Tinta Media - Kasus penganiayaan asisten rumah tangga (ART) kembali terjadi di negeri ini. Terdapat lima orang asisten rumah tangga yang masih di bawah umur menjadi korban penganiayaan oleh majikannya di Kawasan Jatinegara, Jakarta Timur. Mereka nekat melarikan diri dengan mempertaruhnya nyawa karena harus memanjat pagar tinggi yang berkawat duri, Senin 12/2/2024 sekitar pukul 02.30 WIB.
Seorang tetangga yang menjadi saksi mata Vina (39) mengatakan, kelima ART menangis dan ketakutan saat berusaha kabur dari rumah majikannya. Penganiayaan tersebut diketahui saat kelima korban melarikan diri dari rumah tempat mereka bekerja.
Vina mengatakan bahwa selama bekerja di rumah majikannya, salah satu tubuh korban ada yang sampai disetrika. Bahkan, di antara mereka ada yang dipaksa harus memukul kepala mereka sendiri apabila dianggap berbuat salah oleh majikan. Tak hanya itu, para korban mengaku dipaksa bekerja tiada henti dan melebihi waktu jam kerja pada umumnya. Mereka pun kerap telat diberi makan oleh majikan. (Megapolitankompas.com, 17/2/2024)
Ironis, kasus yang menimpa ART seakan tidak pernah berakhir. Kasus ini hanya satu dari banyak penyiksaan yang kerap dialami oleh ART di tempat mereka bekerja. Peristiwa ini semakin menunjukkan rusaknya hubungan kerja karena perlakuan yang tidak manusiawi yang dialami oleh pekerja.
Selain masalah gaji dan hak-hak yang lain, beberapa pihak menjadikan kekerasan dan eksploitasi ART untuk mendorong pemerintah segera mengesahkan P-PRT. Bahkan, global pun memberikan perhatian besar dalam hal PRT.
Semua ini akibat penerapan sistem kapitalisme yang menjadikan relasi kuasa sebagai alat kezaliman terhadap sesama. Tidak ada penegakan hukum yang mampu mewujudkan keadilan antara pekerja dan pemberi kerja (majikan). Pihak yang memberikan modal dan kuasa selalu diposisikan sebagai pihak yang istimewa sehingga tindak kezaliman seakan-akan disahkan.
Lemahnya negara dalam melindungi nasib ART telah nampak dengan adanya RUU P-PRT. Meski telah resmi menjadi inisiatif DPR RI dan segera akan dibahas di tingkat Badan Legislatif DPR RI, tetapi UU ini tidak dapat menjamin bahwa nasib perempuan di negeri ini, khususnya pekerja rumah tangga (ART) akan berubah menjadi lebih baik.
Selama ini kasus-kasus penganiayaan yang dilakukan oleh majikan terhadap ART juga tidak mendapatkan hukuman yang tegas dan menjerakan pelaku. Pelaku penganiayaan yang menyisakan luka fisik dan batin hanya dihukum penjara, bahkan dalam beberapa kasus pembunuhan yang dilakukan terhadap ART hanya divonis puluhan tahun penjara.
Di sisi lain, kemiskinan dan rendahnya pendidikan membuat seseorang tidak memiliki nilai tawar. Hal tersebut menambah potensi kezaliman pekerja oleh pemberi kerja. Faktanya, masih banyak penduduk negeri ini yang hidup dalam kemiskinan. Pendidikan di negeri ini pun sangat rendah.
Maka, kemiskinan yang terjadi di negeri ini adalah karena kesalahan sistem ekonomi yang diterapkan, yakni sistem ekonomi kapitalisme. Sistem ini telah membolehkan pihak swasta atau asing melakukan perampasan SDA di negeri ini. Padahal, jumlah SDA yang begitu besar mampu membuka lapangan pekerjaan yang sangat luas dan beragam bagi rakyat.
Selain itu, sistem kapitalis yang diadopsi hampir semua negara di dunia ini sangat eksploitatif terhadap perempuan. Sistem kapitalis telah berhasil memisahkan agama dari kehidupan, maka tak heran pekerjaan sebagai ART dimiliki masyarakat negeri ini. Pasalnya, demi memenuhi kebutuhan hidup, siapa pun rela melakukan pekerjaan apa saja asal bisa menghasilkan uang.
RUU P-PRT yang digadang-gadang mampu memberikan perlindungan hingga jaminan ketenagakerjaan terhadap ART, selama 20 tahun lebih belum juga disahkan. Kalaupun disahkan, negara dipastikan tidak akan mampu memberikan perlindungan hakiki mengingat pembuatan UU dalam sistem demokrasi hanya formalitas, tidak menyentuh akar masalah.
Umat manusia saat ini membutuhkan aturan yang bisa menjaga dan melindungi masyarakat dari penganiayaan, bahkan eksploitasi, khususnya terhadap ART. Aturan tersebut ialah aturan yang berasal dari Sang Pencipta, yaitu aturan Islam, karena Islam adalah agama yang paling sempurna yang bisa menyelesaikan segala permasalahan yang ada saat ini.
Oleh sebab itu, pelindungan pekerja seperti ART hanya terealisasi dalam penerapan Islam secara kaffah di bawah institusi Islam. Islam memandang transaksi ijarah antara pekerja dan pemberi kerja adalah hubungan yang terikat antara aturan Allah dan Rasul-Nya. Paradigma ini akan membuat ART terhindar dari kezaliman.
Dalam Islam, upah ditentukan berdasarkan manfaat yang diberikan pekerja kepada para pemberi kerja, baik manfaat itu lebih besar daripada kebutuhan hidup atau lebih rendah.
Penetapan upah merupakan kesepakatan antara pekerja dan pemberi kerja. Bukan hanya besaran upah ketentuan jenis pekerjaan, waktu bekerja dan tempat bekerja sudah jelas dalam kesepakatan awal. Jenis pekerjaan dan lain-lain bukan hanya sesuatu yang samar dan berpotensi memunculkan tindakan zalim. Tak hanya sampai situ, majikan atau perusahaan wajib memberikan upah dan hak-hak buruh sebagaimana akad yang telah disepakati.
Negara pun wajib menyelesaikan permasalahan yang terjadi antara buruh dengan majikan/perusahaan. Negara tidak boleh berpihak pada salah satu pihak. Akan tetapi, negara harus menimbang dan menyelesaikan permasalahan secara adil sesuai dengan ketentuan syariat Islam.
Negara pun memiliki sanksi yang tegas dan menjerakan bagi para pelaku kezaliman. Khilafah memiliki tanggung jawab untuk menciptakan kesejahteraan seluruh rakyat.
Perempuan, anak, lansia diposisikan sebagai pihak yang wajib ditanggung nafkahnya oleh walinya. Jaminan kesejahteraan dan perlindungan diberlakukan untuk semua anggota masyarakat dalam khilafah.
Sabda Rasulullah Saw,
“Imam (khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia akan bertanggungjawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR. Al-Bukhari).
Lapangan pekerjaan dalam negara Islam akan terbuka sangat luas, sebab penerapan konsep kepemilikan berdasarkan sistem ekonomi Islam telah melarang individu atau swasta menguasai harta milik umat. Sehingga, lapangan kerja akan melimpah ruah dan negara akan memiliki banyak perusahaan milik negara sehingga mampu menyerap tenaga kerja dalam negeri dalam jumlah yang besar. Wallahu a’lam bis shawwab.
Oleh: Hamsia
(Pegiat Opini)