Revolusi Mental - Tinta Media

Minggu, 25 Februari 2024

Revolusi Mental



Tinta Media - Ngeri-ngeri sedap melihat mental pemuda saat ini. Masih teringat jelas 10 tahun lalu ketika gerakan revolusi mental digaungkan. Dalah satunya di institusi pendidikan. Tujuannya adalah untuk membentuk karakter siswa supaya memiliki budi pekerti yang luhur. 

Sepuluh tahun lalu juga masih terngiang bagaimana revolusi mental digunakan guna menghapus korupsi, juga berbagai aksi kriminalitas lain.

Sepuluh tahun telah berlalu, tetapi revolusi mental ternyata bukan solusi atas degradasi moral pemuda negeri ini. Mereka yang masih disebut ‘remaja’ bukan hanya melakukan aksi kenakalan macam tawuran di jalan. Namun, lebih mengenaskan saat mereka jadi pelaku tindak kejahatan.

Seperti yang terjadi baru-baru ini, seorang pemuda yang 20 hari sejak dia melakukan aksi pembunuhan akan berusia 17 tahun, melakukan aksi keji membantai  satu keluarga di Panajam Paser Utara. Motifnya tak jauh dari kisah asmara yang ditolak. Akhirnya, golok pun bertindak. Sebegitu rapuhkah mental pemuda hari ini sampai harus membantai satu keluarga saat cinta ditolak? 

Dalam kasus lain, saat orang tua tak mampu memenuhi banyak maunya, tak segan seorang anak menganiaya dan menghilangkan nyawa mereka yang merawatnya sejak bayi. Duh, rasanya sudah kehabisan kata untuk menggambarkan perilaku pemuda saat ini. 

Mau menghujat juga serba salah karena faktanya semua itu bukan sepenuhnya salah mereka juga. Mungkin saja tanpa kita sadari, ada sumbangsih kita, masyarakat, bahkan negara yang telah lalai untuk mengarahkan dan mengondisikan mereka supaya tumbuh jadi pemuda hebat. 

Saat ini, pemuda dipaksa untuk tumbuh dalam lumpur kotor, padahal mereka adalah sosok yang diharapkan untuk jadi mutiara umat. Instansi pendidikan juga tampaknya tak mampu mengemban revolusi mental bagi siswa. 

Saat ini sekolah disibukkan dengan berbagai administrasi akreditasi bagi guru dan sekolah. Hal itu mengalihkan fokus guru untuk mendidik muridnya. 

Era kapitalisme juga telah mengalihkan orientasi sekolah untuk mencari uang, bukan mengajarkan ilmu, apalagi membentuk karakter siswa. 

Maka, revolusi mental jelas bukanlah solusi. Sangat disayangkan ketika kita mendefinisikan pemuda usia di bawah 17 tahun masih dalam kategori anak di bawah umur. Konsekuensinya, jika mereka melakukan pelanggaran hukum, tak ada hukum tegas yang mampu menjeratnya.
 
Hal ini sangat berbeda ketika Islam menetapkan akil baligh sebagai batasan seseorang bertanggung jawab atas perbuatannya. Karena itu, saat ada seseorang yang melakukan pelanggaran hukum syara’, maka hukumannya akan diterapkan dengan tegas. 

Saat dia membunuh, maka akan ada qisas, yakni hukuman yang setimpal dengan perbuatan yang dilakukannya.

Pun ketika Islam diterapkan dalam berbagai aspek kehidupan, maka individu, masyarakat, juga negara berperan untuk membangun situasi kondusif untuk membentuk pemuda yang taat dan juga siap melanjutkan kegemilangan peradaban Islam.

Demikianlah Islam memandang pemuda sebagai potensi yang luar biasa untuk dijaga dan dibentuk menjadi sosok tangguh yang kelak menjadi harapan peradaban Islam.


Oleh: Elis Sulistiyani
Pengasuh Komunitas Muslimah Perindu Surga
Rekomendasi Untuk Anda × +

Bagikan artikel ini

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini.

Artikel Menarik Lainnya :