Tinta Media - Akhir-akhir ini berita tentang bullying kembali marak terjadi. Sebagaimana diketahui, salah satu sekolah elite Binus School Serpong menjadi perbincangan publik setelah video perundungan siswanya viral di sosial media. Selain itu, terjadi pula perundungan pada anak perempuan di Batam, tepatnya di kawasan ruko belakang Lucky Plaza lantaran rebutan pacar. Masih banyak lagi kasus perundungan yang terjadi belakangan ini.
Sungguh miris, nyatanya hari ini kasus bullying terjadi berulang kali seperti parasit yang menggerogoti moral pemuda. Menurut catatan Komnas Perlindungan Anak (PA), sepanjang 2023 terdapat 16.720 kasus perundungan yang menimpa anak-anak di bangku sekolah. (Kompas, 28/12/2023).
Sementara itu, berdasarkan catatan FSGI (Federasi Serikat Guru Indonesia) ada 30 kasus perundungan yang terjadi di satuan pendidikan sepanjang tahun. Retno Listyarti selaku Ketua Dewan Pakar FSGI mengatakan bahwa angka tersebut meningkat jika dibandingkan 2022 sebanyak 21 kasus.
Bagaimana nasib bangsa ini jika generasi kita justru lebih dekat dengan tindak kekerasan dan berhadapan dengan hukum? Tentu hal ini menjadi alarm keras bagi dunia pendidikan, guru, orang tua, dan pemangku kebijakan.
Masalah Utama
Walaupun pemerintah telah berupaya mencegah perilaku bullying di lingkungan pendidikan, tetapi upaya tersebut belum cukup ampuh menangkal perilaku generasi yang kian brutal dan beringas. Kehidupan kapitalisme sekuler perlahan tetapi pasti telah menggiring generasi kita makin jauh dari profil mulia. Orientasi hidup mereka tidak lagi bersandar pada agama (Islam). Begitu pun dengan tujuan hidup, hanya untuk mencari kesenangan dunia belaka.
Walhasil, perilaku merundung pun menjadi habit yang membudaya. Misalnya, aksi perploncoan siswa senior terhadap junior seolah menjadi aktivitas “wajib” yang harus dilalui agar dapat diakui sebagai siswa sekolah tersebut. Begitulah dampak buruk penerapan sistem sekuler (pemisahan agama dari kehidupan) yang menjadi asas bagi kurikulum pendidikan hari ini.
Sehingga, generasi menjadi labil, materialistis, hedonis, dan minus adab serta akhlak yang baik. Saking sekulernya, peserta didik dengan karakter dan kepribadian yang baik benar-benar langka dan minim jumlahnya.
Generasi kita sudah terlalu jauh melewati ambang batas perilaku jahat. Pengawasan sekolah dan orang tua yang minim menambah parahnya perilaku mereka.
Begitu pula dengan negara yang hari ini gagal menjaga generasi dari budaya sekuler, seperti perzinaan, tawuran, pacaran, pergaulan bebas, perundungan, pamer sana sini, dan lain sebagainya.
Di sisi lain, perangkat hukum dan regulasi yang ada nyatanya belum memiliki efek jera bagi pelaku sehingga membuat kriminalitas di lingkungan sekolah semakin meningkat.
Anak remaja menjadi pelaku kekerasan bahkan perundungan menggambarkan lemahnya pengasuhan orang tua terhadap anak. Perlahan tetapi pasti, fungsi pengasuhan oleh keluarga kini telah runtuh. Para orang tua saat ini sibuk bekerja untuk mengejar pundi-pundi uang. Ditambah lagi, tingginya biaya dan tekanan dalam hidup memaksa para orang tua fokus pada pekerjaan dan melalaikan tugasnya dalam mendidik dan mengasuh anak agar menjadi saleh dan salihah.
Selain itu, tren terjadinya perundungan juga menunjukkan gagalnya sistem pendidikan. Sekolah saat ini gagal mencetak anak didik yang bertanggung jawab nan mulia. Sekolah yang seharusnya menjadi tempat menimba ilmu, tempat yang aman, justru dipenuhi aksi perundungan, bahkan kekerasan. Dengan menerapkan pendidikan sekuler, anak dapat berbuat sesuka hati, termasuk melakukan perundungan. Toh, sanksi yang ada tidak menjerakan.
Bullying dalam Pandangan Islam
Faktanya, hari ini sekularisme telah gagal mewujudkan generasi yang berkepribadian baik.
sementara, Islam bukan hanya sekadar agama, tetapi sebuah pandangan hidup yang memiliki sejumlah tata cara dalam rangka melahirkan generasi cerdas dan bertakwa.
Pertama, negara Islam menerapkan sistem pendidikan berbasis akidah Islam. Dalam pendidikan, porsi agam Islam harus banyak dan berpengaruh, bukan sebagai mata pelajaran pelengkap semata dengan porsi sedikit. Tentu saja sistem pendidikan ini tidak akan berjalan dengan maksimal tanpa sistem politik ekonomi yang berdasarkan syariat Islam.
Dengan adanya politik ekonomi Islam, negara dapat membangun fasilitas yang unggul dan sarana yang terbaik sehingga dapat menunjang KBM di sekolah.
Kedua, yaitu kontrol dan pengawasan masyarakat. Pengawasan ini dilakukan dengan dakwah amar ma'ruf nahi mungkar. Apabila peran masyarakat berfungsi optimal, maka insyaallah tidak akan ada kemaksiatan. Masyarakat akan cepat tanggap ketika ada suatu peristiwa yang terjadi dilingkungannya karena masyarakat membiasakan diri untuk peduli dan saling menasihati.
Ketiga, tentu saja fungsi negara sebagai penjaga dan pelindung generasi muda dari segala macam bentuk kerusakan harus dijalankan secara totalitas, yaitu harus melarang segala hal yang merusak, seperti tontonan berbau sekuler dan liberal, menghentikan akses situs porno, dan lain sebagainya. Dalam Islam, negara tentu akan memberlakukan sanksi berdasarkan syariat Islam.
Keempat, dalam Islam, negara akan memberlakukan sanksi tegas bagi para pelaku kejahatan. Pelaku bisa diberikan sanksi ketika ia sudah memasuki usia baligh karena mereka sudah tertaklif (terbebani) syariat Islam, bukan berdasarkan batas usia yang ditetapkan manusia. Padahal, salah satu penyebab munculnya generasi “kriminal” adalah penetapan label “anak di bawah umur” yang seolah menjadi dalih bahwa sanksi bisa ditangguhkan, disesuaikan, bahkan dikurangi.
Sungguh, dalam Islam, sudah seharusnya seorang anak diberikan pemahaman dan pendidikan bahwasanya setelah mencapai usia baligh, mereka akan menanggung segala konsekuensi akibat perbuatan yang mereka lakukan, termasuk jika menjadi pelaku perundungan atau kejahatan lainnya. Begitu juga halnya dengan orang tua. Mereka juga akan diberi sanksi karena gagal mendidik anak-anaknya dengan baik.
Begitulah, selama berabad-abad, sistem Islam mampu melindungi generasi dari kerusakan moral serta menekan angka kejahatan menjadi sangat minim. Wallahu a’lam bishawab.
Oleh: Dewi Yuli H
Sahabat Tinta Media