Tinta Media - Melansir dari CNBC.Indonesia baru-baru ini Zara putri dari mantan Gubernur Jawa Barat menjadi sorotan warganet usai postingannya viral dan tuai kontroversial. Melalui akun instagramnya, Zara memberitahu keputusannya
melepas kerudung. (5/4/24)
"Berhenti sejenak untuk mencari jati diri",
begitulah Zara menggambarkan hati yang porak poranda. Dia beranggapan apabila
mengenakan kerudung itu harus bersumber dari keinginan sendiri tanpa paksaan
dari pihak lain dan lingkungan. Mengingat ia melanjutkan pendidikannya di
Inggris jauh dari keluarga.
"Karena bagi aku secara personal, seorang muslim yang
baik adalah mereka yang melakukan syariat ajaran agama dari hati. Bukan soal
penampilan tapi soal hati yang bersih," statement yang perlu diluruskan
dan dipahamkan ke tengah-tengah masyarakat. Karena pemahaman seperti ini sangat
menyesatkan dan rancu.
Apa yang dialami oleh Zara sangat krusial, bagaimana tidak?
Ada beberapa faktor kasus ini terjadi:
Pertama, keilmuan dan ketidaktahuan seseorang. Ketika dalam
suatu persoalan atau bahkan hal syariat yang membedakan individu satu dengan
yang lain adalah ilmu. Ringkasnya, ketika perintah itu hukumnya wajib
tetapi susah dikerjakan akan tetapi ketika seseorang memiliki ilmu akan suatu
perkara tersebut pasti akan melakukan double effort untuk mengerjakannya.
Ironisnya, fenomena hari ini banyak yang mengerjakan aturan,
perintah, atau persoalan apa pun tanpa ilmu. Mirisnya, nyaman dengan
ketidaktahuan tersebut tanpa usaha mencari dan belajar hingga akhirnya hanya
terbawa arus mode yang ada.
Kedua, paradigma yang keliru lahir dari pemahaman yang rancu
dan salah sehingga melahirkan pemikiran liberal. Contoh, seseorang beranggapan
bahwa barometer ketaatan dengan sang pencipta itu hati yang bersih. Sejatinya
hakikat mengerjakan perintah dan larangan Allah memang terkadang membutuhkan
paksaan di tengah-tengah virus sekuler yang ada.
Ketiga, virus sekularisme merambah ke segala lini kehidupan.
Perlu di ketahui bahwa virus ini merupakan sekat antara aturan kehidupan dan
ibadah ritual. Artinya standar seorang hamba beribadah kepada pencipta sebatas
ibadah ritualnya saja. Di posisikan agama hanya mengatur perkara sholat, puasa,
zakat, sedekah, dll yang sifatnya hanya mengatur hubungan manusia dengan sang
pencipta.
Mirisnya, mereka beranggapan bahwa aturan kehidupan adalah
ranah manusia yang mengatur. Maksudnya, manusia bebas membuat aturan
(undang-undang) sehingga nanti muncul berbeda-beda acuan atau standar.
Identiknya bahwa manusia itu memiliki akal yang terbatas, sehingga dalam
membuat aturan atau kebijakan akan terjadi perbaikan dan dikaji ulang. Bahkan
aturan nya pun selalu berbenturan dengan norma yang ada dan sifatnya tidak
memuaskan akal serta tidak sesuai fitrah manusia.
Misalnya, adanya aturan terkait HAM ( hak asasi manusia)
melahirkan pemikiran liberal, pola sikap dan pola tingkahnya sekuler bahkan
kapitalis (barometer melakukan sesuatu adalah materi) Contoh lain norma
kesopanan (semua agama) yang berlaku di negeri ini yaitu memakai pakaian yang
sopan dibenturkan dengan HAM sehingga seseorang bebas mau memakai pakaian mode apa
pun karena perbuatannya bagian dari HAM, apabila terjadi kriminal yang
disalahkan mata laki-lakinya bukan perempuannya yang melanggar norma yang
berlaku.
Keempat, pendidikan dengan kurikulum sekuler-kapitalisme.
Realitas hari ini tidak ada institusi pendidikan yang di dalamnya diterapkan
paradigma menyesatkan ini kecuali sekolahan swasta dengan corak Islam kaffah,
itu pun aksesnya beragam tidak semua gratis mayoritas Biayanya mahal. Ketika
kurikulum pendidikan itu bernuansa sekuler-kapitalis pasti siswa akan
persiapkan sebagai mesin pencetak uang bukan melahirkan generasi bertakwa
pembangun peradaban. Misalnya generasi hari ini krisisi moralitas dan cenderung
memiliki paradigma liberal, feminisme, hedonisme, sekularisme, kapitalisme,
pluralisme, dsb.
Keadaan tersebut sangat bertolak belakang apabila aturan
Islam diterapkan ditengah-tengah masyarakat. Artinya adanya negara Islam
dengan corak aturan Islam dan pastinya terikat dengan sistem politik Islam
(khilafah). Masyarakatnya mencerminkan aqidah Islam.
Di dalam negara Islam, khalifah bertugas sebagai roin atau
mengatur segala aspek kehidupan. Negara akan mengondisikan lingkungan islami
dalam artian lahirlah individu dengan sakhsiyah islamiyah atau kepribadian Islam.
Memandang bahwa syariat itu adalah kebutuhan dan keharusan
untuk dikerjakan sehingga tidak tebang pilih mau mudah atau susah, mau itu
sesuai tren sekarang atau kuno apabila maksiat ya ditinggalkan dan ketika
perintah Allah pasti dikerjakan.
Misalnya aturan menutup aurat secara syariat pasti akan
dikerjakan. Karena aturan memakai hijab dan jilbab merupakan sebuah kewajiban
seorang muslimah, bukan tawaran mau atau tidak. Contohnya ketika negara
mewajibkan rakyatnya berkendara sepeda motor memakai helm dan secara
keseluruhan sesuai standar berkendara, sudah pasti ketika melanggar akan
terkena sanksi. Apalagi ketika seseorang tidak menaati peraturan dari sang maha
pencipta (Allah) sudah pasti akan mendapat murka Allah.
Sehingga syariat tidak di posisikan sebagai ajang pencarian
jati diri seseorang tetapi sebagai aturan kehidupan. Ketika seseorang sedang
berada di tahap mencari itu selaras dengan syariat menjadi guru, artinya bukannya
hati yang bersih menjadi tolak ukur takwanya seseorang tetapi usaha seseorang
itu untuk menerapkan Islam secara kaffah atau keseluruhan di dalam kancah
kehidupan.
Faktanya kemaksiatan hari ini menjadi sebuah fenomena yang
di gandrungi kaum remaja dan dinikmati. Mirisnya ketika remaja terperosok dalam
lembah kenistaan pastilah sebuah peradaban akan mundur dari eksistensinya.
Semakin maksiat merajalela keberkahan akan semakin menjauh.
Problema hari ini menggambarkan rusaknya sebuah mabda atau
sistem yang mengikat seluruh negeri ini, karena memang belum ada yang
menerapkan aturan Islam secara keseluruhan. Barometer negara Islam adalah
masyarakatnya sudah berkepribadian Islam dan sadar ingin melanjutkan kehidupan
Islam serta memperjuangkannya pastilah negara Islam siap ditegakkan kembali.
Sekarang tugas kita adalah menyadarkan umat bahwa khilafah adalah kebutuhan
mendesak dan urgen untuk diterapkan. Analoginya semakin banyak yang sadar
semakin banyak yang berjuang. Wallahu'alam Bisowab.
Oleh: Novita Ratnasari, S.Ak. (Sahabat Tinta Media)