Tinta Media - Selain mengharapkan kemenangan di hari yang fitri, tunjangan hari raya (THR) juga selalu dinanti-nanti. THR, ibarat oasis di padang pasir, penghasilan tambahan yang bisa membantu memenuhi ‘kebutuhan’ di hari raya.
Namun di tengah euforia ini, masyarakat dibuat miris. Bagaimana tidak, baru saja senang dapat penghasilan lebih, sekarang harus mengelus dada karena terkena potongan. THR khusus karyawan swasta akan dikenakan pajak penghasilan (Pph) 21. Banyak rakyat yang terkejut dan mengeluh besaran potongan pajak.
Ramai-ramai netizen mengeluh di medsos terkait potongan Pph 21 yang lebih besar dari tahun lalu. Netizen beranggapan besarnya potongan pajak disebabkan perhitungan Tarif Efektif Rata-rata (TER) yang diterapkan sejak Januari 2024 lalu. (kompas.com 27/3/24)
Menanggapi protes masyarakat, pemerintah melalui Direktur Penyuluhan Pelayanan dan Hubungan Masyarakat DJP, Dwi Astuti, menjelaskan skema TER memang lebih tinggi pajaknya. Tetapi Dwi menyebutkan TER sudah sesuai dengan ketentuan yang berlaku secara internasional. (kompas.com 1/4/ 24)
Bagi pekerja, besar potongan THR sangat memberatkan dibandingkan bulan lalu. THR yang diharapkan untuk keperluan hari raya, seperti ongkos mudik, baju, sembako dan lainnya harus pintar-pintar mengatur ulang demi agenda wajib tidak terlewat.
Menjadikan pajak sebagai pemasukan utama negara merupakan khas ekonomi kapitalis. Pajak menjadi sumber pendapatan negara yang paling besar. Tidak heran, karena semua aspek perekonomian tidak luput dari pajak. Bahkan, setiap tahun persentase pajak akan mengalami kenaikan.
Pemerintah bagai lintah darat yang terus menghisap darah rakyat. Di saat semua pihak menaikkan harga pangan, pemerintah malah ikut menaikkan pajaknya. Berdalih, pajak untuk pembangunan, kepentingan umum dan kesejahteraan rakyat. Tetapi ternyata rakyat tidak bisa merasakan dan menjangkau fasilitas dengan mudah. Tidak ada pendidikan, kesehatan, keamanan hingga transportasi yang gratis.
Maka, masihkah kita berharap pada sistem kapitalisme? Padahal rakyat bisa mewujudkan kondisi yang berbeda. Rakyat bisa hidup tenang tanpa khawatir dengan setumpuk masalah. Islam yang diterapkan dalam segala aspek kehidupan mampu memberi bukti kesejahteraan bagi rakyatnya.
Dalam sistem pemerintahan Islam, pajak bukanlah pemasukan negara satu-satunya. Sebaliknya, negara punya berbagai macam pos pendapatan. Salah satunya, mengoptimalkan pendapatan dari sektor kepemilikan umum berupa sumber daya alam (SDA) yang tidak terbatas. SDA dikelola oleh negara dan hasilnya untuk rakyat.
Selain itu, ada pendapatan lainnya dari harta rampasan perang (ghanimah), fa'i, kharaj dan jizyah serta zakat. Sehingga pemasukan negara tidak dari pajak atau utang. Kalau pun negara terpaksa menarik pajak, hanya dalam keadaan genting. Ketika kas negara mengalami kekosongan dan ada keperluan yang mendesak. Dengan syarat, pajak hanya dibebankan kepada orang yang mampu. Sama dengan utang, negara boleh berhutang kepada rakyatnya yang kaya atau negara yang tunduk terhadap syari'at.
Untuk itu, mengambil hak rakyat atas jerih payahnya merupakan kezaliman. Islam telah mengatur sistem pengupahan dengan terperinci. Allah SWT telah berfirman, “berikanlah kepada mereka upahnya.” (QS Ath-Thalaq: 6). Terlebih lagi menunda hak pekerja setelah selesai menunaikan kewajiban. Rasulullah saw. bersabda, “berikanlah upah buruh, sebelum kering keringatnya” (HR Ibnu Majah).
Seandainya sistem Islam diterapkan kembali dalam aspek kehidupan dalam bingkai Khilafah, kesejahteraan bukan sekadar angan-angan. Fenomena THR dalam setahun sekali tidak akan diperlukan, karena setiap kebutuhan (sandang, pangan, papan) rakyat telah terjamin oleh negara. Bahkan negara mampu mewujudkan kesejahteraan sepanjang masa bukan sesaat. Inilah yang seharusnya umat Islam dapatkan dari pemimpinnya. Waallahu a'lam bis shawwab.
Oleh : Eri, Pemerhati Masyarakat