Kapitalisme Mematikan Naluri Keibuan - Tinta Media

Minggu, 10 Maret 2024

Kapitalisme Mematikan Naluri Keibuan


Tinta Media - Masyarakat hari ini tengah dilanda krisis di berbagai aspek kehidupan. Kemiskinan, kebodohan, kezaliman, kerusakan moral, ketidakadilan, tindakan kriminal, dan berbagai macam masalah sosial tengah menjerat kehidupan masyarakat saat ini. Kehidupan yang cukup sulit, dengan kondisi keimanan yang lemah, akan mudah mendorong terjadinya tindak kejahatan di tengah masyarakat. 

Seperti kasus yang baru-baru ini terjadi. Dikutip dari Beritasatu.com (23/2/3024), jajaran Polrestro Jakarta Barat mengungkap modus tindak pidana perdagangan orang (TPPO) bayi, yang melibatkan tiga orang, termasuk ibu kandung di kawasan Tambora, Jakarta Barat. 

Kasus ini terungkap ketika tersangka yang berstatus ibu kandung bayi melapor telah kehilangan bayinya pasca melahirkan. Setelah didalami kasusnya, terungkap bahwa sebenarnya telah terjadi kesempatan antara ibu kandung bayi dengan pelaku untuk menyerahkan bayinya dengan imbalan uang. Akan tetapi, karena imbalan tak kunjung dilunasi, ibu kandung bayi ini melapor ke pihak kepolisian. 

Faktor Ekonomi

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) menyebut bahwa orang tua yang menjual bayinya, umumnya berasal dari keluarga dengan taraf ekonomi rendah. Ini sebagaimana yang disampaikan pelaku bahwa keterbatasan biaya persalinan berujung terjadi kesepakatan penyerahan bayi dengan imbalan uang. 

Kejadian ini tentu sangat disayangkan. Krisis ekonomi yang berujung kemiskinan ternyata bisa mematikan naluri keibuan. Terimpit dalam kemiskinan memang berpeluang terjadi tindak kejahatan. 

Di sisi lain, orang-orang yang tak bertanggung jawab justru memanfaatkan kondisi ini sebagai ladang usaha untuk meraih keuntungan. Para pelaku akan menyasar para korban yang rentan secara ekonomi dengan iming-iming imbalan dengan jumlah yang tak seberapa. 

Kejadian semacam ini seharusnya menjadi cambuk bagi penguasa negeri ini, karena mengindikasikan bahwa negara telah gagal mengurus dan menjamin kesejahteraan bagi rakyat. Ini adalah aib bagi negara. Namun, adakah negara malu akan aib ini? Atau negara justru lempar tanggung jawab dengan mengambinghitamkan pihak lain? 

Akibat Penerapan Kapitalis Sekuler

Masalah kemiskinan masih menjadi problem serius negeri ini. Dari data yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS), persentase penduduk miskin di Indonesia mengalami penurunan. Pada Maret 2023 persentase penduduk miskin mencapai sebesar 9,46% atau 25,9 juta orang. Persentase ini turun 0,18 dari Maret 2022.

Akan tetapi, jika mengacu pada model perhitungan garis kemiskinan oleh Bank Dunia melalui ukuran PPP yang baru, dikutip dari (CNBC Indonesia, 10/5/2023), garis kemiskinan ekstrem menjadi US$ 2,15 per orang per hari atau 32,745 per hari yang sebelumnya diangka US$ 1,90. Untuk kelas menengah ke bawah, naik menjadi Rp55,590 dan untuk menengah ke atas naik menjadi Rp104.325 per-hari. Maka dengan PPP baru ini, persentase kemiskinan di Indonesia bisa mencapai 40%.

Tingginya persentase kemiskinan di Indonesia tak terlepas dari penerapan sistem kapitalis hari ini yang membebaskan kepemilikan kepada individu untuk menguasai apa-apa yang menjadi hajat orang banyak selama mereka punya modal. Walhasil, para pemodallah yang menguasai sebagian besar aset-aset negara yang seharusnya dikelola negara untuk kesejahteraan rakyat. 

Apa yang terjadi? Yang kaya semakin kaya. Dengan kekayaannya, ia bisa membeli apa pun, termasuk kekuasaan. Maka tak heran, yang terjadi hari ini adalah politik transaksi antar pengusaha dan penguasa, bukan politik mengurus urusan rakyat. Yang miskin, tersebab kelemahan dan keterbatasannya akan semakin miskin. 

Mewujudkan Kesejahteraan adalah Kewajiban Negara

Politik dalam Islam adalah untuk mengurus urusan rakyat, memastikan agar rakyat hidup dalam kesejahteraan dan tidak membedakan kaya maupun miskin. 

Rasulullah saw. bersabda: "Seorang imam (pemimpin) adalah bagaikan penggembala, dan dia akan dimintai pertanggung jawaban atas gembalanya." (HR. Bukhari)

Negara tidak sebatas regulator, tetapi benar-benar hadir di tengah rakyat untuk memastikan terpenuhinya kebutuhan dasar.  

Islam telah menetapkan sumber-sumber pendapatan bagi negara juga hak-hak kepemilikan. Dengan begitu, negara dapat memastikan kebutuhan tiap-tiap individu terpenuhi. Islam mewajibkan bagi setiap laki-laki yang mampu bekerja untuk bekerja karena di pundaknya dibebankan nafkah keluarga. Negara juga akan memberikan sanksi kepada laki-laki yang mampu bekerja, tetapi enggan untuk bekerja. Namun sebelum itu, negara sudah memberikan berbagai akses untuk memastikan tanggung jawab nafkah itu bisa dipenuhi, misalnya dengan menyediakan lapangan kerja atau memberikan modal untuk usaha. 

Pada kasus-kasus tertentu, negara hadir untuk memenuhi segala kebutuhan rakyat. Misalnya, seorang janda yang ditinggal mati suaminya, sementara tidak ada perwalian yang bertanggung jawab, maka dia menjadi tanggung jawab negara. 

Selain itu, negara  juga akan memberikan pelayanan gratis untuk kesehatan, keamanan, dan pendidikan. Dengan begitu, tidak ada anak putus sekolah. Kurikulum pendidikan yang diterapkan negara adalah kurikulum Islam dengan tujuan yang jelas. Sehingga output dari pendidikan menjadikan manusia yang bertakwa kepada Allah. Dengan begitu, mereka tidak akan melakukan tindakan yang menjerumuskan pada hal-hal yang haram. 

Jikapun terjadi tindak kejahatan, negara akan memberikan tindakan cepat dan sanksi tegas agar dapat memberikan efek jera dan menghapus dosa bagi pelaku. Langkah itu akan mencegah orang lain untuk melakukan tindak kejahatan serupa. 

Seperti inilah gambaran singkat negara yang berasaskan pada syariat Islam. Ini bukan khayalan belaka. Kehidupan seperti ini pernah ada secara nyata berabad-abad lamanya. Tidakkah kita rindu semua itu terulang? Ayo, berjuang! Wallahu a'lam bisshawab.

Oleh: Ayu Winarni
(Muslimah NTB) 
Rekomendasi Untuk Anda × +

Bagikan artikel ini

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini.

Artikel Menarik Lainnya :