Tinta Media - Ironis, orang tua berjuang sendirian untuk menghadapi kondisi buah hatinya yang bertahan untuk hidup melawan penyakit mematikan.
Kembali memanas rangkaian panjang yang ditempuh korban gagal ginjal akut akibat kelalaian pemerintah kini menyeret aktor baru yang diduga terlibat dalam penderitaan sistemik ini. (Bbc.newsindonesia, 8/2/24)
Bahwasanya KOMNAS HAM menyatakan bahwa terjadi pelanggaran HAM kepada 204 anak meninggal dan 326 korban dalam perawatan. (5/2/23)
Hal ini disebabkan karena meminum obat sirup yang diproduksi oleh Pt. Afi Firma yang mengandung propilen glikol (PG) zat kimia berbahaya dan beracun, dalam bahan baku ini terdapat kandungan etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG).
Bencana ini tidak lepas dari kelalaian BPOM karena obat yang mengandung zat berbahaya bisa lolos sensor sehingga didistribusikan dan sampai dikonsumsi oleh konsumen.
Perkembangan terbaru, Direktur Tindak Pidana Tertentu (Dirtipidter) Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri Brigjen Nunung Syaifuddin menyatakan bahwa status BPOM naik menjadi tahap penyidikan, BPOM dianggap sebagai regulator kejahatan, dan lalainya sebagai pihak pengawas atas pemberian surat izin edar obat sirop yang menyebabkan gagal ginjal pada anak bahkan kematian. (27/12/23)
Orang tua korban murka mengenai lepas tangannya pemerintah terhadap malapetaka ini. Salah satunya Desi Permatasari, ibu dari Sheena, anak berusia enam tahun yang menderita gangguan gainjal akut progresif atipikal mengatakan terkait adanya santunan hanya pembodohan publik semata.
Hal ini disebabkan dirinya menghabiskan ratusan juta untuk pengobatan Sheena murni tanpa campur tangan pihak lain, bahkan sampai menjual rumah nya dan terlilit hutang untuk berobat putrinya yang sampai detik ini setahun berlalu belum ada perkembangan signifikan, masih terbaring di rumah sakit.
Proses panjang yang di tempuh menunjukkan kerusakan sistemik. Dalang dari kejahatan ini yaitu negara menganut paradigma neoliberal kapitalistik. Cara pandang negara beranggapan pemilik modal ialah pengambil kebijakan dengan asas laba rugi dalam artian standarisasi suatu kebijakan tidak memperhatikan kemanfaatan untuk umat.
Sehingga menjadi lumrah ketika BPOM menggadaikan etos kerja untuk keuntungan tidak mempertimbangkan dampak setelahnya, sehingga nyawa melayang tiada berharga. Ironisnya penanganan terhadap kasus gagal ginjal akut anak ini sangat lambat, setahun berlalu belum ada keadilan untuk korban bahkan dipaksa mandiri.
Pasalnya kesehatan di bawah pengelolaan sistem kapitalisme merupakan objek komersialisasi yang bisa diperdagangkan karena dianggap bisnis semata. Dapat disimpulkan poin pentingnya adalah negara abai terhadap kesehatan rakyatnya.
Bertolak belakang ketika sebuah negara memakai sistem dengan corak Islam. Artinya, seperangkat aturan kehidupan seluruhnya memakai politik Islam (khilafah). Berdasarkan rekam jejak sejarah Islam, khilafah telah diterapkan selama kurang lebih 14 abad menguasai 3/4 benua. Bisa ke gambar bagaimana paripurnanya sistem politik Islam.
Realitas hari ini, segala problem kehidupan di kembalikan kepada aturan yang sudah berlaku, baik adat istiadat, standar baik condong pada suara mayoritas, bahkan kebijakan yang di buat oleh negara.
Misalnya pada kasus dijual bebas obat sirop untuk anak-anak dengan label SNI realitasnya beracun bahkan mematikan. Kelalaian seperti ini di dalam politik Islam tidak akan di temukan, karena memang standar kebijakan yang diambil adalah kesejahteraan umat yang berasas manfaat.
Suatu kebijakan tidak akan di ambil jika mendatangkan murka Allah karena di dalamnya ada aktivitas kriminal, dsb. Di dalam Islam tidak ada label halal maupun haram karena memang hidup dengan aturan Islam dan mayoritas Islam. Jika ada orang kafir yang mau hidup di dalam naungan khilafah (kafir dzimmi) tentu harus tunduk pada syariat Islam.
