Tinta Media - Pemilihan umum (pemilu) pada 14 Februari 2024 menyisakan euforia dan disforia bagi sebagian besar rakyat Indonesia. Euforia bila calonnya menang, sebaliknya disforia jika ternyata calonnya kalah. Hasilnya? Terjadilah pergantian presiden dan wakil presiden. Akan tampil pula wajah-wajah baru menduduki kursi legislatif. Terjadilah sirkulasi kekuasaan.
Lalu, apakah pergantian pemimpin berpengaruh pada nasib rakyat? Tampaknya tidak. Buktinya belum genap satu pekan sejak terunggul berdasarkan quick count berbagai lembaga survei, paslon 02 (Prabowo-Gibran) menyatakan bakal memangkas anggaran subsidi BBM untuk merealisasikan program unggulan yang mereka janjikan, termasuk makan siang gratis dan susu gratis, CNN Indonesia (16/2/2024).
Apakah rakyat merasa ‘diakali’? Tentu saja! Hal ini karena dalam persepsi sebagian besar pemilih paslon 02, mereka akan dengan mudah mendapatkan makan siang gratis dan susu gratis tersebut tanpa kompensasi apa pun. Rakyat yang buta politik dan berpikiran pragmatis mungkin tidak mengerti bahwa janji-janji saat kampanye belum tentu dengan mudah dapat direalisasikan oleh paslon.
Meski paslon 02 berdalih bahwa program ini adalah program strategis guna mengurangi kemiskinan serta mengatasi ketimpangan ekonomi, tetapi masalahnya adalah terletak pada idealisme apa yang melatarbelakangi mereka menjanjikan hal itu. Ini penting karena terkait tujuan luhur yang ingin dicapai oleh negara.
Sistem ekonomi kapitalisme yang diterapkan di negeri ini memandang bahwa kebutuhan hidup manusia hanya sebatas needs (kebutuhan) dan goods (alat pemuas kebutuhan). Maka, di kala rakyat miskin lapar, di situlah bantuan sosial (bansos) dan janji pemberian makan gratis digaungkan. Ini kemudian terbukti berhasil mengerek elektabilitas paslon 02.
Namun, sebelum program-program yang dijanjikan terealisasi, rakyat terlebih dahulu harus menelan pil pahit rencana kenaikan harga Pertalite dan gas elpiji 3 kg.
Wakil Ketua TKN 02 Eddy Soeparno pada Bloomberg menegaskan bahwa tidak sembarang orang bisa membeli Pertalite dan elpiji 3 kg.
Jadi, subsidi energi dikurangi untuk memberi makan siang gratis. Di sini tampak jelas rakyat dirugikan. Ini karena program makan gratis akan dilakukan bertahap hingga 2029 dan diperuntukkan bagi kalangan tertentu. Sedangkan kenaikan harga BBM dan elpiji akan dilaksanakan di awal dan untuk seluruh rakyat.
Intrik-intrik politik dan kecurangan dalam pemilu sesungguhnya telah jelas terbaca oleh banyak kalangan. Karenanya, orang-orang yang telah sadar akan hal ini lebih memilih tidak berpartisipasi dalam pemilu. Mereka menjadi golput (golongan putih) di antaranya karena tidak meyakini bahwa pemilu dapat menghasilkan perubahan yang hakiki.
Hal ini karena sesungguhnya perubahan hakiki mustahil diraih di dalam sistem yang terbukti bobrok. Jadi, kalau mau melakukan perubahan, harus tahu dahulu tujuannya. Dari situ barulah dapat dirancang visi dan misinya, yaitu naik kendaraan apa untuk menuju tujuan.
Jika mobil sudah mogok karena sangat bobrok, maka harusnya ditinggalkan, ganti dengan mobil yang baru. Bukan tetap dengan mobil mogok, tetapi memimpikan sampai tujuan.
Demokrasi ibarat mobil bobrok yang meniscayakan negara hanya menjadi instrumen kepentingan bisnis para korporat. Ini terbukti dari banyaknya keputusan politik yang mengabdi pada pemilik modal (oligarki), bukan pada rakyat. Karenanya, wajar jika sebagian rakyat memilih golput. Contohnya pada Pemilu 2014, pemilih golput mencapai 58.610.000 orang, nyaris menyamai perolehan pemenang Pemilu saat itu (70.633.576 suara).
Sepatutnya rakyat menyadari betul bahwa kita adalah pemilik kekuasaan, karena kita adalah pihak yang memilih pemimpin. Namun, yang banyak tidak dipahami adalah bahwa kedaulatan (penetapan hukum dan peraturan negara) bukan di tangan kita, bukan pula di tangan pemimpin. Penentu peraturan adalah Allah Swt.
“Innil hukmu illa lillah.” (QS al-An’am:57)
Maka, pemilu yang hanya memilih pemimpin, tetapi tidak mengganti sistem negara dari demokrasi yang bobrok menjadi sistem Islam yang cemerlang tentu hanya akan menghasilkan kondisi yang sama.
Maka, terserah pada kemauan rakyat, ingin meraih perubahan hakiki atau tetap dalam kondisi terpuruk. Satu hal yang pasti, kemauan tersebut butuh persatuan dan tekad yang kuat. Jika rakyat lemah dan masih tercerai-berai oleh kepentingan masing-masing, jangan harap kondisi akan berubah. Jadi, golput harus disertai dengan mengubah sistem agar aktivitas golput bisa menjadi solusi. []
Oleh: Dewi Purnasari
Aktivis Dakwah Politik