.
Berbeda dengan Islam yang merupakan sistem hidup yang manusiawi, sangat memahami kebutuhan manusia. Jalan merupakan milik umum yang harus dipelihara oleh penguasa (khalifah). Jika ada kerusakan, khalifah akan segera menanganinya melalui lembaga administratif untuk mengatur kepentingan rakyat yang disesuaikan dengan kebutuhan yang ada, serta sarana yang dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan tersebut sehingga birokrasinya tidak berbelit-belit. Sebab dalam pandangan Islam, manajemen harus meliputi tiga hal, yakni kesederhanaan aturan administrasi, kecepatan dalam pelayanan, dan profesional dalam meriayah (melayani) umat.
Jika terjadi jalan ambles dan retak di suatu daerah, padahal jalan tersebut merupakan jalan penghubung antar desa dan merupakan infrastruktur yang sangat dibutuhkan oleh rakyat, sementara menundanya akan menimbulkan bahaya atau dharar bagi umat, maka tanpa memperhatikan ada atau tidak ada dana APBN atau baitul mal, jalan tersebut harus tetap diperbaiki. Jika ada dana APBN atau di baitul mal, maka wajib dibiayai dari dana tersebut.
Akan tetapi, jika tidak mencukupi, maka negara wajib membiayai dengan memungut pajak (dharîbah) dari sebagian rakyat, yaitu yang memiliki kelebihan harta (kaya).
Jika waktu pemungutan dharîbah memerlukan waktu lama, sementara infrastruktur harus segera dibangun, maka negara boleh meminjam kepada individu rakyat. Pinjaman tersebut akan dibayar dari dana dharîbah yang dikumpulkan. Pinjaman yang diperoleh tidak boleh ada bunga atau menyebabkan negara bergantung kepada pemberi pinjaman.
Negara akan memaksimalkan upaya untuk memenuhi hak rakyat, karena pemimpin dalam Islam atau (khalifah) adalah ra’in (pelayan), yang bertanggung jawab atas urusan rakyatnya dan memiliki visi akhirat. Penguasa sangat memahami bahwa semua bentuk periayahan (pelayanan) akan dipertanggungjawabkan di pengadilan akhirat kelak.
Sejarah telah mencatat tentang amirul mukminin Umar bin Khattab r.a. yang terkenal tegas dan tegar dalam memimpin kaum muslimin. Beliau seketika menangis dan gelisah tatkala seorang pengawal melaporkan ada jalan rusak dan berlubang di Irak yang mengakibatkan seekor keledai tergelincir dan jatuh ke jurang. Inilah figur pemimpin yang dicetak oleh sistem dan peradaban Islam, adil, amanah, dan siap untuk melayani rakyat, karena hakikatnya dia adalah pelayan rakyat. Wallahu'alam bishawwab.
Oleh: Thaqiyunna Dewi, S.I.Kom
Sahabat Tinta Media