Siapakah Pemenang Sesungguhnya dalam Demokrasi 2024? - Tinta Media

Rabu, 28 Februari 2024

Siapakah Pemenang Sesungguhnya dalam Demokrasi 2024?



Tinta Media - Gegap gempita pesta demokrasi memilih calon presiden dan wakil rakyat, 14 Februari 2024 serentak telah berlangsung di seluruh Indonesia. Prediksi kemenangan diantara Paslon presiden melalui penghitungan suara nyata (real count) atau penghitungan cepat (quick count) telah beredar di media masa. Bahkan Paslon nomor urut 2 (dua), Prabowo – Gibran  sudah menggelar pidato kemenangan Pilpres 2024   berdasar  hasil quick count bersama pendukungnya di Istora Senayan Jakarta, Rabu malam, 14 Februari 20024 (Liputan6.com). 

Berbicara kemenangan dalam setiap pesta demokrasi, sebenarnya siapakah yang dimenangkan? Pertama, apakah rakyat Indonesia selaku  pemegang kedaulatan tertinggi dalam sistim demokrasi? 

Jawabannya bukan,  rakyat hanya sebatas dijadikan sarana para ambisius kekuasaan untuk melenggang ke kursi kekuasaan. Secara mendasar rakyat belum memahami apa yang mereka lakukan, mereka hanya berpikir ikut berpartisipasi memberikan suara, mereka belum memahami dengan benar risiko akhir dari memberikan suaranya. Mereka hanya pokoke manut dan percaya dengan para kandidat tanpa melakukan penilaian mendalam terkait landasan dari visi dan misi kandidatnya. Kondisi ini terdapat pada pemilih dengan latar belakang pendidikan yang relatif kurang, hampir 60 persen pemilih berpendidikan maksimal setingkat SMP (Kompas.id, 2023).

Bagi pemilih yang terkategorikan pemilih cerdas dengan mengusung perubahan, ini pun tampak masih kabur dalam memaknai perubahan itu sendiri. Tidak adanya kejelasan dalam landasan visi perubahan dan metode untuk menjalankannya. 

Mereka tetap saja menggunakan kendaraan yang sama dari yang bukan pengusung perubahan, yakni gerbong politik demokrasi yang notabenya akan  mengikat siapa pun yang masuk di dalamnya untuk taat kepada rule domokrasi. Para pengusung slogan perubahan berkumpul dan berikat dengan alasan merasa memiliki kepentingan dan kemanfaatan yang sama, yakni isu perubahan. Sementara diantara mereka sendiri memiliki tujuan yang berbeda-beda. Setelah kepentingan diantara mereka terselesaikan, apakah kandidat mereka menang ataukah kalah berkompetisi, selanjutnya mereka akan berpisah dan kembali kepada habitatnya masing-masing.

Keadaan yang demikian dapat terjadi disebabkan kurangnya pemahaman politik secara global dari para pengusung perubahan. Pemahaman politik yang diketahuinya hanya berkutat kepada politik yang  diterapkan saat ini, yakni politik demokrasi. 

Keadaan tersebut terus dipertahankan dengan berbagai argumen pembenaran, seakan politik demokrasi adalah paling benar dan paling pas diterapkan di muka bumi ini. Padahal selain  itu terdapat  politik Islam yang sudah terbukti keunggulannya. Mereka enggan menengok kepada peradaban sebelum era demokrasi, ditambah lagi minimnya motivasi membaca dan mengkaji literatur fakta sejarah, bahwa pernah ada peradaban politik Islam yang masyhur dan  berkuasa sekitar 13.5 abad lamanya. Sebuah peradaban politik yang telah membawa perubahan besar terhadap kemajuan dunia dan kesejahteraan manusia.

Perlu diketahui andaikan para pengusung perubahan itu menang dalam kancah pesta demokrasi, hakikatnya perubahan hanya akan bisa dilakukan pada tatanan teknik saja, dan tidak akan pernah masuk pada perubahan tatanan yang bersifat mendasar, yakni asas demokrasi itu sendiri. Padahal pangkal perubahan  dan kebangkitan suatu bangsa, sangat tergantung dari asas politik yang diusungnya. 

Asas merupakan pijakan dalam menetapkan tujuan dan metode pelaksanaan dari politik itu sendiri. Politik demokrasi adalah politik dengan asas sekuler, yakni  pemahaman yang pemisahan agama dari urusan kehidupan.  Asas ini  menjadi landasan setiap pemikiran dan sikap pengemban atau pengusung demokrasi dalam menetapkan langkah politik untuk mencapai kekuasaan. Dalam konsep politik demokrasi tidak akan ada sandaran halal dan haram, yang ada bagaimana cara untuk memenangkan kekuasaan. Sekalipun terdapat rambu-rabu etika yang mengaturnya, toh pada faktanya tetap saja banyak pelanggaran politik yang terjadi selama proses berlangsung.

