Tinta Media - Pesta demokrasi baru saja usai. Saat ini Indonesia dalam masa peralihan, menunggu hasil pemilihan pemimpin untuk lima tahun ke depan. Sebagaimana kita ketahui bahwa pemilu menjadi kewajiban bagi seluruh warga negara Indonesia untuk memilih presiden dan wakil presiden, juga pemilihan anggota DPR RI, DPD RI, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota.
Begitu besar harapan yang tersimpan di benak masyarakat saat pemilu itu selesai dilaksanakan dan paslon yang mereka dukung menjadi pemenangnya.
Dalam hal ini, Ketua Dewan Mesjid Indonesia (DMI) Kabupaten Bandung, KH. Shohibul Ali Fadhil, M.Sq menyampaikan bahwa di dalam kontestasi perpolitikan, tentulah ada yang menang dan ada yang kalah. Maka dari itu, KH. Shohibul Ali Fadhil, M.Sq mengimbau kepada seluruh masyarakat, khususnya masyarakat Kabupaten Bandung agar pesta demokrasi yang telah dilaksanakan itu menjadi momentum untuk senantiasa bersyukur kepada Allah Swt., menerima ketentuan takdir-Nya bahwa kemenangan paslon itu sudah digariskan Allah Swt.
Sementara, kekalahan adalah keniscayaan. Maka dari itu, jadikan kekalahan itu sebagai motivasi agar masyarakat bisa kembali bersatu padu membangun Kabupaten Bandung yang Bedas (bangkit, edukatif, dinamis, agamis dan sejahtera), mempererat kembali persaudaran, menyatukan visi misi Kabupaten Bandung menuju Indonesia Emas 2045.
Namun, di lain hal, penting bagi masyarakat untuk mempelajari ragam peristiwa perubahan yang terjadi di Indonesia. Sebagaimana kita ketahui, pada tahun 1998 rakyat pernah melengserkan presiden yang telah berkuasa selama 32 tahun. Di masa kekuasaannya, lahirlah KKN, pembungkaman, penculikan aktivis, serta krisis ekonomi dan moneter, sampai-sampai rupiah mencapai Rp20 ribu per dolar AS. Di saat itu, masyarakat dan mahasiswa bergerak bersama menuntut perubahan yang pada puncaknya penguasa saat itu menyatakan undur diri dari jabatan sebagai Presiden RI.
Sejak saat itu, Orde Reformasi bergulir. Yang menjadi pertanyaan saat ini adalah apakah dengan adanya reformasi, penguasa setelahnya berhasil mewujudkan kondisi ideal masyarakat sejahtera, aman, tenang, dan tenteram?
Pada realitasnya, walaupun pemilu dilaksanakan secara berkala dengan pembatasan periode kepemimpinan ketika masyarakat terus menginginkan pergantian rezim nasional, tetapi kondisi ideal tidak pernah terwujud. Begitu banyak permasalahan bangsa yang tidak pernah terselesaikan, bahkan malah menambah permasalahan yang kian rumit di berbagai aspek kehidupan dalam bernegara.
Seperti aspek sosial misalnya, angka perceraian dan KDRT meningkat, moral anak bangsa semakin rusak, pembunuhan dan penganiayaan terjadi di mana-mana, kemiskinan kian tajam, hutang pinjol kian mencekik sehingga stres, depresi, bahkan bunuh diri begitu sering terjadi.
Pada aspek ekonomi, Indonesia yang terkenal dengan sumber daya alam yang melimpah ruah ternyata tidak mampu menjamin rakyat sehat dan sejahtera. Masih banyak kasus kelaparan, kekurangan gizi dan stunting di tanah air, kesenjangan sosial semakin kentara, yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin dimiskinkan.
Ironisnya lagi, di balik pembangunan infrastruktur yang jor-joran, ternyata Indonesia makin tercekik utang luar negeri dan menjadi rekor utang terbesar sepanjang sejarah bangsa. Namun sungguh aneh, dengan keadaan di ambang kemerosotan ekonomi, pemerintah tetap ngotot dengan proyek prestisius yang tidak menguntungkan rakyat, seperti IKN dan Kereta Cepat Jakarta Bandung (KCJB), ataupun proyek jalan tol lainnya, sementara semua itu tidaklah dinikmati oleh semua rakyat Indonesia.
