Tinta Media - Hari Peduli Sampah Nasional (HPSN) sekaligus Hari Sampah Sedunia bertepatan di 21 Februari 2024. Di tahun ini, tema yang diangkat adalah tentang sampah plastik. Persoalan sampah ini masih terus menjadi masalah serius, baik nasional maupun internasional. Pencemaran sampah plastik saat ini telah menjadi isu global, karena sifatnya melewati batas negara.
Indonesia menyumbang 12,87 juta ton sampah plastik pada 2023. Darurat sampah masih terjadi di sejumlah daerah, salah satunya Bandung. Volume sampah yang awalnya sekitar 1.300 ton menjadi sekitar 900 ton. Meskipun ada penurunan volume sampah, tetapi penanganannya tetap saja kurang maksimal.
Sementara itu, truk kontainer yang telah diangkut dari TPS Kota Bandung ke TPA Sarimukti sering berfluktuasi. Rosa Vivien, Dirjen Pengelolaan Sampah, Limbah dan B3 Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengatakan bahwa Indonesia punya target pengurangan sampah plastik ke laut, yaitu 70% pada 2025.
Sampah plastik yang sulit diurai merupakan produk turunan bahan bakar fosil telah mencemari setiap bagian lautan di permukaan hingga dasar, dari kutub hingga area khatulistiwa.
Sampah ini ternyata membahayakan kesehatan dan keselamatan hewan laut.
Kelomang, hewan kecil yang berlindung di dalam cangkang siput, kini mulai beralih ke sampah plastik sebagai cangkang pengganti. Sebuah laporan dalam journal Scince of the Total Environment, menebarkan 386 individu kelomang, 10 dari 16 spesies kelomang darat menggunakan cangkang buatan, terutama tutup botol plastik. Hal ini karena kekurangan cangkang alami yang tentu saja dampak polusi plastik terhadap kehidupan laut.
Hal yang cukup misterius, hasil penelitian dari tim ilmuwan internasional yang bekerja di kapal penelitian di Pantai Panama Amerika Tengah memperlihatkan bahwa mikroplastik mencemari lautan. Mikroplastik adalah sampah plastik yang masuk ke lautan yang akhirnya terurai menjadi fragmen-fragmen kecil yang berukuran kurang dari 5 milimeter. Mikroplastik ini bisa tertelan ikan konsumsi, yang akhirnya berpengaruh ke kesehatan tubuh manusia. Mikroplastik ternyata juga mengganggu kemampuan laut untuk mendinginkan bumi.
Akar permasalahan kerusakan lingkungan terletak pada sistem kapitalistik yang mengadidaya. Hal ini menjadikan masyarakat konsumtif dan pragmatis. Tentunya, gaya hidup ini menghasilkan sampah, tanpa mempertimbangkan kebutuhan dan dampak negatif ke lingkungan.
Perusahaan memanfaatkan peluang masyarakat yang konsumtif itu demi mengejar keuntungan materi, tetapi kurang peduli pada dampak limbah yang merusak lingkungan udara, tanah, bahkan laut dikarenakan melebihi batas normal.
Islam adalah din (agama) dan sistem yang memiliki perspektif tertentu mengenai manusia dan lingkungan. Manusia, sebagaimana tersurat dalam beberapa ayat al-Qur'an (Q.S At-Tin:4, Q.S Al-Mu'minun:12--14, Q.S Al-Insan:4) dan hadis adalah makhluk yang paling sempurna. Padanya diatributkan sebagaimana hamba Allah dan khalifah, termasuk yang dipercayakan untuk merawat alam semesta.
Sistem Islam mampu mengatasi permasalahan semua jenis sampah dengan melibatkan individu, masyarakat, sampai negara.
Pertama, negara akan mengedukasi individu dan masyarakat untuk hidup hemat, bersih, dan menjaga lingkungan, termasuk lingkungan laut. Hidup yang telah diedukasi ini didasarkan pada keimanan.
Kedua, negara menerapkan politik ekonomi Islam yang bertujuan menjamin kebutuhan pokok masyarakat, yakni kesehatan yang langsung diurusi oleh negara. Negara memberi sarana pembuangan sampah yang memadai dan pengangkutan yang cukup. Negara juga mendorong para ahli untuk menciptakan teknologi canggih dalam pengelolaan sampah.
Ketiga, negara menetapkan sanksi tegas yang mampu memberikan efek jera bagi pelaku pengrusakan lingkungan, baik individu maupun masyarakat, misalnya membuang sampah di daratan atau lautan secara sembarangan.
Dengan penerapan sistem Islam, maka permasalahan darurat sampah dapat terselesaikan dengan tuntas.
Oleh: Lulu Sajiah, S.Pi
Pemerhati Agro Maritim