Waspadai Pembajakan Generasi - Tinta Media

Kamis, 14 Maret 2024

Waspadai Pembajakan Generasi


Tinta Media - Pernah dengar istilah Baby Boomers, Gen X, Gen Y (Millenials), Gen Z, dan Gen Alpha? Untuk sebagian dari kita tentu pernah mendengar istilah-istilah ini. Istilah ini muncul untuk mengelompokkan individu berdasarkan generasi kelahirannya. Hal ini harus diketahui dan dipahami oleh para orang tua saat ini. Kenapa? 

Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, penulis sedikit sampaikan terkait pembagian generasi tersebut. Pertama, Babby Boomers merupakan generasi yang lahir pada rentang waktu tahun 1946 – 1964. Kedua, Gen X adalah generasi yang lahir pada rentang waktu tahun 1965 – 1980. Ketiga, Gen Y atau generasi milenial adalah generasi yang lahir pada rentang tahun 1981 – 1996. Keempat, Gen Z merupakan generasi yang lahir direntang tahun 1997 – 2012. Kelima, Gen Alpha adalah generasi yang lahir setelah tahun 2012.

Penulis kemudian berfokus kepada Gen Y, Gen Z, dan Gen Alpha. Kenapa demikian? Karena ketiga generasi inilah yang sejak mulai belajar menulis dan membaca sudah mengenal, beraktivitas, dan berinteraksi dengan memanfaatkan teknologi internet dan media sosial. Ketiga generasi inilah yang kemudian dikenal sebagai Generasi Digital Native. Ini adalah poin pertama untuk menjawab pertanyaan di paragraf pertama di atas.

Tantangan yang sangat besar dihadapi oleh para orang tua, bahkan oleh generasi digital native itu sendiri, seiring masifnya arus dan kemudahan dalam mengakses informasi, gaya hidup hingga pemikiran – ideologi. Jika tidak ada upaya mitigasi dari para orang tua, terutama orang tua muslim, hal ini akan membahayakan identitas generasi digital native muslim. Mereka akan terpalingkan dari identitas mereka sebagai seorang muslim.

Bahaya apa yang mengancam identitas generasi digital native muslim? Penjajahan identitas. Ya! Penjajahan identitas dengan nilai-nilai sekuler dan liberal inilah yang menurut penulis sangat berbahaya bagi generasi digital native. Nilai sekuler dan liberal landasan ideologisnya adalah sekularisme, paham yang memisahkan agama dengan kehidupan. Nilai-nilai inilah yang melahirkan HAM, pluralisme, feminisme, kesetaraan gender, dan moderasi beragama. 

Nilai sekuler dan liberal menginfiltrasi dunia internet dan media sosial tempat generasi ini berinteraksi. Infiltrasi tersebut berupa gaya hidup, hiburan, fesyen, perayaan Valentine dan Halloween, sehingga membuat generasi ini tidak lagi berpikir mendalam di setiap aktivitasnya. Pada akhirnya, melemahkan akal dan keimanan kepada Allah Ta’ala. 

Lemahnya iman mengakibatkan mereka tidak mau terikat dengan aturan syariat. Generasi digital native sebagian bahkan beranggapan bahwa syariat adalah beban yang menghalangi kesenangan yang mereka inginkan. Mereka merasa insecure dengan syariat dan identitas keislamannya. Hal ini juga berdampak pada menurunnya perhatian mereka pada aktivitas menuntut ilmu agama. Akibatnya, mereka tidak bisa lagi membedakan baik dan buruk ataupun terpuji dan tercela karena ketidakjelasan standar yang mereka gunakan. Ini adalah poin kedua menurut penulis.

Poin yang ketiga adalah waspada atas pembajakan generasi penerus kita. Kapitalisme – sekularisme yang dipimpin dunia Barat dengan sangat bagus mengemas penjajahan gaya baru ini. Mereka melontarkan narasi perang melawan terorisme dan radikalisme untuk melawan Islam politik. Mereka mempropagandakan sekularisasi pendidikan, nilai-nilai liberal seperti HAM, pluralisme, feminisme dan kesetaraan gender. Target mereka adalah generasi digital native melalui berbagai programnya. Mereka membajak arah pemikiran generasi ini.

Maka, merebaklah pergaulan bebas, aksi perundungan dan kenakalan remaja, hingga kasus narkoba. Ditambah lagi arus moderasi beragama yang mendorong kuat sekularisasi. Alhasil, mereka memiliki sikap toleran yang kebablasan hingga melanggar aturan agama, bahkan sampai keimanan. 

Pembajakan pemikiran pada generasi ini membuat mereka enggan menerima nilai dan syariat Islam. Sebaliknya, mereka malah mudah menerima nilai dan budaya selain Islam. Inilah yang melahirkan remaja muslim saat ini membela penjajah dan abai dengan penderitaan umat.

Dari sisi pembangunan, generasi digital native ini dilibatkan dengan menggunakan paradigma kapitalisme. Mereka diajak dan didorong untuk menyelesaikan persoalan pembangunan dengan berorientasi pada orientasi materi.

Lalu, bagaimana seharusnya sebagai seorang muslim kita memandang persoalan ini? Tidak bisa tidak, kita harus menjangkau kalangan Generasi Digital Native Muslim ini. Kita harus menyelamatkan mereka dari penjajahan dan pembajakan ini. Karena remaja adalah fase seseorang mencurahkan tenaga dan kemampuan untuk memikul segala beban. Merekalah pemikul panji-panji dakwah selanjutnya.

Kenalkan kembali kepada mereka pemikiran Islam. Bangunkan kesadaran mereka. Bentuk kepribadian mereka menjadi manusia berkepribadian Islam. Kembalikan akal dan kesadaran mereka sebagai hamba Allah agar tidak menjadi korban sekularisme – kapitalisme.

Mereka memang memiliki berbagai kelemahan, tetapi juga memiliki potensi yang besar untuk bisa dioptimalkan. Ini zaman mereka. Kita sebagai orang tua harus berani open mind kepada mereka. Disiapkan atau tidak, merekalah yang akan menanggung risiko zaman.

“Manfaatkanlah lima perkara sebelum lima perkara, yaitu masa mudamu sebelum masa tuamu, sehatmu sebelum sakitmu, keadaan kayamu sebelum miskinmu, waktu luangmu sebelum saat sibukmu, dan saat hidupmu sebelum datang kematianmu.” (HR Al-Baihaqi).


Oleh: Syadzuli Rahman
Tenaga Kependidikan Perguruan Tinggi
Rekomendasi Untuk Anda × +

Bagikan artikel ini

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini.

Artikel Menarik Lainnya :