Tinta Media - Umat Islam pernah bersatu dalam satu kepemimpinan, sejak Baginda Nabi saw. menegakkan Daulah Islam di Madinah hingga 3 Maret 1924, runtuhnya Khilafah Utsmaniyah oleh Kemal Attaturk laknatullah. Sejak saat itu, umat dipecah oleh penjajah Barat menjadi negara-negara kecil. Seratus tahun tanpa khilafah, umat kehilangan perisai (junnah). Nasib umat seperti anak ayam kehilangan induk, menjadi santapan musuh-musuhnya.
Sekat Nasionalisme
Sejak runtuhnya Khilafah Utsmani, umat terkotak-kotak menjadi lebih dari 50 negara. Masing-masing dibatasi garis imajiner ciptaan penjajah Barat untuk melemahkan persatuan umat. Ukhuwah Islamiyah yang menyatukan umat ibarat satu tubuh terkoyak, digantikan dengan ikatan nasionalisme.
Nasionalisme mengantarkan umat pada penderitaan yang tak berkesudahan. Penderitaan rakyat Palestina adalah fakta nyata. Hampir 76 tahun, mereka hidup dalam penjajahan Zionis laknatullah. Bahkan, sejak badai Aqsa 7 Oktober 2023, kebrutalan dan kesadisan Zionis membantai rakyat Palestina tidak mampu menggerakkan penguasa-penguasa muslim di sekitarnya untuk mengulurkan bantuan, mengirim pasukan untuk menolong saudaranya seakidah. Mereka sebatas mengecam dan memberi bantuan logistik. Entah, jawaban apa yang akan mereka sampaikan di hadapan Allah kelak di hari kiamat.
Penderitaan yang sama juga dialami muslim Rohingya di bawah penindasan rezim Myanmar. Mereka mengalami diskriminasi, bahkan di genosida. Bagi yang selamat, mereka terlunta-lunta di negara lain dengan perlakuan yang tidak kalah memprihatinkan.
Begitu pun nasib muslim India menderita di bawah tekanan rezim India. Muslim Uighur dalam tekanan rezim komunis China. Berharap pada PBB untuk menyelesaikan masalah mereka seperti menegakkan benang basah. PBB merupakan kepanjangan tangan imperialis Barat.
Simbol-simbol Islam berulang kali dilecehkan. Umat hanya bisa mengecam tanpa bisa menghentikannya. Penghinaan terhadap Nabi saw. oleh Charlie Hebdo, pelecehan terhadap Al-Qur'an yang berulang kali terjadi di Denmark dan Swedia, stigmatisasi negatif ajaran Islam yang agung, yakni khilafah dan jihad masih tetap berlangsung. Umat Islam hanya bisa demonstrasi, mengecam, dan sebatas memboikot produk mereka. Faktanya, ini tidak efektif menghentikan perilaku biadab mereka.
Khalifah Perisai Umat
Seorang khalifah adalah perisai bagi umat, sebagaimana Hadis Nabi saw. yang artinya,
"Sesungguhnya seorang imam itu (laksana) perisai. Ia akan dijadikan perisai saat orang akan berperang di belakangnya, dan digunakan sebagai tameng ...." (HR Bukhari dan Muslim).
Tinta sejarah mencatat bagaimana Sultan Abdul Hamid II, meski kondisi kekhilafahan sudah mengalami kemunduran, masih mampu menjaga kehormatan Islam dan kaum muslimin. Ketika Perancis akan mementaskan teater dengan pemeran utama Baginda Nabi saw., Sultan Hamid II menggertak Perancis. Walhasil, mereka ketakutan dengan menggagalkan pementasan teater yang menghina Baginda Nabi. Demikian juga ketika Herzl hendak membeli dan mengambil tanah Palestina untuk didirikan negara Israel, khalifah mampu menyelamatkan dan mempertahankan setiap jengkal tanah kaum muslim.
Saatnya Umat Bersatu
Peperangan antara Zionis melawan Rakyat Palestina sudah berlangsung lama, sudah banyak menelan korban. Sejak 7 Oktober 2023, hampir 24.000 nyawa rakyat Palestina melayang, tidak ada yang membantu dan melindungi mereka.
Padahal, fardhu kifayah bagi penguasa muslim sekitarnya untuk mengirim tentara, membebaskan wilayah Palestina. Andai mereka bersatu, mudah bagi mereka mengusir Zionis dari wilayah tersebut. Namun, tidak satu pun penguasa-penguasa muslim tergerak membantu rakyat Palestina. Mereka menyadari ada negara adidaya AS di belakang Zionis, negara yang selama ini melindunginya.
Saatnya negeri-negeri muslim bersatu, menegakkan kembali khilafah Islamiyah sebagaimana diserukan Imam Masjidil Aqsa. Negara yang mampu menghadapi negara adidaya AS dan anak asuhannya, Zionis, adalah negara adidaya yang mengemban mabda Islam. Hanya khilafah yang mampu membebaskan Palestina sebagaimana dilakukan Amirul Mukminin Umar bin Khattab dan Shalahuddin Al Ayubi.
Meski kekuatan militer masih didominasi negara kafir harbi, baik fi'lan maupun hukman, yakni AS, Rusia, China, India, Britania Raya, bukan halangan bagi umat untuk bangkit dan bersatu. Sejarah membuktikan bahwa sedikit dan minimnya pasukan muslim bukan halangan untuk jihad fisabilillah. Dengan izin dan pertolongan Allah, jumlah pasukan muslim yang sedikit sering memenangkan peperangan, seperti Perang Badar, Perang Tabuk, dan Badai Aqsa 7 Oktober 2023.
Saatnya umat menanggalkan baju nasionalisme, sekat penghalang untuk menolong saudara seakidah yang tengah dizalimi, baik di Palestina, Rohingya, India, maupun Uighur. Atas nama nasionalisme, umat membiarkan saudaranya seakidah dibantai dan dizalimi orang-orang kafir. Nasionalisme haram hukumnya, sebagaimana Sabda Baginda Nabi saw. yang artinya,
"Bukan golongan kami orang yang menyerukan 'ashabiyah (fanatisme)', bukan golongan kami orang yang berperang demi 'ashabiyah, dan bukan golongan kami orang yang mati mempertahankan 'ashabiyah." (HR Abu Daud).
Saatnya umat bersatu dalam satu kepemimpinan, satu bendera dalam naungan khilafah Islamiyah, institusi pelindung yang akan menjaga kehormatan, harta, darah Islam dan kaum muslim. Wallahu a'lam bishawab.
Oleh: Ida Nurchayati
Sahabat Tinta Media