Zalim, Pajak Akan Naik Lagi - Tinta Media

Rabu, 14 Februari 2024

Zalim, Pajak Akan Naik Lagi


Tinta Media - Zalim, sepertinya penguasa tak akan berhenti menekan rakyat dengan pajak sampai benar-benar tak berdaya. Wacana Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan menaikkan pajak kendaraan bermotor Bahan Bakar Minyak (BBM) akan menambah beban rakyat Indonesia. Pasalnya, motor menjadi barang pokok masyarakat, terutama untuk kelas menengah ke bawah. Jadi, kenaikan pajak ini pasti akan menzalimi rakyat, meski alasan kenaikannya adalah untuk memperbaiki kualitas udara di Jabodetabek sebagaimana dilansir cnnindonesia.com (19/1/2024). Namun, benarkah kualitas udara di Jabodetabek bisa lebih baik setelah pajak naik? 

Alasan tersebut seolah mengada-ada, padahal pajak dan kualitas udara tidak ada hubungannya. Kalaupun ada karena diharapkan bisa mendorong masyarakat menggunakan kendaraan berbahan non-BBM, dampaknya sangat kecil. Hal itu karena penyebab buruknya udara bukan hanya kendaraan bermotor, tetapi juga adanya kebakaran hutan dan lahan gambut, asap industri, bahkan emisi gas rumah kaca dan yang lainnya. Jadi, kenaikan pajak dengan alasan untuk memperbaiki kualitas udara tidak masuk akal, apalagi tidak diimbangi dengan pengadaan kendaraan bermotor dengan bahan bakar non-BBM. 

Lepas dari kenaikan pajak kendaraan bermotor, ternyata pemerintah memang berencana menaikkannya dari 11% menjadi 12% di semua aspek. Pajak memang menjadi sumber pendapatan utama APBN Indonesia yang menjalankan sistem kapitalis. Itu artinya, pemerintah membiayai kepengurusan negara dan rakyat dengan pajak. Dengan kata lain, pemerintah lepas tanggung jawab dan menyerahkan semua kepengurusan kepada rakyat sendiri. Ini namanya zalim. 

Memungut pajak untuk melayani rakyat adalah kezaliman, kenapa? Jika diibaratkan pemerintah adalah kepala rumah tangga yang wajib membiayai kebutuhan keluarga, sekolah anak-anaknya, kesehatannya, gizi, pakaian, dan lain sebagainya, lalu semua anggota keluarga ditarik pajak untuk memenuhinya, ini kan aneh. Apalagi jika ada anggota keluarga yang masih anak-anak, lalu diminta untuk bisa membiayai kebutuhannya sendiri. Ia sendiri tidak berusaha menjalankan kewajiban sebagai kepala rumah tangga. Mestinya kepala rumah tangga mencari pemasukan dengan bekerja, mencari nafkah untuk keluarga. 

Nah, itulah yang terjadi pada negara-negara kapitalis, termasuk Indonesia saat ini. Negara menganggap bahwa hidup bukan untuk mengurus, membiayai, menafkahi rakyat, tetapi justru untuk memeras mereka dengan berbagai pungutan untuk kepentingan negara bahkan penguasa sendiri. 

Mestinya pemerintah berupaya mendapatkan pemasukan dari selain pajak, misalnya dari pengelolaan sumber daya alam, hutan, laut yang memang telah Allah berikan untuk kesejahteraan umat. Tidak seharusnya pemerintah menyerahkan pengelolaan SDA ke tangan swasta, apalagi asing. Pada akhirnya, para investor itulah yang mendapatkan keuntungan lebih besar dari pada negara dan rakyat Indonesia yang notabene sebagai pemilik. 

Jika SDA dikelola oleh negara dengan baik, rakyat tidak perlu dibebani pajak. Akan tetapi, begitulah hidup di negara yang menjalankan sistem kapitalis, sangat berbeda dengan sistem Islam. 

Dalam sistem Islam, memang dibolehkan pungutan pajak, tetapi dengan beberapa syarat. Pajak yang dibolehkan syari'ah harus memenuhi empat  kriteria (syarat) utama: 

Pertama, pajak dipungut hanya untuk melaksanakan kewajiban  syar’i yang menjadi kewajiban bersama antara kewajiban  negara (Baitul Mal) dan kewajiban kaum muslimin secara  umum. 

Kedua, pemungutan pajak bersifat temporal, tidak tetap, dan berkelanjutan, tetapi hanya ketika harta pada kas negara kosong atau tidak mencukupi kebutuhan. 

Ketiga, pajak hanya dipungut dari kaum muslimin, tidak  boleh dipungut dari warga nonmuslim. 

Keempat, pajak hanya dipungut dari warga yang mampu, tidak boleh dibebankan pada semua orang, apalagi rakyat miskin. 

Apabila negara menarik pajak tanpa memenuhi syarat di atas, misalnya untuk sesuatu yang tidak diwajibkan Allah, tidak ada dalil dari Al-Qur’an dan hadis, maka penguasa telah zalim terhadap rakyat. Hukumnya haram. 

Pelaku pemungutan pajak semacam ini kelak akan masuk neraka sebagaimana sabda Rasulullah yang artinya, 

“Tidak akan masuk surga, siapa saja yang memungut pajak/cukai (yang tidak syar’i).” (HR. Ahmad dan Al-Hakim). 

Kesimpulannya, selama negara masih menjalankan sistem kapitalis, pajak akan diberlakukan secara zalim kepada semua individu rakyatnya. Jadi, jika ingin menjalani kehidupan Islam secara kaffah, maka harus diawali dengan menerapkan sistemnya oleh negara. Sudah saatnya sistem kapitalis demokrasi yang jelas nyata kezalimannya diganti dengan sistem Islam yang memang datang dari Allah dan pernah diterapkan dengan gemilang di masa Rasulullah, dilanjutkan era kekhilafahan. Allahu ‘alam bish shawab.


Oleh: R. Raraswati
(Aktivis, Penulis lepas) 
Rekomendasi Untuk Anda × +

Bagikan artikel ini

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini.

Artikel Menarik Lainnya :