IJM: Kekerasan Santri Harusnya Jadi Pelajaran Terakhir - Tinta Media

Senin, 11 Maret 2024

IJM: Kekerasan Santri Harusnya Jadi Pelajaran Terakhir



Tinta Media - Direktur Indonesia Justice Monitor Agung Wisnuwardana menuturkan, kekerasan pada santri yang terjadi di pondok pesantren Kediri seharusnya menjadi pelajaran terakhir. 

"Harusnya ini menjadi pelajaran terakhir, pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan agama yang selalu menekankan moral keagamaan," tuturnya dalam video Kejam! Santri Diduga Dibully Kakak Senior Hingga Meninggal di kanal YouTube Justice Monitor, Kamis (29/2/2024). 

"Tempat mempelajari, memahami, mendalami, menghayati. Jangan sampai, mengamalkan ajaran Islam menjadi sarangnya para predator seksual maupun bullying oleh para santri senior," imbuhnya. 

Ia mengungkapkan bahwa orang tua memiliki niat mulia untuk mengantarkan putra putrinya mengaji, memperdalam ilmu agama di pesantren. Bahkan orang tua memiliki pilihan terbaik dengan menyekolahkan anaknya di sekolah-sekolah umum yang berada di lingkungan pesantren. "Mereka memiliki harapan tinggi agar anaknya tidak hanya mendapatkan pengetahuan umum saja namun juga diimbangi dengan pengetahuan agama. Sehingga kelak tampil sebagai pribadi dengan akhlak yang mulia," ulasnya. 

Namun nyatanya, lanjutnya, malah menjadi korban kejahatan para oknum senior. "Jangan sampai muncul opini di Lingkungan masyarakat bahwa pesantren pun bukan tempat yang aman bagi anak untuk belajar," tukasnya. 

Ia menilai bahwa meski kasus kekerasan dan perundungan lebih banyak yang terjadi di luar pesantren, namun bukan berarti boleh memaklumi kejadian kekerasan di beberapa pesantren. Sebab itu tidak mencerminkan wajah dari pondok pesantren secara keseluruhan. "Tetapi tentu kita harus introspeksi semuanya. Masalah kekerasan dan perundungan ini tidaklah sederhana melainkan bersifat sistematis, yakni kehidupan yang sekuler liberal," ungkapnya. 

Ia memandang bahwa tidak bisa menyalakan individu santri semata, juga keluarga dan institusi pesantrennya saja. Santri tidak hanya tinggal di lingkungan pesantren dengan berbagai macam peraturannya, melainkan juga dengan keluarga dan lingkungannya yang berinteraksi dengan kehidupan sekuler liberal. Hal ini menyebabkan kehidupan umat Islam menganut gaya hidup bebas dan tentu rentan stres sosial karena mengukur segala sesuatunya dengan material. "Inilah pemicu seorang mudah terpancing amarah hingga hilang akal, yang melakukan sesuatu di luar nalar hingga bisa menghilangkan nyawa manusia," paparnya. 

"Media massa pun memprovokasi generasi muda, tidak terkecuali para santri dengan berbagai ‘konten sampah’, yang merusak, untuk hidup dengan standar gaya hidup yang materialistis, kering akan _idrak sillah billah_ , kering akan hubungan dengan Allah Subhanahu Wa Taa'la," terangnya. 

Sementara itu,  tambahnya, santri tidak 100% tinggal di lingkungan pesantren, misalnya juga suguhan game, iklan, video dan sebagainya yang menyodorkan aksi-aksi kekerasan mungkin diterima juga. Itu termasuk ketika liburan pulang ke rumah orang tuanya. Hal ini tidak bisa dihindari, ditambah pola asuh dan karakter orang tua yang cenderung sekuler, kering dari kasih sayang, yang tidak sejalan dengan pesantren. "Hal ini pun mempengaruhi santri dalam menyelesaikan masalah dengan jalan serba instan tanpa proses, bijak, penuh kesabaran, dipikir dulu. Cenderungnya main tangan, kekerasan," bebernya. 

Ia menambahkan bahwa solusi kekerasan oleh santri ini butuh solusi sistemis. Tidaklah cukup menyelesaikan masalah hanya dengan satu sisi, misalnya memberikan sanksi berat pada pelaku kekerasan tetapi membiarkan sistem penyubur kekerasan tetap eksis di tengah-tengah kehidupan, baik di dalam gadget anak-anak itu sendiri, game-game, video-video tontonan yang memang menampilkan kekerasan yang itu memudahkan orang memicu terjadinya kekerasan. Perlindungan menyeluruh bagi anak atau pelajar dari tindak kekerasan baik seksual, fisik maupun psikis mengharuskan negara membuat evaluasi menyeluruh atas kebijakan terkait dengan berjalannya fungsi keluarga. Perlunya lingkungan yang kondusif. Kemudian kurikulum pendidikan yang sejalan serta penegakan hukum. 

"Hal ini harus ditempuh negara jika serius untuk menuntaskan berbagai kasus kekerasan yang terjadi saat ini pada anak," pungkasnya.[] Ajira
Rekomendasi Untuk Anda × +

Bagikan artikel ini

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini.

Artikel Menarik Lainnya :