Pemilu dalam Sistem Demokrasi, Hanya Ajang Mencari Kekuasaan - Tinta Media

Minggu, 10 Maret 2024

Pemilu dalam Sistem Demokrasi, Hanya Ajang Mencari Kekuasaan


Tinta Media - Beberapa waktu lalu, tepatnya 14 Februari 2024, Indonesia telah mengadakan pesta demokrasi, yaitu pemilihan umum (pemilu) untuk memilih presiden-wakil presiden, dan anggota legislatif. Keramaian menjelang pemilu ini sudah berlangsung beberapa bulan sebelumnya, dengan antusiasme beberapa kalangan masyarakat dalam menyambutnya.

Dalam pelaksanaannya, selain diwarnai dengan antusiasme, pemilu kali ini pun diwarnai dengan beberapa kericuhan dan juga kecurangan yang ditemukan di beberapa daerah di Indonesia.

Salah satunya di TPS 44 Desa Bojongkunci, Kabupaten Bandung. Dugaan kecurangan tersebut ramai setelah banyak kertas suara yang telah dicoblos untuk pasangan paslon tertentu sebelum pemilihan dilakukan.

Kronologi ini menjadi sorotan utama selama proses pemilihan. Masyarakat menjadi khawatir bahwa kecurangan ini akan menimbulkan gejolak baru bagi para simpatisan dan juga memengaruhi kestabilan politik.

Dalam undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, terdapat ketentuan mengenai tindak pidana bagi pelaku kecurangan dalam pemilu.

Sebenarnya kecurangan pemilu dalam sistem demokrasi ini bukan hanya terjadi pada tahun ini. Masih jelas dalam ingatan kita tentang kericuhan yang dilakukan oleh pendukung paslon yang dicurangi pada pemilu tahun 2019, yang hampir memakan korban luka-luka. Selain itu, pemilu tahun 2019 juga diwarnai dengan meninggalnya sekitar 750 orang petugas KPPS secara hampir bersamaan, yang disinyalir karena kelelahan harus menghitung ulang surat suara, walaupun alasan ini masih menjadi perdebatan yang tidak berujung, hingga dipeti-eskan.

Lebih mirisnya lagi, seorang yang dibela mati-matian oleh pendukung paslon yang kalah, justru melenggang dan menerima kekuasaan dari pihak yang menang. Hal ini membuktikan bahwa dalam politik demokrasi tidak ada teman abadi dan  tidak ada musuh abadi, yang ada hanya kepentingan abadi. Maka, selama dapat meraih kepentingannya, seorang politisi akan sangat mudah memihak siapa pun, sekalipun dia merupakan rival politik di masa lalu. Atau sebaliknya, siapa pun akan dia tinggalkan jika tidak dapat memenuhi kepentingannya, sekalipun dulu merupakan teman politiknya.


Politik dalam pandangan mereka, semata untuk meraih kekuasaan setinggi-tingginya. Kekuasaan diraih untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya (oligarki), bukan untuk kepentingan rakyat. Ini justru cenderung merugikan rakyat. Rakyat hanya diperlukan ketika pemilu saja, untuk menghantarkan mereka ke kekuasaan. Setelah mereka berkuasa, kebijakan-kebijakan yang dibuat dan dijalankan justru jauh dari upaya untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat. 

Pemilu demokrasi dengan biaya mahal, mengharuskan para kontestan pemilu memiliki dana besar, yang sering kali bukan berasal dari uang sendiri, tetapi dari para penyokong dana, yaitu para kapitalis, luar dan atau dalam negeri. Maka, tidak heran jika  pemilu hanya menjadi ajang pertarungan para kapitalis melalui calon yang didukungnya. 

