Tinta Media - Judi online saat kini makin marak bahkan di kalanan pelajar dan mahasiswa. Perencana Keuangan PINA.id Sayoga Risdya Prasetyo mengungkapkan fenomena tersebut membuktikan kurangnya literasi keuangan di kalangan masyarakat. "Fenomena ini jadi salah satu bukti bahwa literasi keuangan masyarakat kita masih sangat rendah. Kurangnga literasi keuangan membuat orang mudah terbawa iming-iming kaya mendadak dalam waktu instan yang selalu dielu-elukan oleh perusahaan judi online," kata Sayoga kepada Republika.co.id, Ahad (8/10/2023).
Sejumlah anak usia sekolah dasar didiagnosis kecanduan judi online dari konten live streaming para streamer gim yang secara terang-terangan mempromosikan situs judi slot (BBCNewsIndonesia, 27/11/23). Masih dalam BBC.NewsIndonesia, 27/11/23, pengamat keamanan siber dari Communication and Information System Security Research Center (CISSReC), Pratama Persadha, mengatakan pemerintah mesti menyeriusi persoalan ini karena target judi online bukan lagi orang dewasa, tapi generasi muda. Jika dibiarkan, Pratama meyakini masa depan mereka bakal hancur.
Menurut Budi Arie selaku Menteri Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia (Menkominfo RI) mengatakan, saat ini Indonesia sedang darurat judi online. Sudah banyak anak-anak dan remaja yang menjadi korban judi online. Dikutip dari laman Kemendikbudristek, Selasa (28/11/2023), bermain judi online memiliki dampak negatif pada anak-anak (Okeedukasi, 28/11/23).
Komisioner KPAI Sub Klaster: Anak Korban Cybercrime, Kawiyan menyebutkan dampak negatif judi online adalah : Pertama, menurunnya aktivitas fisik disebabkan waktu mereka banyak dihabiskan untuk bermain dan memantau perkembangan judi online. Kedua, anak-anak yang terlibat judi online juga boros dan tidak bisa hemat. Mereka bisa berpotensi menggunakan uang orang tua atau dari manapun dengan cara mendapatkan yang bisa jadi tidak dibenarkan secara hukum. Ketiga, anak-anak yang terjerat judi online bisa mengalami masalah psikologis seperti cemas, stres dan depresi. Jika ini terjadi, pendidikan mereka di sekolah bisa berantakan.
Meskipun negeri ini telah bersepakat bahwa negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa dan ditunjukkan oleh sila pertama Pancasila Ketuhanan Yang Maha Esa yang maknanya adalah religius state. Sila pertama bahkan diyakini sebagai ruh bagi nilai sila lainnya seperti kemanusiaan, keadilan, keadaban, persatuan, kerakyatan, kepemimpinan, kebijaksanaan, hikmah, musyawarah dan perwakilan. Namun anehnya sistem ideologi negeri ini justru kapitalisme demokrasi sekuler liberal, dimana nilai-nilai agama justru diabaikan dalam sistem pendidikan. Alih-alih mewujudkan pelajar pancasila, mereka justru menjadi pelajar sekuler yang minim akan adab.
Paradigma pendidikan sekuler hanya mengejar urusan duniawi dan tak peduli urusan akhirat. Urusan agama dan akhirat diserahkan ke setiap individu masyarakat. Akibatnya fatal, lembaga pendidikan tidak lagi melahirkan generasi beriman, bertaqwa, berakhlak mulia, namun melahirkan generasi sekuler yang hanya mementingkan urusan dunia semata. Generasi sekuler tak peduli dengan hukum-hukum agama dalam setiap tindakan, sebab tindakan hanya ditimbang dengan pragmatisme atau keuntungan duniawi semata. Judi online yang menjerat remaja dan anak-anak sekolah adalah buktinya.
Salah satu persoalan mendasar juga bisa ditemukan dalam sistem pendidikan nasional yang cenderung sekuler liberal, dimana nilai-nilai agama justru dipinggirkan atau setidaknya diberikan porsi yang sangat sangat sedikit. Akibatnya agama tidak menjadi ruh bagi sistem pendidikan nasional yang tentu saja berdampak buruk kepada kualitas moral generasi bangsa. Sebab adab, moral dan akhlak bersumber dari nilai-nilai agama, terutama agama Islam.