Misalnya tidak boleh menjual produk haram di pasar kaum muslimin. Orang kafir dzimmi di sediakan pasar sendiri oleh negara untuk melakukan transaksi jual beli khusus sesama orang kafir.
Negara hadir di tengah-tengah umat sebagai pengurus urusan rakyat bukan menjadi regulator yang memuluskan bisnis para korporasi termasuk dalam bidang kesehatan. Wajar jika kasus ini penanganannya lamban karena tidak fokus pada akar masalah.
Belajar dari rekam jejak sejarah, tinta emas menulis kan di bidang kesehatan telah mencatat kegemilangan kesehatan di era Khilafah karena memang di dalam Islam kesehatan dipandang sebagai kebutuhan pokok publik untuk semua orang mendapatkan layanan dengan kualitas yang sama.
Terbukti dari banyaknya institusi layanan kesehatan yang didirikan selama masa kekhilafahan agar kebutuhan masyarakat terhadap layanan kesehatan gratis dan bermutu bisa terpenuhi di antaranya Rumah Sakit Al-nuri, yaity Rumah Sakit pertama kali dibangun umat Islam. Didirikan pada tahun 706 Masehi oleh kekhilafahan Umayyah. Rumah sakit ini dilengkapi dengan peralatan paling modern dan tenaga dokter serta perawatnya profesional.
Rumah Sakit ini yang pertama kali menerapkan rekam medis atau medical record. Tidak cukup dengan itu Khilafah juga membuka sekolah kedokteran di rumah sakit tersebut untuk memajukan sekolah, khalifah menghibahkan perpustakaan pribadinya salah satu lulusannya adalah Ibnu al-nafis yang dikenal sebagai sirkulasi paru-paru bandingkan dengan Eropa saat itu yang masih dalam abad kegelapan karena pada abad itu dalam hal buang kotoran saja mereka masih belum punya ketentuan tempat tersendiri untuk buang air besar.
Khilafah juga melayani orang yang mempunyai kondisi sosial khusus seperti yang tinggal di tempat-tempat yang jauh, para tahanan, orang cacat, dan para musafir untuk itu Khilafah mengadakan rumah sakit keliling tanpa mengurangi kualitas pelayanan rumah sakit keliling ini dilengkapi dengan alat-alat terapi.
Kedokteran dengan sejumlah dokter di rumah sakit ini menelusuri pelosok - pelosok negeri, sedemikian bagusnya pelayanan kesehatan di masa Khilafah. Sejarah sampai menuliskan betapa orang-orang barat bahkan ada yang pura-pura sakit agar bisa dirawat dalam rumah sakit Khilafah.
Khilafah tidak akan memungut biaya kesehatan kepada rakyatnya karena itu adalah tanggung jawabnya. Biaya kesehatan yang cukup besar akan dipenuhi Khilafah dari sumber-sumber pemasukan negara dengan penerapan sistem ekonomi Islam di antaranya dari hasil pengelolaan harta kekayaan umum. Termasuk hutan, berbagai macam tambang, minyak, gas, dan sebagainya.
Semua itu akan lebih dari cukup untuk bisa memberikan pelayanan kesehatan secara memadai dan gratis untuk seluruh rakyat. Pembiayaan kesehatan dalam khilafah diperuntukkan bagi terwujudnya pelayanan kesehatan gratis, berkualitas, unggul bagi semua individu, masyarakat mulai dari penyelenggaraan, pendidikan, kesehatan, dan kedokteran untuk menghasilkan tenaga kesehatan berkualitas dalam jumlah memadai.
Penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dengan segala kelengkapannya industri, peralatan kedokteran, dan obat-obatan. Penyelenggaraan resep geomedik kedokteran hingga seluruh sarana prasarana yang terkait dengan penyelenggaraan, pelayanan kesehatan seperti listrik, air bersih, dan transportasi.
Demikianlah sebagian kecil saja sejarah indah yang tersimpan dalam peradaban Islam. Tidak ada alasan tetap melanggengkan penerapan sistem kapitalis yang mengomersialkan setiap layanan publik.
Wallahu'alam Bisowab
Oleh: Novita Ratnasari, S.Ak
(Sahabat Tinta Media)