Tinta Media - Pembangunan infrastruktur di Indonesia belakangan ini semakin pesat. Salah satunya adalah pembangunan jalan tol atau yang biasa kita sebut dengan jalan bebas hambatan.
Jalan tol sendiri adalah jalan yang dikenakan 'tol' sebuah akronim dari "Tax on Location", yaitu biaya yang dikenakan atas kendaraan yang melalui satu jalan. Biasanya, biaya tersebut digunakan untuk ongkos perawatan dan pengoperasian jalan tersebut.
Kabar terbaru terdapat kenaikan tarif tol. Sebagaimana diberitakan oleh KOMPAS.com (15/01/24), sebanyak 13 ruas jalan tol rencananya akan mengalami kenaikan tarif pada kuartal I-2024. Itu termasuk ruas-ruas tol yang jadwal penyesuaian tarifnya pada tahun 2023, tetapi masih dalam proses, sehingga tetap akan disesuaikan pada tahun 2024. Selain itu, penyesuaian tarif tol juga dibutuhkan untuk memastikan iklim investasi jalan tol yang kondusif, menjaga kepercayaan investor dan pelaku pasar terhadap industri jalan tol yang prospektif di Indonesia, serta menjamin level of service pengelola jalan tol tetap sesuai dengan SPM (Standar Pelayanan Minimal) jalan tol.
Pemerintah mengaku akan memberlakukan kenaikan tarif tol secara bertahap. Adapun aturan terkait penyesuaian tarif tol sebelumnya telah ditetapkan dalam Undang-undang Jalan No. 2 th. 2022, tentang perubahan Kedua atas Undang-undang No. 38 th. 2004 tentang Jalan. Dalam Pasal 48 Ayat 3 tertulis bahwa evaluasi dan penyesuaian tarif tol dilakukan setiap 2 tahun sekali, berdasarkan pengaruh laju inflasi dan evaluasi terhadap pemenuhan SPM jalan tol.
Kapitalisme: Negara dan Rakyat Layaknya Pedagang dan Pembeli
Kenaikan tarif tol di beberapa tempat menunjukkan adanya komersialisasi jalan tol di negara ini. Padahal, adanya jalan bebas hambatan seharusnya memudahkan masyarakat dalam beraktivitas, terlebih jalan tol juga dibutuhkan dalam peningkatan layanan barang dan jasa untuk menunjang pertumbuhan ekonomi. Namun, tak bisa dimungkiri bahwa adanya kenaikan tarif tol justru akan menambah beban masyarakat.
Hal tersebut tidak aneh mengingat negara ini menganut paradigma kapitalisme yang menjadikan materi sebagai tujuan negara. Bahkan, pembangunan fasilitas umum dalam sistem kapitalis didasari pada kepentingan bisnis yang berorientasi pada untung rugi. Konsep liberalisasi ekonomi kapitalis juga menyebabkan adanya pelegalan komersialisasi kebutuhan dan kepemilikan publik, termasuk fasilitas umum, seperti jalan, bandara, pelabuhan, rel kereta, dll.
Karena itu, wajar jika keran investasi terbuka lebar dalam sistem kapitalisme-liberal. Investor swasta dan asing dipersilakan dan disambut hangat oleh pemerintah. Adapun dalih pemerintah mengundang para investor dalam pembangunan infrastruktur negara adalah karena pendanaan negara tidak mencukupi. Dengan kata lain, terdapat keterbatasan anggaran dalam pembangunan nasional.
Sejatinya sukar dipercaya jika negara ini mengaku mengalami keterbatasan anggaran dalam melakukan pembangunan infrastruktur, mengingat kekayaan alam yang dimiliki Indonesia sangat melimpah. Namun sayangnya, akibat sistem kapitalisme-liberal, negara membiarkan SDA yang ada dikelola oleh swasta dan asing. SDA yang seharusnya menjadi sumber utama pemasukan negara justru diprivatisasi oleh para oligarki. Negara akhirnya mencukupkan diri mendapat secuil keuntungan yang berasal dari pajak korporasi. Alhasil, rakyatlah yang paling dirugikan, karena harus menanggung beban pajak yang diwajibkan atas mereka.
Fakta di atas menjadi gambaran jelas bahwa hubungan rakyat dan penguasa dalam sistem kapitalisme-liberal tak lebih layaknya hubungan bisnis atau dagang. Negara jelas-jelas abai dalam memenuhi tanggung jawab terhadap rakyat.
Islam Jamin Kebutuhan Umat
Islam sebagai agama sekaligus sistem kehidupan memiliki aturan yang sempurna dalam mengatur kehidupan manusia. Sistem Islam dengan daulah khilafahnya akan menerapkan seluruh syariat tanpa terkecuali. Pemimpin dalam khilafah (khalifah) wajib menjamin kebutuhan rakyat. Hal ini mengingat bahwa khalifah memiliki tugas untuk riayah suunil ummah (mengurus seluruh urusan umat), termasuk dalam menyediakan fasilitas umum yang dibutuhkan rakyat.
Jalan raya, bandara, pelabuhan, rel kereta merupakan beberapa umum yang wajib disediakan oleh negara tanpa membebani rakyat dengan pungutan biaya apa pun. Itu semua diberikan oleh negara secara gratis.
Jalan adalah fasilitas milik umum dan negara dilarang untuk mengomersialisasikan kebutuhan rakyat. Ini karena paradigma yang dimiliki oleh daulah khilafah adalah melayani masyarakat, bukan berorientasi pada bisnis materi atau untung-rugi, seperti yang terjadi dalam sistem kapitalisme-liberal.
Negara dalam sistem Islam akan menjamin kebutuhan rakyat, termasuk dalam bidang transportasi, penyediaan sarana maupun prasarana terbaik yang memungkinkan umat dapat beraktivitas dengan aman dan nyaman.
Dengan potensi kekayaan alam yang melimpah dan pengelolaan SDA secara mandiri oleh daulah khilafah, maka dipastikan bahwa kas negara akan mencukupi dalam melakukan pembangunan infrastruktur dengan menggunakan teknologi mutakhir, tanpa terhambat dengan kondisi keterbatasan anggaran. Kalaupun ternyata baitul mal dalam kondisi yang tidak mencukupi, maka khalifah akan segera menetapkan kebijakan pemungutan dharibah (pajak) yang bersifat sementara sampai kondisi kembali normal.
Dharibah hanya akan dipungut dari harta kaum muslimin yang kaya setelah pemilik harta memenuhi kebutuhannya seperti biasa. Daulah khilafah tidak akan berutang pada negara di luar daulah ataupun membuka keran investasi, baik dari swasta maupun asing untuk masuk dalam proyek pembangunan infrastruktur daulah. Dengan begitu, negara akan bebas dari intervensi pihak mana pun, sehingga kedaulatan daulah akan tetap terjaga.
Demikianlah mekanisme daulah khilafah dalam menjamin kebutuhan masyarakat. Hanya khilafah sajalah yang mampu mewujudkan pembangunan infrastruktur tanpa membebani rakyat. Wallahu a'lam bi ash-shawab.
Oleh: Wiwit Irma Dewi, S.Sos.I.
Pemerhati Sosial dan Media