Kriminalitas di kalangan remaja ini mengkonfirmasi bahwa generasi muda bangsa ini telah kehilangan adab (loss of adab). Jika generasi bangsa mengalami krisis adab, maka rusaklah peradaban bangsa tersebut. Apalah artinya sebuah bangsa yang maju secara ekonomi dan sains, jika masyarakatnya amoral. Beberapa negara yang sering dijadikan contoh kemajuan justru negara yang sering kali tak beragama. Sementara negara religius sering distigma sebagai negara mundur dan terbelakang. Tentu saja hal ini merupakan contoh yang tidak benar bagi generasi penerus bangsa.
Ada banyak faktor pembentuk adab dan peradaban suatu bangsa. Mulai dari sistem pendidikan negara, masyarakat, media hingga keluarga. Keluarga mikro kosmos dari makro kosmos sistem negara. Penerapan sistem nilai pendidikan di negara sangat mempengaruhi sistem nilai di keluarga. Meskipun keluarga tetaplah memiliki tugas penting bagi pembentukan adab dan kepribadian anak.
Ketika pemerintah tidak peduli terhadap tayangan media, maka sama saja sedang membiarkan generasi bangsa kehilangan adab. Pemerintah mestinya merumuskan peta jalan pendidikan untuk mewujdukan bangsa Indonesia yang beradab, bukan semata-mata untuk kemajuan ekonomi dan teknologi. Judi online kan berbasis digital, dimana mestinya pemerintah memperhatikan perkembangan dunia digital ini demi keselamatan generasi mudanya.
Bagaimana akan menjadi generasi penerus negeri ini, jika sejak siswa telah kecanduan judi online yang dalam hukum agama statusnya haram dan karenanya berdosa. Sebenarnya judi online yang kini menjerat siswa itu hanya satu dari puluhan, mungkin ratusan kasus yang menjerat mereka.
Miris jika kita mau melihat moralitas anak bangsa, bahkan yang masih usia sekolah yang terjun bebas. Banyak kasus-kasus kriminal yang melibatkan siswa. Kasus tawuran pelajar bahkan telah menjadi berita biasa di negeri ini, meskipun hingga menelan korban jiwa. Remaja di negeri ini juga telah menjadi generasi yang jauh dari kata beradab. Banyak terjadi kasus seperti perampokan, pembunuhan, pemerkosaan, penipuan, perkelahian, penculikan, geng motor, penjambretan dan sederet kasus kriminal lainnya. Banyak kasus kriminal ini yang bahkan melibatkan pelajar sebagai pelaku atau sebagai korban. Paham sekulerisme telah menjadikan negeri ini carut marut dan penuh kejahatan dan kemaksiatan, karena anti nilai-nilai agama.
Secara etimologi sekularisme berasal dari kata saeculum (bahasa latin) yang memiliki arti waktu tertentu atau tempat tertentu. Atau lebih tepatnya menunjukkan kepada waktu sekarang dan di sini, dunia ini. Tahun 2015 MUI telah mengeluarkan fatwa haram atas paham sekulerisme agama ini, selain liberalisme dan pluralism agama.
Secara terminologis, sekulerisme adalah sebagai sebuah konsep atau ideologi yang memisahkan antara negara dan agama (state and religion). Agama hanya sebatas urusan ritual penyembahan kepada Tuhan dan tidak digunakan untuk mengatur tata kehidupan yang lebih luas. Agama dipandang sekedar ritualistik bukan sistemik. Sekularisme mengalihkan aktivitas berorientasi ukhrawi kepada orientasi duniawi semata.
Tepat jika saeculum disinonimkan dengan kata wordly dalam bahasa inggrisnya.
(Ensiklopedia Wikipedia). Sekulerisme secara harfiah adalah faham yang hanya melihat kepada kehidupan saat ini saja dan di dunia ini (keduniaan an sich). Tanpa ada perhatian sama sekali kepada hal-hal yang bersifat spiritual seperti adanya kehidupan setelah kematian yang notabene adalah inti dari ajaran agama.
Sekularisme adalah ideologi kufur yang bertujuan menjauhkan peranan agama dalam kehidupan dunia, sekulerisme mencoba untuk mewujudkan dominasi dunia pada semua sisi kehidupan, abai terhadap perintah dan melanggar larangaNya. Sekulerisme bersifat laadiniyah, sebuah ideologi anti agama dengan alasan dan penipuan dengan kedok priorotas emperimental (ilmiah). Pemisahan antara institusi (negara) dengan pemahaman agama, menolak hegemoni agama dalam kehidupan masyarakat dan negara.