Kedua, apakah kemenangan pesta demokrasi adalah kemenangan umat Islam sebagai mayoritas pemilih? Jawabannya adalah tidak sama sekali. Umat Islam adalah umat yang paling dirugikan. Suara umat Islam lagi-lagi hanya dimanfaatkan untuk melanggengkan kekuasaan atau memperoleh kekuasaan. Kekalahan umat Islam yang paling fatal adalah tidak adanya Paslon yang mengusung untuk diterapkannya kembali aturan Allah Swt dan Rasul-Nya sebagai sumber aturan kehidupan dalam semua sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. 

Padahal  energi dan semua sumber daya umat telah terkuras, umat justru  terjebak kepada kepentingan penguasa atau kelompok tertentu. Seyogianya umat Islam tersadar,  bahwa perjuangan untuk perubahan dan kebangkitan umat hanya bisa dilakukan  bila landasan perjuangannya adalah asa akidah Islam. Sedangkan jalan perjuangan yang digunakan untuk mewujudkannya adalah dengan mengikuti (I’tiba) kepada jalan perjuangan Rasulullah, baik perjuangan beliau sebelum hijrah, setelah hijrah dan perjuangan setelah wafatnya Rasulullah dengan kepemimpinan para sahabat.

Ketiga, siapakah sesungguhnya yang dimenangkan dalam pesta demokrasi? Adalah mereka imperialis barat yang telah mengendalikan kekuasaannya melalui boneka-boneka kekuasaan di negeri ini. Mereka adalah pencetus, pengusung sekaligus penjaga demokrasi dunia melalui penjajahan politik dan ekonomi  negeri-negeri muslim, termasuk negeri muslim Indonesia. Demokrasi terlahir dari pemahaman sistim sekuler. Paham ini semenjak lahirnya diciptakan dengan mengusung kebebasan individu dalam semua bidang, termasuk politik dan ekonomi. 

Para penguasa ekonomi (oligarki) memainkan peran kunci dalam sistim ini. Mereka akan memanfaatkan kekuatan modal yang  mereka  miliki untuk menguasai, mempengaruhi, bahkan menekan para penguasa dalam menetapkan kebijakan-kebijakan  supaya pro dengannya. karenanya bila dicermati secara mendalam, kemenangan seorang calon penguasa dalam pesta demokrasi, sejatinya bukanlah pemenang yang sesungguhnya, mereka hanyalah representasi dari kemenangan imperialis barat penjajah negeri ini.

Konsep demokrasi sesungguhnya bertentangan dengan konsep Islam. Islam menstandarkan segala bentuk pemenuhan kebutuhan manusia, baik hajat hidup dan naluri adalah terikat dengan hukum syariat. Setiap muslim yang memenuhi ketentuan syariat berkesempatan sama dalam memperoleh kekuasaan untuk menjadi pemimpin/imam/khalifah. Kekuasaan dalam sistim Islam adalah ditangan rakyat yang kemudian kekuasaan tersebut diserahkan kepada seorang pemimpin /imam/khalifah melalui mekanisme bai’at. 

Penyerahan kekuasan rakyat kepada pemimpin/imam/khalifah adalah penyerahan amanat untuk menerapkan hukum Allah Swt. dalam kehidupan umat manusia. Karena kekuasaan ditangan rakyat, kewajiban memberikan teguran, nasihat dan pengawasan kepada pemimpin/imam/khalifah berada ditangan rakyat melalui majlis umat (Majlis Syura). 

Amanat kekuasaan seorang pemimpin/imam/khalifah dapat diambil Kembali oleh rakyat bila mana  pemimpin/imam/khalifah mengundurkan diri, tidak mampu menjalankan amanah karena udzur syar’I, melakukan  pelanggaran  atau tidak menjalankan amanah penegakan hukum Allah dengan benar. Sementara kedaulatan dalam sistim Islam bukan ada ditangan rakyat, melainkan ada pada pembuat hukum (Allah Swt.). Dengan penerapan  sistim Islam akan menutup celah rapat-rapat terhadap pihak-pihak yang akan menekan seorang pemimpin/imam/khalifah dalam menetapkan kebijakan pengelolaan negara untuk melayani rakyatnya. Seorang imam/pemimpin/khalifah senantiasa mempertanggungjawabkan amanahnya kepada Allah juga umat Islam. Karenanya keridhoan Allah Swt. adalah kunci keberkahan dari semua aktivitas kehidupan yang dijalankan dalam sistim kehidupan Islam. Wallahu a’laam bi ash shawaab

Purwokerto,  12 Sya’ban 1445 H / 22 Februari 2024 M

Oleh: Amir Mahmudin
Sahabat Tinta Media
Rekomendasi Untuk Anda × +

Bagikan artikel ini

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini.

Artikel Menarik Lainnya :