Tinta Media - Harga beras kembali meroket. Harga beras medium sudah mendekati Rp14.000 per kg dan beras premium nyaris Rp16.000 per kg.
Sepekan lalu, (5/2/2024), harga beras premium masih di kisaran Rp15.500 per kg dan beras medium di Rp13.620 per kg. Harga tersebut sudah jauh melampaui harga eceran tertinggi yang ditetapkan pemerintah, berkisar Rp10.900-Rp11.800 per kg medium dan Rp13.900-14.800 per kg premium, tergantung zona masing-masing. (cnbcindonesia.com, 12/02/2024)
Melansir dari Kompas.com, pada Januari lalu, Wakil Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus Bareskrim Polri Kombes Pol Samsul Arifin mengatakan bahwa pihaknya sudah meminta Satuan Tugas (Satgas) Pangan di kepolisian daerah untuk mengantisipasi upaya penimbunan pangan di daerah, juga memeriksa kondisi pasar dan perkembangan di distributor. Polri juga bekerja sama dengan kementerian dan lembaga terkait untuk melakukan operasi pasar supaya harga pangan di sisi produsen dan distributor tidak terlalu berbeda jauh.
Kenaikan harga pangan yang terus berulang akan berakibat pada semakin sulitnya kehidupan masyarakat. Ibu rumah tangga harus menggerus tabungan untuk memenuhi kebutuhan pangan dan gizi keluarganya, termasuk anak-anaknya. Para pengusaha UMKM makanan juga akan kena dampak lantaran naiknya harga jual dan sepinya pembeli yang mengakibatkan terjadinya kerugian.
Kondisi ini sejatinya menunjukkan kurangnya peran negara dalam memenuhi kebutuhan pangan rakyat. Pasalnya, pemerintah hanya mencukupkan diri dengan upaya stabilisasi harga pangan melalui pelaksanaan operasi pasar.
Satgas pangan memang diperlukan untuk mengawasi tindakan-tindakan curang di pasar yang berefek merusak harga pasar. Akan tetapi, solusi ini sejatinya tidak menyentuh akar persoalan karena kenaikan harga pangan yang seolah sudah membudaya di negeri ini. Saking seringnya terjadi, kini masyarakat sudah terbiasa dengan hal tersebut dan menganggapnya sebagai perkara lumrah.
Kondisi masyarakat seperti ini tidak boleh dibiarkan sebab pemenuhan kebutuhan pangan dengan harga yang terjangkau merupakan salah satu tugas utama negara.
Pembentukan SDM berkualitas sangat dipengaruhi oleh kemampuan masyarakat dalam mengakses bahan pangan. Sesungguhnya, persoalan kenaikan harga pangan disebabkan oleh penerapan sistem kapitalisme. Negara hanya bertindak sebagai regulator atau pembuat aturan saja serta fasilitator. Alhasil, negara berlepas tangan dari tanggung jawab dalam memenuhi kebutuhan pangan seluruh rakyat. Pemenuhan kebutuhan pangan pun diambil alih oleh pihak swasta atau korporasi, mulai dari sektor produksi, distribusi, hingga konsumsi.
Harga pangan di negeri ini berada di bawah kendali para korporasi yang mendapatkan keuntungan besar darinya. Hal itu tampak dari hasil riset Greenpeace Internasional atas keuntungan 20 korporasi agribisnis di seluruh dunia dalam kurun 2020-2022.
Perusahaan-perusahaan itu ternyata memiliki kendali yang semakin kuat atas sistem pangan global dan berhasil meraup keuntungan fantastis. Ini terlihat dari total deviden mereka pada 2020 dan 2021 senilai 53,5 miliar US Dollar. Oleh karena itu, selama tata kelola pangan masih menggunakan konsep kapitalisme yang menghilangkan peran negara, stabilitas harga pangan mustahil terwujud.
Kestabilan harga pangan dan terjangkaunya oleh masyarakat hanya bisa terwujud dalam penerapan Islam secara kaffah di bawah institusi khilafah Islamiyah. Negara dalam Islam berperan sebagai raa'in (pengurus umat) dan junnah (pelindung). Hal ini ditegaskan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dalam sabdanya:
"Imam atau khalifah adalah raa'in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab terhadap rakyatnya." (HR. Ahmad, Bukhari)
"Imam (khalifah) itu adalah perisai tempat orang-orang berperang di belakangnya dan berlindung kepadanya." (HR. Muslim)
Dalam Islam, negara bertanggung jawab menjamin pemenuhan kebutuhan pokok rakyat. Salah satunya dengan memenuhi kebutuhan pangan dalam jumlah memadai dan berkualitas bagi seluruh rakyat, serta memastikan rakyat mampu menjangkau harganya.
Inilah salah satu gambaran peran negara dalam Islam sebagai pengurus urusan umat. Negara wajib menjalankannya dengan sungguh-sungguh dan amanah. Selain itu, negara wajib menghilangkan hegemoni korporasi dalam menguasai rantai penyediaan pangan rakyat untuk mencari keuntungan besar, sebab hal tersebut termasuk dharar (bahaya) yang wajib dihilangkan.
Dalam menjaga stabilitas harga pangan, khilafah akan menerapkan beberapa kebijakan yang dituntun oleh syariat Islam di antaranya:
Pertama, negara akan menjaga ketersediaan stok pangan sehingga terjadi kestabilan supply and demand. Hal ini dilakukan negara dengan menjamin produksi pertanian di dalam negeri agar berjalan maksimal, baik dengan intensifikasi maupun ekstensifikasi pertanian. Jika optimalisasi penyediaan pangan dalam negeri sudah dilakukan, tetapi stok belum memenuhi, maka kebijakan impor bisa dipilih negara. Namun, impor dilaksanakan mengikuti koridor syariat.
Kedua, negara akan menjaga rantai tata niaga atau perdagangan, yaitu dengan mencegah dan menghilangkan segala bentuk distorsi pasar seperti penimbunan, praktik tengkulak, kartel, riba, dan sebagainya.
Negara akan menegakkan sistem sanksi yang tegas dan berefek jera bagi yang melanggar sesuai aturan Islam. Negara memiliki Qodli Hisbah yang bertugas mengawasi tata niaga di pasar dan menjaga agar bahan makanan yang beredar adalah makanan yang halal dan tayyib.
Ketiga, negara akan menjaga ketakwaan masyarakat dengan terus melakukan edukasi tentang syariat bermuamalah, hal ini akan menghindarkan masyarakat dari mudarat atau bahaya.
Sungguh, hanya penerapan syariat Islam kaffah dalam institusi khilafah yang mampu mewujudkan kestabilan harga pangan di tengah masyarakat hingga bisa dijangkau oleh seluruh masyarakat. Wallaahu A'lam bis shawaab.
Oleh: Nur Itsnaini Maulidia
(Aktivis Dakwah)