Tinta Media - Film dokumenter eksplanatory "Dirty Vote" menghebohkan masyarakat Indonesia. Pasalnya, Film ini berisi data, analisis, bedah, dan kritik terhadap pelaksanaan sistem demokrasi dan Pemilu di Indonesia yang terjadi dalam beberapa tahun belakangan, khususnya jelang Pemilu 14 Februari 2024. Film besutan sutradara Dandhy Dwi Laksono berdurasi 117 menit ini, sudah ditonton hampir lima juta orang di Youtube pada sehari pertama perilisannya.
Dalam film ini, dikritik masalah-masalah mendasar dalam demokrasi dan Pemilu di Indonesia, Mulai dari soal penyalahgunaan kekuasaan, mobilisasi birokrasi hingga manipulasi politik yang tampaknya telah dianggap sebagai hal lumrah. Tiga pakar hukum tata Negara ditampilkan, masing-masing Dr. Zainal Arifin Mochtar dari UGM, Dr. Feri Amsari dari Universitas Andalas dan Dr. Bivitri Susanti dari Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, dengan harapan meningkatkan kesadaran publik serta demi adanya perbaikan penyelenggaraan Pemilu ke depan.
Ketiga pakar ini menyoroti banyak persoalan, di antaranya data penyelewengan dana desa serta distribusi bantuan sosial menjelang Pemilu yang semakin meningkat. Muncul kecurigaan dana desa tidak digunakan sepenuhnya untuk kesejahteraan rakyat, melainkan dimanfaatkan untuk mendulang suara Pemilu. Hal ini juga menimbulkan dugaan penyalahgunaan bantuan sosial dengan menjadikannya sebagai alat politik menjelang Pemilu. Distribusi bantuan sosial sering kali tidak tepat sasaran dan hanya dimaksudkan sebagai strategi populis untuk meraih dukungan. Dalam film ini juga dikritik mobilisasi massal yang dilakukan kepala desa untuk menuntut revisi UU Desa agar anggaran desa ditingkatkan. Persoalan ini pun dinilai sekadar memanfaatkan momentum politik menjelang Pemilu untuk mencari keuntungan pribadi dan kelompok.
Masih soal menggunakan harta milik negara, selain banyaknya menteri dan pejabat pemerintahan yang diduga terlibat kampanye, meski seharusnya mereka bersikap netral sebagai pelayan publik, banyak di antara para pejabat itu yang terindikasi kuat menyalahgunakan kewenangan dan fasilitas negara untuk kepentingan kampanye. Contohnya penggunaan pesawat militer dan mobil dinas untuk keperluan kampanye Pemilu. Padahal dalam Undang-Undang, pejabat negara tidak boleh ikut menjadi tim kampanye politik kecuali terlebih dahulu mengambil cuti serta sama sekali tidak boleh menggunakan fasilitas negara.
Selain itu, penunjukan 20 PJ Gubernur dan 82 PJ Walikota/Bupati oleh Presiden dianggap sebagai praktik politik balas budi dan menciptakan loyalitas pada petahana yang mendukung anaknya sebagai cawapres. Rendahnya independensi lembaga penyelenggara dan pengawas pemilu seperti KPU dan Bawaslu juga disoroti. Lembaga ini sering dianggap hanya menjadi corong kepentingan penguasa dan tidak bersikap netral serta independen. Dalam hal verifikasi partai politik tertentu misalnya, ada partai yang tidak memenuhi syarat namun tetap diloloskan menjadi peserta Pemilu. Termasuk soal penanganan pelanggaran kampanye yang marak terjadi.
Independensi MK yang notabene berperan sebagai pengawal demokrasi juga menjadi sorotan. Bagaimana tidak, Ketua MK, Anwar Usman dianggap memberi perlakuan istimewa pada perkara perubahan syarat usia calon Presiden. Ia diduga memiliki konflik kepentingan karena keponakannya mencalonkan diri sebagai cawapres. Selain itu, ada dugaan transaksi politik di balik putusan MK ini.
