Tinta Media - Bagai mendorong mobil yang sedang mogok (tidak bisa berjalan) di jalan yang berpasir, maka ketika mobil tersebut telah melaju kencang, sebagai pendorong selain ditinggalkan juga mendapat debu-debu yang bertebaran.
Begitulah gambaran kondisi hari ini, menjelang pesta demokrasi (pemilu serentak). Serangan fajar atau politik uang bak garam pelengkap bumbu masakan, tidak adanya garam pada masakan seperti ada sesuatu yang kurang. Begitu pun politik uang atau serangan fajar. Hal tersebut sudah menjadi rahasia umum baik bagi para paslon, atau juga masyarakat secara umum.
Ironisnya serangan fajar sangat dinanti-nantikan oleh masyarakat, seperti oase di tengah gurun. Serangan fajar umumnya berbentuk uang. Inilah yang menjadi daya tarik bagi masyarakat yang sedang mengalami krisis ekonomi.
Dilansir dari cnbcindonesia.com, 13/02/2024, Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar mengatakan setidaknya butuh biaya hingga 40 miliar rupiah untuk bisa menjadi anggota DPR RI, di DKI Jakarta. Pria yang akrab dipanggil Cak Imin, berani buka-bukaan tentang modal yang dibutuhkan agar menjadi caleg memang cukup besar, apalagi di Jakarta. Ucap Cak Imin di Gedung Joang 45, Menteng, Jakarta, Jumat lalu (11/8/2023).
Biaya yang sangat mahal untuk maju ke kursi kekuasaan, mengharuskan para paslon mencari sponsor yang dapat membiayai seluruh rangkaian pemilu. Mulai dari rangkaian Kampanye, pemasangan umbul-umbul, membiayai tim sukses, dan serangan fajar tentunya.
Para kapital (pengusaha) menjadi tujuan sponsor para paslon, sebab merekalah yang mempunyai modal yang cukup besar. Di sisi lain mereka juga mempunyai kepentingan, terkait regulasi kebijakan. Jadi, hubungan keduanya adalah hubungan homogen (saling menguntungkan). Para paslon berkepentingan untuk duduk di kursi kekuasaan, sedangkan para kapital berkepentingan melanggengkan kekuasaan mereka terhadap Sumber Daya Alam (SDA).
Hubungan homogen atau politik balas budi, hubungan inilah yang menjadi bumerang bagi masyarakat ketika para paslon tersebut telah sukses menduduki kursi kekuasaan, bagaimana tidak penguasa hanya menjadi corong kepentingan para kapital, alih-alih menjadi perpanjangan tangan aspirasi masyarakat.
Di sinilah relevansi (hubungan) analogi di atas, masyarakat akan di tinggalkan, dan hanya mendapat debu-debu dari kepentingan antara Paslon dan para kapital. Sedangkan uang atau serangan fajar yang diterima masyarakat yang sekaligus menjadi utang budi para paslon, hal itu hanya menjadi pemanis demi mendapatkan suara masyarakat, Ironis.
Praktik politik uang/serangan fajar dikategorikan sebagai praktik sogok atau suap. Dalam Islam praktik sogok atau menyuap diharamkan, pelakunya, orang yang menerima, dan perantara suap diancam laknat Allah SWT, sebagaimana Rasulullah SAW bersabda, "Allah SWT melaknat orang yang melakukan suap, orang yang menerima suapan, dan orang yang berperan menjadi perantara antara keduanya" (HR Imam Ahmad dan ath-Thabrani).
Sistem demokrasi yang diterapkan di negeri ini, seakan memaksa seseorang untuk berbuat curang demi untuk duduk di kursi kekuasaan, rela menghalalkan segala cara, meski menabrak syari'at. Tidak ada halal haram, yang ada hanya kepentingan di atas segalanya.
Dalam Islam pemimpin adalah amanah yang sangat berat. Berat dalam timbangan dunia apatah lagi dalam timbangan akhirat. Mengurus umat yang begitu banyak, membutuhkan individu yang berkualitas, berkualitas secara keimanan dan ketundukan kepada syari'at, maupun kualitas dari segi ilmu dunia.
Berangkat dari pemahaman tentang beratnya tanggung jawab sebagai pemimpin di dalam Islam, ini meniscayakan tidak adanya para calon pemimpin, yang melakukan praktik sogok. Sebab, melakukan praktik sogok. Artinya, sebagai kriteria individu calon pemimpin saja telah gugur. Apabila bekerja sama dengan orang-orang kafir untuk kepentingan pribadi dan merugikan umat.
Oleh karena itu, hanya dengan sistem Islamlah yang akan menghasilkan para pemimpin berkualitas. Pemimpin yang menjadikan kekuasaan sebagai amanah, bukan sebagai sarana memperkaya diri. Pemimpin yang menjadikan halal haram sebagai tolak ukur dalam mengambil kebijakan, bukan menghalalkan segala cara. Pemimpin yang menjadi pelayan umat, bukan menjadi antek para kapital. Sekali lagi pemimpin seperti ini hanya didapatkan ketika Islam diambil sebagai pandangan hidup, dan diterapkan sebagai sistem pengaturan kehidupan.
Oleh: Syahdan Syarif
Sahabat Tinta Media