Tinta Media - Bulan suci Ramadhan akan menaungi umat Islam sedunia, tamu istimewa dan syiar Islam yang mulia. Namun sayang, Ramadhan yang semestinya jadi momen kesatuan umat terkadang terganggu oleh adanya perbedaan awal dan akhir Ramadhan. Hal ini merupakan masalah yang sering terjadi di dunia Islam. Antara negara yang satu dengan negara lainnya. Tentunya di era kecanggihan teknologi komunikasi dan globalisasi Informasi saat ini, perbedaan tersebut mengusik pikiran kita.
Perbedaan dalam menentukan awal dan akhir Ramadhan, menurut sebagian pemikir muslim bisa terjadi karena faktor astronomi, faktor fikih dan faktor politik. Faktor politik inilah yang dianggap sebagai faktor yang paling dominan. Karena secara politik, umat Islam kini hidup tersekat-sekat dalam beberapa bangsa dan negara. Setiap negara menentukan awal dan akhir Ramadhannya sendiri-sendiri. Bahkan sebagian dari mereka tidak memperhatikan nash-nash syara’.
Kekuasaan dan fanatisme atas wilayah negara dan bangsa mereka menjadi dasar dalam menentukan perkara ini. Padahal keterpecahan mereka saat ini adalah rekayasa imperialisme Barat, bukan perasaan kebangsaan murni. Lihatlah bangsa Arab yang berpenduduk sekitar 325 juta terbagi dalam sekitar 24 negara? Begitu pun Indonesia, Malaysia, Brunei, yang serumpun menjadi negara-negara yang terpisah. Padahal seharusnya 1,7 miliar kaum muslimin di dunia hidup dalam satu naungan negara, sebagaimana masa peradaban Islam dahulu.
Faktor politik kebangsaan inilah yang menjadi faktor terpecahnya umat Islam, termasuk dalam penentuan awal-akhir Ramadhan. Terjadinya perbedaan pendapat di internal umat Islam sebenarnya dapat ditoleransi, selama pendapat tersebut termasuk pendapat Islami dan tidak menyebabkan perpecahan di dalam tubuh umat Islam. Sedangkan perbedaan penetapan awal-akhir Ramadhan ini tergolong ke dalam perkara yang tidak bisa ditoleransi, sebab berdampak luas pada perpecahan umat Islam,
Perpecahan tersebut di antaranya kekacauan dan ketidakbersamaan dalam melaksanakan ibadah puasa termasuk dalam menampakkan syi’ar hari raya. Perbedaan dalam perkara ini tidak tergolong rahmat, sebab di dalamnya berkaitan dengan halal-haram dan perpecahan dunia Islam. Perbedaan awal-akhir Ramadhan dan Idul Fitri pada tahun-tahun tertentu harusnya membuat kita malu. Coba perhatikan, Umat Nasrani saja bisa bersatu saat perayaan Natal 25 Desember, sebagaimana Yahudi, Budha, Hindu, dan yang lainnya. Mereka semua kompak dalam kebersamaan hari-hari besar perayaan agama mereka. Mengapa umat Islam tidak bisa?
Dari sini ada pelajaran yang sangat berharga bahwa umat Islam sangat memerlukan Institusi politik pemersatu. Institusi dengan kekuatan yang sanggup menyatukan kaum Muslimin dari Maroko hingga Merauke. Dari wilayah barat hingga timur. Sehingga, ketika menentukan awal Ramadhan adalah keputusan global dari Institusi politik yang satu. Institusi tersebut melakukan rukyat secara global dan hasil rukyat akan diberlakukan global kepada seluruh umat Islam.
Patutlah arahan dari Imam al-Maziri rahimahullah kepada kita ketika mensyarah hadis-hadis Shahih Muslim terkait rukyatul hilal, tentang institusi politik seperti apa yang sanggup mempersatukan umat Islam dalam awal-akhir Ramadhan, ia menjelaskan, "ika hilal telah terbukti oleh Khalifah maka seluruh negeri-negeri Islam wajib merujuk hasil rukyat itu, Sebab rukyat Khalifah berbeda dengan rukyat dari selain Khalifah. Karena seluruh negeri-negeri yang berada di bawah pemerintahannya dianggap bagaikan satu negeri. (Al-Mu’lim bi Fawâ`id Muslim, II/44-45). Wallahu a’lam.[]
Oleh: Cicin Suhendi
Sahabat Tinta Media