Tinta Media - Badan Pangan Nasional (BAPANAS) memberikan Apresiasi Kedeputian Penganekaragaman Konsumsi dan Keamanan Pangan 2024. Sebab, tahun lalu skor PPH Indonesia meningkat menjadi 94,1 sementara sebelumnya sebesar 92,9. BAPANAS optimis bahwa tahun ini akan merealisasikan peningkatan skor hingga 95,2 dari skor sempurna 100. (ANTARA.com 16/2)
PPH merupakan kombinasi beberapa macam bahan pangan utama yang apabila dikonsumsi dapat memenuhi kebutuhan gizi dan energi. PPH sangat dipengaruhi oleh Konsep Pangan Beragam, Bergizi, dan Seimbang (B2SH). Semakin banyak masyarakat yang mampu mengonsumsi B2SH, maka semakin tinggi skor PPH. Dengan kata lain, skor PPH mampu menggambarkan seberapa sejahtera masyarakat.
Alih-alih makin meningkatnya skor PPH, fakta di lapangan menunjukan bahwa bahan pangan justru semakin sulit diakses lantaran harganya yang melonjak tinggi dari hari ke hari. Per tanggal 21 Februari, beras menyentuh harga tertinggi sebesar 16.000 Rp/Kg. Cabai, minyak, daging sapi, juga mengalami kenaikan berangsur-angsur.
Ditambah dengan ancaman kenaikan harga BBM, politik oligarki kian mencengkeram dan memegang kendali kebijakan ekonomi, bansos yang dipolitisasi, dll. Hal ini membuat kita bertanya-tanya, apakah benar PPH meningkat sesuai realitas kesejahteraan rakyat, atau sekadar angka semata yang diutak-atik gathuk?
Ambisi Minim Realisasi
Dalam sistem kapitalisme, kesejahteraan diukur dari angka semata, bukan dari realitas di lapangan, seperti peningkatan skor PPH yang berkebalikan dengan realitas di lapangan. Nyatanya, masyarakat masih mengeluhkan harga bahan pangan. Tak semua rakyat mampu menikmati bahan pangan yang layak. Sebagian besar hanya mampu menikmati dengan kualitas ala kadarnya.
Selain itu, pemerintah sudah memperkirakan terjadi peningkatan angka kemiskinan ekstrem sebesar 6,7 juta orang. Indeks nasional yang digunakan saat ini di bawah standar global. Kalau standar global penetapan garis kemiskinan adalah dengan pendapatan sebesar 2,15 USD per hari, pemerintah menghitung standar kemiskinan ekstrem dengan pendapatan sebesar 1,9 USD per hari.
Dengan solusi yang ditawarkan oleh pemerintah berupa intervensi bantuan, belum tentu peningkatan PPH yang diikuti kesejahteraan warga akan terwujud. Sebab, yang terjadi dalam sistem saat ini adalah bahwasanya penguasa bukan pelayan rakyat. Pemerintah hanya memonitor kekayaan negara. Mereka tunduk patuh pada oligarki yang memodali mereka dan semakin pekat mewarnai kebijakan pemerintah. Harta rakyat mereka embat untuk kepentingan pribadi. Rakyat hanya diberi bagian sekenanya saja. Ini sebagaimana bansos yang biasa diterima masyarakat dengan kualitas yang kurang layak.
Lebih nahas lagi, bansos telah digunakan pemerintah untuk kepentingan pribadi. Demi memperpanjang umur kekuasaan, pembagian bansos dilakukan dengan diiringi kampanye mengusung paslon tertentu. Ini sebagaimana yang telah dibeberkan pada film dokumenter "Dirty Vote". Sungguh ironis, hak perut masyarakat kecil dipermainkan untuk mendulang suara.
Kalaupun pemerintah akan menggalakkan sosialisasi dan edukasi B2SH, tetapi jika tidak diikuti dengan peningkatan taraf kehidupan masyarakat, maka sama saja bohong. Bagaimana masyarakat mampu memenuhi kebutuhan pangan kalau uang saja tak punya, pekerjaan semakin sulit dicari, dan harga kebutuhan kian hari kian menukik?
Pemenuhan Pangan dalam Islam
Dalam Islam, politik adalah mengayomi urusan umat. Maka, pelaksana yang paling bertanggung jawab adalah pemimpin negara. Pemimpin akan mengupayakan pemenuhan kebutuhan pokok, yaitu sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan, serta keamanan bagi masyarakat. Tidak sekadar terpenuhi perut kenyang, tetapi diperhatikan apa yang masuk ke dalam perut adalah makanan sehat, bergizi, serta halal. Pemerintah akan mewujudkan kedaulatan pangan dan mengoptimalisasi potensi agraria tiap wilayah.
Untuk mewujudkan pangan yang layak, pemerintah juga bisa mendukung serta mendanai segala penelitian untuk menghasilkan teknik bertani efektif yang menghasilkan bahan pangan unggulan.
Sebagaimana di Indonesia, lahan agraris yang cukup luas akan dimaksimalkan untuk kepentingan umat. Penelitian seperti di IPB pun tak hanya menjadi kekayaan intelektual atau barang konsumsi kaum elit saja. Negara akan menyokong penuh pengaplikasiannya di lapangan.
Selain itu, taraf kesejahteraan masyarakat akan ditingkatkan. Dengan konsep kepemilikan dan distribusi harta ala Islam, akan tercegah adanya privatisasi SDA dan monopoli perdagangan oleh segelintir pihak. Lapangan pekerjaan meluas, pos pemasukan negara menjadi ideal untuk dikembalikan pemanfaatannya bagi umat. Maka, kesejahteraan masyarakat akan terwujud nyata, tak sekadar angka semata.
Maka, kita mendapati fakta sejarah dengan kesempurnaan Islam telah melahirkan pemimpin layaknya Umar bin Khathab yang menangis tersedu ketika mendapati satu rumah warga tak memiliki makan malam. Dengan perasaan bersalah, beliau mengantar langsung, bahkan memasaknya untuk penghuni rumah tersebut. Bukan omon-omon peningkatan PPH berbasis skor semu.
Dengan kesempurnaan sistem Islam, kita temukan realitas di era Umar bin Abdul Aziz, kemiskinan berhasil dientaskan. Saat itu, tak ada mustahik zakat, yang ada hanya para muzakki hingga harta baitul maal menumpuk. Bukan sekadar angka kemiskinan ekstrem yang menurun, standar indeks juga berhasil diturunkan.
Oleh: Qathratun
Ketua @geosantri.id