Semua hal yang disajikan dalam Film Dirty Vote sebenarnya tidak ada yang baru atau mengejutkan. Bagi mereka yang sudah malang melintang dalam mengamati perpolitikan, terutama yang hidup pada masa orde baru, praktik menghalalkan segala cara demi kepentingan pribadi, keluarga, dan kelompok bukan sesuatu yang asing. Pada masa rezim Suharto, usaha melanggengkan kekuasaan ditempuh dengan cara dibuatnya aturan berisi kewajiban setiap pegawai negeri memilih partai penguasa di setiap Pemilu dan penggunaan strategi dwifungsi ABRI. Selain mengurus keamanan dan pertahanan, seluruh jabatan elite dalam politik diisi petinggi ABRI, sehingga mereka loyal kepada Presiden.
Sebenarnya, apa pun jenis sistem demokrasi yang diterapkan sejak orde lama, orde baru hingga orde reformasi, substansinya tetap sama yakni kedaulatan di tangan manusia yang menjadi pilar dasarnya. Sistem ini tegak atas asas sekularisme (memisahkan agama dari mengatur urusan bermasyarakat dan bernegara). Manusialah yang diberi hak membuat aturan. Satu macam aturan Islam saja jika ingin diterapkan, demokrasi memberi syarat harus ikut dan menang voting dulu, dan itu prosesnya sangat lama. Padahal masih banyak syariat lainnya. Sikap seorang hamba seharusnya sami’na wa ato’na (dengar dan taat) pada perintah menerapkan syariat, bukan malah memberi syarat.
Jika dalam demokrasi aturan bisa dibuat sesuai selera manusia (elite politik) lewat DPR atau MK, dalam sistem Islam, Khalifah tidak boleh membuat aturan yang bertentangan dengan syariat Islam. Khalifah atau pejabat yang melakukan KKN disiapkan hukuman penjara dalam waktu yang sangat lama hingga hukuman potong tangan dan kaki secara bersilangan dan bisa sampai hukuman mati. Berbeda dengan demokrasi, bukan rakyat yang memberhentikan Khalifah dalam sistem Islam. Khalifah akan diberhentikan oleh Qadhi Madzalim jika Khalifah melanggar syariat.
Ada tiga pilar agar sistem Islam tetap tegak. Pertama, individu-individu muslim yang bertaqwa maupun non-muslim yang taat aturan Negara. Kedua, adanya kelompok yang melakukan kontrol atau amar ma’ruf nahi munkar. Ketiga, Negara yang menerapkan syariat/hukum Islam. Adapun demokrasi, tidak memberi kesempatan untuk penerapan syariat Islam yang bersifat komunal, hanya membolehkan (bahkan seharusnya mewajibkan) sebagian penerapan pada kewajiban individual seperti shalat, haji atau puasa. Akibatnya lahirlah masyarakat yang perasaan, peraturan dan pemikirannya tidak sesuai Islam. Sehingga merekapun dipimpin oleh pemimpin yang tidak bertaqwa dengan ketaqwaan hakiki.
Oleh karena itu, isi Film Dirty Vote sesungguhnya hanya menunjukkan wajah demokrasi sebenarnya. Pragmatisme sudah menjadi bagian (built in) dari sistem ini. Keuntungan material jadi target utama tanpa mempertimbangkan halal atau haram. Karakter asli demokrasi adalah sekuler, yakni memisahkan agama dari urusan bernegara. Kedaulatan yang seharusnya di tangan Syara’ (hukum-hukum Allah), dalam demokrasi diserahkan kepada rakyat. Walaupun pada faktanya, yang berdaulat adalah segelintir elite partai politik yang juga tunduk pada kapitalis/oligarki (pemilik modal). Ketergantungan mereka pada kapitalis disebabkan besarnya biaya politik yang dibutuhkan untuk menjabat dalam sistem demokrasi. Akibatnya lahirlah kebijakan-kebijakan yang tidak menguntungkan rakyat. Kebijakan dibuat hanya didasarkan kepentingan para pemilik modal dan demi mempertahankan jabatan semata. Hal ini seharusnya membuat kita sadar bahwa persoalan-persoalan yang terjadi, bukan disebabkan oleh pelaksanaan demokrasi yang keliru, melainkan karena konsep demokrasi sesungguhnya memang hanya ilusi belaka. []
Oleh: Sujarwadi Suaib, S.H.I
(Ketua LBH Pelita Umat Korwil Kepton)