Keadaan saat ini semakin diperburuk dengan korupsi yang tidak mati-mati yang melibatkan para pejabat tinggi ataupun pegawai pemerintahan yang levelnya berada di bawah pejabat tinggi.
Pada aspek politik dan pemerintahan, terjadi dugaan penyimpangan kekuasaan. Politik dinasti kian dilestarikan. Sudah menjadi rahasia umum bahwasanya Mahkamah Konstitusi secara kontroversial mengubah batas usia capres-cawapres dalam UU Pemilu sehingga meloloskan salah satu pasangan paslon untuk menjadi cawapres dalam Pilpres 2024.
Semua fakta yang terkemuka hanya sebagian dari sekian banyak permasalahan yang terjadi di dalam negeri. Jika hari ini kita masih berharap perubahan pada siapa pun yang menang di pemilu yang telah dilaksanakan dan bagi yang kalah berharap untuk tetap menjaga persatuan, sesungguhnya harapan itu adalah harapan semu belaka yang pada akhirnya tetap akan kecewa.
Sesungguhnya, akar permasalahan bangsa dan negara ini bukanlah semata karena siapa yang menjadi pemimpin. Secara fakta, kita pernah dipimpin oleh seorang ulama, kiai, seorang intelektual, kalangan militer, bahkan dari kalangan sipil sekali pun yang ke semuanya tidak mampu mewujudkan kesejahteraan, keadilan, kedamaian, dan keamanan rakyat.
Sejatinya, akar permasalahan yang dihadapi adalah sistem itu sendiri, yakni penerapan sistem demokrasi kapitalisme yang berasas pada akidah sekularisme yang menghapuskan aturan halal-haram. Semua diukur dengan kepentingan dan kemanfaatan.
Sistem demokrasi kapitalisme menghamparkan karpet merah bagi kapitalis untuk melobi eksekutif dan legislatif sehingga dibuatlah aturan yang menguntungkan mereka, bukan untuk kepentingan rakyat. Slogan kedaulatan di tangan rakyat hanya mitos dan isapan jempol belaka. Pantas jika kerusakan demi kerusakan terus terjadi.
Maka dari itu, pelaksanaan pemilu secara berkala dengan pembatasan periode kepemimpinan tidak akan pernah mewujudkan kondisi negara ideal. Rezim demokrasi senantiasa melahirkan kekhawatiran akan munculnya kekuasaan yang menindas. Maka, jelas bahwa sistem demokrasi kapitalisme hanya memberi harapan palsu perubahan.
Sejatinya, saat kita menginginkan perubahan, maka diharuskan perubahan secara mendasar, yakni ideologi bagi sebuah negara dan masyarakat, yaitu perubahan yang mengharuskan adanya suatu proses membangun keyakinan pada setiap individu terlebih dahulu, kemudian melakukan standarisasi dan pemahaman baru di masyarakat. Sebab, masyarakatlah yang akan membentuk sistem kehidupan baru yang akan diterapkan secara keseluruhan, bukan secara bertahap.
Perubahan sistem ini dikenal dengan revolusi (inkilabiyah). Maka dari itu, yang seharusnya diusung oleh rakyat Indonesia dalam melakukan perubahan adalah revolusi sistem, bukan reformasi sistem. Revolusi sistem ini adalah penerapan sistem Islam secara kaffah (sempurna, menyeluruh) dalam institusi politik yang kompatibel dengan sistem Islam.
Yakinlah bahwa tidak ada solusi yang bisa menyelamatkan umat dan negeri ini dari berbagai permasalahan melainkan dengan menjadikan Islam sebagai akidah dan menjalankan syariat Islam secara kâffah di bawah naungan Khilafah Islamiah. Wallâhu a’lam bi ash-shawâb.
Oleh: Tiktik Maysaroh
Aktivis Muslimah Bandung