Julukan "Lumbung Padi", Langka Produksi Padi, Benarkah? - Tinta Media

Sabtu, 02 Maret 2024

Julukan "Lumbung Padi", Langka Produksi Padi, Benarkah?



Tinta Media - Beras merupakan bahan makanan pokok masyarakat Indonesia. Namun, apa yang terjadi jika beras menjadi langka dan harganya selangit? Padahal, negeri ini dijuluki sebagai 'lumbung padi'. Artinya, kelangkaan dan kenaikan harga seharusnya tidak terjadi.

Untuk itulah, Bupati Bandung, Dadang Supriatna mengantisipasi agar tidak terjadi lonjakan harga beras dan memastikan tidak terjadi kerawanan pangan. Beliau siap membantu untuk memenuhi kebutuhan rakyat Kabupaten Bandung dengan menyediakan 800 ton beras dan mengklaim stok beras di Kabupaten Bandung aman hingga 3 bulan ke depan. 

Selain itu, Kepala Dinas Perdagangan dan Perindustrian Kab. Bandung, Dicky Anugerah bersama jajaran akan melakukan koordinasi dan konsultasi dengan Kementerian Perdagangan. Selain itu, Perum Bulog Kanwil Jabar akan menyalurkan bantuan pangan sebanyak 44 ribu ton per bulan ke pasar-pasar tradisional dan modern. Pendistribusian ini akan terus dilanjutkan untuk menekan laju kenaikan beras di pasaran.

Akan tetapi, inilah realitas yang terjadi saat ini. Ibu-ibu rumah tangga dibuat was-was dengan hal tersebut. Harga beras yang mahal sangat dirasa menambah beban hidup, apalagi di tengah ekonomi sulit saat ini.

Harga beras yang terus melonjak dan langka, sebenarnya bukanlah permasalahan baru di negeri ini. Persoalan ini seperti sudah menjadi agenda rutin. Masyarakat sebagai konsumen hanya bisa pasrah tak mampu berbuat banyak menghadapi persoalan ini. Mereka hanya mampu memutar otak agar bisa memenuhi kebutuhan sehari-harinya.

Alasan pemerintah bahwa persoalan ini terjadi karena produksi padi sedang langka, faktanya tidak seperti itu. Kalaulah memang produksi padi langka akibat faktor alam, seperti gagal panen, serangan hama, terendam banjir, jadwal panen dan lain-lain, sebagai hamba yang beriman kepada Allah Swt, wajib hukumnya untuk bersabar. Penguasa juga harus berusaha mendapatkan pasokan beras dari daerah lain. Jika memang di dalam negeri tidak juga memperoleh pasokan beras, barulah negara mengimpor beras dengan tidak  lupa memperhatikan produksi beras dalam negeri.

Kemudian, kelangkaan terjadi karena penyimpangan ekonomi, seperti penimbunan (ihtikar), permainan harga, hingga liberalisasi pangan yang mengantarkan pada penjajahan ekonomi. Inilah praktik monopoli beras yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan besar beromzet triliunan rupiah. 

Praktik ini terjadi atas restu penguasa yang telah melanggengkan para kapitalis untuk menguasai sektor pertanian dan perdagangan. Akhirnya, mereka dengan seenaknya mempermainkan harga dan menahan pasokan beras.

Dalam sistem kapitalisme saat ini, para pemilik modal besar telah memonopoli distribusi beras dari hulu hingga hilir. Mereka membeli gabah dari petani dengan harga murah, kemudian diproses dengan mesin-mesin canggih sehingga mampu menghasilkan beras berkualitas premium, kemudian dilepas ke pasaran dengan harga tinggi.

Sasarannya bukan hanya beras, tetapi komoditas lainnya seperti bawang putih, garam, dan gula. Para mafia pangan di sektor ini mampu meraup keuntungan besar. Parahnya, di sistem ini, penguasa tidak berkuasa dan berdaya karena mereka telah memasrahkan pengelolaannya kepada para kapitalis.

Jadi, solusi yang ditawarkan oleh penguasa dengan memberikan bantuan dan mengklaim bahwa stok beras aman selama 3 bulan ke depan, hanya solusi semu semata, tidak mampu menyentuh akar permasalahan. Beras merupakan kebutuhan pokok yang dikonsumsi rakyat setiap hari, bukan 3 bulan saja. Jika kebiasaan impor menjadi budaya, mau sampai kapan negeri ini merdeka dari penjajahan ekonomi?

Padahal, di dunia ini ada sebuah sistem sahih yang mampu menyelesaikan problematika kehidupan. Salah satunya adalah permasalahan ketersediaan kebutuhan pokok rakyat. Sistem tersebut adalah Islam. Jika sistem Islam dengan aturan yang paripurna ini diterapkan oleh negara, maka kesejahteraan akan senantiasa dirasakan oleh seluruh rakyat.

Dalam sistem Islam (khilafah), negara bertanggung jawab atas pemenuhan segala kebutuhan rakyat, dalam hal ini adalah kebutuhan bahan pangan beras. Negara akan mengawasi seluruh proses, mulai dari produksi hingga pendistribusian ke tangan rakyat,  tanpa memberi celah pihak asing untuk mengurusi urusan rakyat. Negara akan menjamin rantai distribusi ini aman dari praktik penimbunan dan monopoli.

Sebagai bentuk ri'ayah (pelayanan) kepada rakyat, khilafah akan menyediakan seluruh kebutuhan sektor pertanian dengan cuma-cuma alias gratis, seperti menyediakan lahan untuk ditanami, pupuk, bibit, fasilitas irigasi, infrastruktur jalan dan transportasi, dll. 

Terkait harga, negara tidak akan mematoknya. Harga dibiarkan terjadi secara alami sesuai penawaran dan permintaan di pasar atau supply and demand.

Kemampuan negara dalam memberikan fasilitas gratis kepada rakyat bukanlah sesuatu yang mustahil. Pendapatan negara diperoleh dari hasil pengelolaan sumber daya alam. Hasilnya disimpan di baitul mal dan dipergunakan untuk memenuhi segala kebutuhan rakyat. Oleh sebab itu, negara mampu mengantisipasi ketika terjadi kelangkaan beras seperti saat ini.

Dalam Islam, fokus utama negara adalah kesejahteraan rakyat, bukan untung rugi seperti dalam sistem kapitalisme. Rasulullah saw bersabda,

"Sesungguhnya seorang imam (khalifah) itu perisai yang (orang-orang) akan berperang mendukungnya dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan)nya." (HR. Muttafaqun 'alaih)

Inilah bukti bahwa ketika negara menerapkan sistem Islam yang berlandaskan pada Al-Qur'an dan sunnah, maka keberkahan akan datang dari langit dan bumi. Sudah waktunya kita kubur sistem bobrok, yaitu sistem sekuler kapitalisme yang menjadi penyebab karut-marutnya tatanan kehidupan. Kita tegakan hukum-hukum Allah dalam satu bingkai daulah Islamiyah.
Wallahualam.



Oleh : Neng Mae
Sahabat Tinta Media
Rekomendasi Untuk Anda × +

Bagikan artikel ini

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini.

Artikel Menarik Lainnya :