Jika satu  mendapatkan kekuasaan, para pejabat berlomba untuk memberikan kompensasi dana tersebut dengan segala cara, baik dalam bentuk modal, proyek pembangunan, program pemerintah, ataupun jabatan, melalui tindakan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Hawa nafsu berkuasa dengan segala macam cara, menjadi sebuah keniscayaan. Inilah konsekuensi dari penerapan demokrasi sekuler kapitalis, yang memisahkan agama dari kehidupan, yang mengagungkan aturan manusia yang lemah, dan mendewakan kebebasan.

Padahal, sebagai kaum muslimin, harusnya kita mengembalikan hak membuat aturan kepada Sang Pencipta, yaitu Allah Swt. Aturan tersebut diterapkan melalui kekuasaan sebuah negara untuk mengatur urusan umat dalam seluruh bidang kehidupan.

Sebagai agama yang sempurna, Islam mengatur segala hal, termasuk tentang pemilu. Pemilu di dalam Islam merupakan uslub (cara) untuk mencari pemimpin. Pada dasarnya, hukumnya boleh. Namun, bukan berarti harus menabrak syariat Islam. Sebagai muslim, sudah seharusnya kita mengutamakan aturan Allah dalam aktivitas apa pun, termasuk pemilu.

Selain pemilu, cara lain dalam memilih khalifah atau pemimpin adalah dengan musyawarah oleh ahlul halli wal aqdi sebagimana ketika terpilihnya Abu Bakar pasca wafatnya Rasulullah saw. atau dengan menunjuk langsung, seperti yang terjadi pada penunjukan Umar bin Khatab oleh Abu Bakar, sebagai hasil pilihan masyarakat. Atau dengan cara pemilu, seperti pasca Umar bin Khattab wafat, setelah sebelumnya beliau dalam kondisi terluka menjelang wafatnya, telah menunjuk enam orang calon khalifah, yang akhirnya mengerucut menjadi dua orang hasil pilihan kaum muslimin, yakni Utsman bin Affan dan 'Ali bin Abi Thalib, hingga akhirnya terpilihlah Utsman sebagai khalifah pengganti Umar setelah wafatnya.

Terpilihnya seorang khalifah dengan berbagai cara tersebut, belum menjadikan dia sah sebagai khalifah, kecuali setelah melakukan metode pengangkatan kepala negara, yaitu bai'at syar'i. 

Imam An-Nawawi, dalam kitab Nihayah Al-Muhtaj ila Syarh al-minhaj(VII/390) menyatakan,.

"Akad imamah (khilafah) sah dengan adanya bai'at, atau lebih tepatnya bai'at dari ahlul halli wal aqdi, yang mudah untuk dikumpulkan." (Imam an-nawawi)

Itulah bai'at in'iqad yang menjadi tanda sahnya seseorang diangkat sebagai seorang khalifah. Syariat Islam telah membatasi waktu maksimal kosongnya kaum muslimin dari seorang khalifah adalah tiga hari saja. 

Pemilihan pemimpin dalam Islam sangat sederhana, cepat, dan murah. Seluruh kaum muslimin baik rakyat maupun pihak penyelenggara, hingga para calon khalifah yang ada, akan menjalankan amanah itu sebagai dorongan keimanan dan ketakwaan untuk bersegera menjalankan kewajiban syariat, yaitu penerapan syariat Islam secara kaffah oleh seorang khalifah. 

Tidak ada keuntungan pribadi ataupun golongan yang diutamakan sebagaimana dalam sistem demokrasi kapitalisme, karena tujuan yang ditargetkan untuk diraih adalah semata dalam mencapai rida Allah Swt. 

Visi besar ini dimiliki oleh semua elemen kaum muslimin, baik penguasa maupun rakyat. Maka, inilah yang dapat mewujudkan Islam rahmatan lil 'alamin, sebagaimana yang pernah terjadi ketika syariat Islam kaffah diterapkan dalam naungan khilafah Islamiyyah sekitar lebih dari 13 abad lamanya. Wallaahu a’lam bish-shawwab

Oleh: Ira Mariana
Sahabat Tinta Media

Rekomendasi Untuk Anda × +

Bagikan artikel ini

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini.

Artikel Menarik Lainnya :