Tinta Media - Pada era pemerintahan SBY nilai tukar rupiah terhadap mata uang Dollar Amerika Serikat atau USD adalah Rp.8000 rupiah per dolar. Lalu pada masa pemerintahan Joko Widodo nilai tukar rupiah terhadap USD adalah rata-rata Rp.14 ribu. Nilainya dolar terhadap rupiah naik 85 persen. Atau nilai rupiah terhadap dolar turun 85 persen.
Lalu apakah itu mencerminkan penurunan nilai ekonomi Indonesia terhadap global? Tentu saja tidak! Ekonomi Indonesia adalah 7 besar dunia sekarang ini, dan akan menjadi 5 besar dunia pada 2027 menurut forecast IMF.
Dolar naik turun sekehendak pemiliknya. Belakangan nilai dolar naik terhadap sebagian besar mata uang dunia, karena The Fed pemilik dolar menaikkan suku bunga acuan setinggi langit. The Fed main bunga uang tinggi dalam rangka menarik uang dolar dari seluruh dunia dengan janji imbal hasil bunga dimasa depan yang besar dalam ekonomi AS. Walaupun kebijakan itu tidak pasti atau bisa berubah dengan cepat. Suka suka The Fed saja karena The Fed lah penguasanya lebih berkuasa dari pemerintah dan parlemen AS.
Supremasi bank swasta The Federal Reserve dikarenakan bisa melakukan printing dolar lalu diutangkan ke negara Amerika Serikat (AS) dan selanjutnya AS sebagai makelar The Fed mengutangkan ke seluruh dunia. Sekarang The Fed tidak boleh cetak uang bermodalkan kertas dan tinta lagi. Kecuali ada krisis, perang, great depreasion, tapi bagaimana cara membuatnya chaos semacam itu sehingga ada legitimasi cetak uang. Apa masih bisa di timur tengah itu?
Cara naik turunnya dolar sangat exclusive, tertutup dan hanya segelintir elite global yang tahu. Dolar adalah rezim mata uang yang sangat sentralistik dan tidak demokratis. Padahal dolar adalah mata uang yang dijadikan alat tukar oleh banyak negara. Akibatnya nilainya terhadap mata uang negara lain sama sekali tidak mencerminkan nilai yang sebenarnya. Bahkan nilainya di dalam ekonomi AS saja tidak diakui sebagai alat ukur pertukaran.
Nah saking kacaunya mata uang ini nilainya bisa naik tiba-tiba, bisa juga turun tiba-tiba. Akibatnya nilainya tidak dapat lagi dijadikan alat mengukur ekonomi, daya beli masyarakat suatu negara dan bahkan GDP suatu negara. Akibatnya banyak negara dan lembaga telah meninggalkan dolar AS sebagai alat untuk mengukur nilai mata uang suatu negara.
*Bank dunia dan lembaga-lembaga multilateral tidak lagi menggunakan dolar sebagai alat pengukur ekonomi. Lembaga internasional tersebut menggunakan indikator lain, atau ini mata uang lain atau alat ukur lain. Apa itu? Yakni dolar Purchasing Power Parity (PPP). Nilai dolar PPP suatu negara berbeda sangat tergantung kemampuan mata uang negara tersebut untuk ditukarkan dengan barang-barang dan jasa-jasa.*
Indonesia termasuk memiliki nilai dolar PPP yang cukup bagus yakni Rp. 4.765 /Dolar PPP. Nilainya lebih kuat tiga kali dibandingkan nilai tukar mata uang rupiah terhadap Dollar Amerika. Nilai dolar PPP mencerminkan nilai yang sebenarnya dari mata uang rupiah sebagai alat tukar dalam membeli barang dan jasa kebutuhan hidup. Sementara nilai dolar Amerika adalah nilai yang berlaku di kalangan para spekulan mata uang.
Tinggal satu masalah kita dengan dolar AS ini yakni kita membeli minyak impor dengan dolar AS. Parahnya lagi kita membeli minyak yang dihasilkan di dalam negeri juga dengan dolar AS, dan ini melanggar UUD dan UU tentang mata uang. Ditambah lagi BUMN kita membuat laporan keuangan juga dalam dolar, ini sebenarnya tidak benar melanggar UU. Tapi walaupun demikian impor migas dengan dolar sudah bisa ditandingi dengan ekspor komoditas dengan penerimaan dolar.
Tetapi nanti ketika transisi energi berjalan dengan baik, maka dolar dan harga minyak tidak lagi memainkan peran penting dalam mengacaukan ekonomi Indonesia. Dikarenakan Indonesia adalah gudangnya EBT dan super power dalam transisi energi maka bisa jadi Indonesia akan pemegang kunci jangkar mata uang global yang baru dan stabil pengganti minyak dan pemegang otoritas mata uang baru yang stabil pengganti dolar. Nanti kita lihat...
Oleh : Salamuddin Daeng (Ketua Asosiasi Ekonomi dan Politik Indonesia)