Bahkan di negeri ini telah muncul juga paham sekulerisme radikal yang dengan terang-terangan menganggu ajaran Islam. Kaum sekuler radikal dengan songongnya telah ikut campur dalam urusan ajaran Islam. Padahal pelaksanaan ajaran agama adalah hak asasi setiap bangsa dan dilindungi oleh konstitusi. Namun bagi sekuler radikal, Islam dianggap sebagai ancaman bagi negeri ini. Kaum sekuler radikal lebih jahat dibandingkan para penjajah dahulu. Anak buah biasanya lebih bengis dari tuannya. Sekuler radikal terang-terangan menuduh nilai-nilai Islam sebagai sumber radikalisme dan terorisme. Padahal Indonesia ini kan negara Berketuhanan Yang Maha Esa.
Sekulerisme itu intinya anti Islam, makanya memuji kemaksiatan. Maksiat merupakan lawan dari taat, istiqomah, dan takwa. Perbuatan ini dapat menjerumuskan dan membahayakan manusia, baik di dunia maupun akhirat. Lantas, apa itu maksiat ?. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), maksiat diartikan sebagai perbuatan yang melanggar perintah Allah SWT. Jika seorang hamba melakukan perbuatan bermaksiat, artinya dia menentang Allah SWT.
Orang yang melakukan maksiat ialah yang berbuat sia-sia dan akan mendapatkan hukuman atas perbuatannya itu. Hal ini sebagaimana firman Allah SWT yang Artinya : (Aku hanya) menyampaikan (peringatan) dari Allah dan risalah-Nya. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sesungguhnya dia akan mendapat (azab) neraka Jahanam, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya.” (QS. Al Jinn: 23).
Dalam kitab berjudul Fawaidul Fawaid karya Ibnul Qayyim disebutkan bahwa pokok-pokok maksiat, baik yang kecil maupun yang besar ada tiga perkara, yakni bergantungnya hati kepada selain Allah, mengikuti kekuatan marah, dan menaati kekuatan syahwat. Perdukunan termasuk perkara yang pertama dari kemaksiatan. Sementara nikah beda agama termasuk kemaksiatan jenis ketiga.
Sekulerisme radikal dengan terang-terangan melegitimasi perdukunan yang jelas-jelas merupakan perbuatan maksiat, sementara syariah terus diserang dan distigmatisasi. Banyak apologi murahan yang dilontarkan untuk membela praktek perdukunan. Sementara kebencian kepada syariah telah pula memuncak hingga ubun-ubun mereka. Padahal perdukunan jelas musyrik dan dilarang Islam. Dahulu, rezam fir’aun juga menggunakan jasa perdukunan untuk memperkuat kursi kekuasaannya.
Karena itu, selama negeri ini menerapkan sistem pendidikan sekuler liberal, maka selama itu pula generasi bangsa ini akan menjadi generasi tak beradab seperti kecanduan judi online yang jelas hukumnya haram. Sementara pancasila hanya diteriakkan oleh para pemimpin untuk menutupi kegagalannya mengelola negara ini. Sedangkan Islam sebagai agama sempurna yang mengajarkan keagungan adab dan akhlak justru dipinggirkan, bahkan dilenyapkan. Ironis memang negeri ini.
Padahal sistem pendidikan adalah solusi terbaik bagi krisis multidimensi negeri ini. Pendidikan dan pembinaan dalam Islam mementingkan tiga faktor yaitu dimulai dari keluarga yang menanamkan syaksiyah Islamiyyah hingga pada masyarakat melakukan pengawasan kemudian negara meriayah (mengurusi) dan memberikan payung hukum yang menentramkan.
Tidakkah kita ingin generasi pewaris estafet kepemimpinan adalah generasi yang berkualitas dengan syaksiyah dan aqidah Islam yang mumpuni bukan generasi loyo yang berharap atas pengundian nasib yang tak jelas dan haram. Sungguh miris. Sudah seharusnya penerapan Islam secara menyeluruh dijadikan solusi atas kekacauan kehidupan manusia. Karena Islam memberikan solusi sesuai fitrah manusia
(Ahmad Sastra, Kota Hujan, 09/01/24 : 10.10 WIB)
Oleh : Dr. Ahmad Sastra
Ketua FDMPB