Penanggulangan Bencana ala Islam, Optimal dan Maksimal - Tinta Media

Sabtu, 03 Februari 2024

Penanggulangan Bencana ala Islam, Optimal dan Maksimal



Tinta Media - Berbagai bencana alam yang saat ini kerap menimpa sejumlah wilayah Indonesia, terjadi bukan tanpa sebab. Selain sudah kehendak Allah Swt. bencana ini juga terjadi karena kerusakan alam yang disebabkan ulah tangan manusia yang tak bertanggung jawab. Oleh sebab itu, peran negara untuk mencegah dan menanggulangi bencana harus dilakukan dengan upaya keras, agar dampak bencana bisa diminimalisir.

Terkait hal itu, Pemkab Bandung mempersiapkan logistik, peralatan evakuasi dan kebutuhan yang berkaitan dengan penanggulangan bencana, serta meminta pemerintah kecamatan hingga desa dan kelurahan untuk waspada dan responsif terhadap bencana. Pemkab juga sudah menyiapkan anggaran BTT (Belanja Tidak Terduga) sebesar Rp20 miliar untuk penanganan pasca bencana. Selain itu, dibutuhkan juga kerja sama antara masyarakat, BPBD, TNI, dan POLRI dalam penanggulangan bencana.

Bencana alam yang datang silih berganti tidak bisa dianggap hal yang biasa. Selain merusak infrastruktur, juga membahayakan nyawa manusia. Oleh karena itu, sebagai motor sebuah negara, pemerintah betul-betul harus serius menangani persoalan bencana ini dalam upaya penanggulangannya.

Walaupun segala kebutuhan penanggulangan bencana sudah disiapkan, termasuk anggaran BTT yang tidak sedikit, tetapi yang menjadi kekhawatiran adalah apakah anggaran sebesar itu betul-betul digunakan untuk penanggulangan bencana?

Jika melihat fakta di lapangan saat bencana terjadi, biasanya logistik yang sudah ada dalam anggaran hanya disiapkan ala
kadarnya, tidak sesuai dengan BTT yang diajukan. Akhirnya, anggaran yang disiapkan seperti menghilang dan mitigasi yang dilakukan tidak mampu menyentuh pada akar permasalahan yang sesungguhnya.

Inilah kenyataan yang kita hadapi ketika sistem sekuler kapitalisme diterapkan dalam mengatur aspek kehidupan. Salah satunya penanggulangan bencana. Sistem yang berorientasi pada asas manfaat dan materi ini menjadikan penguasa materialistis, sehingga abai terhadap kehidupan rakyat dan pelestarian lingkungan.

Sistem yang rusak ini membuat penguasa tunduk pada pemilik modal. Salah satunya dengan pengesahan UU Cipta kerja yang sarat kepentingan pemilik modal. UU ini tidak ada keberpihakan pada rakyat kecil dan juga kelestarian lingkungan. Akhirnya, para pemilik modal bebas mengeksploitasi SDA dan mengeruk keuntungan sebesar-besarnya, tanpa memikirkan dampak buruk yang akan terjadi bagi alam dan masyarakat.

Selain itu, berdasarkan catatan Republika.co.id, dana penanggulangan bencana kerap disalahgunakan oleh para pemangku kepentingan, mulai dari oknum pejabat pemerintah, legislatif, hingga pihak swasta. 

Seperti kasus korupsi pada proyek sistem penyediaan air minum (SPAM) di daerah terdampak tsunami di Palu, dana penanganan gempa tsunami di Nias, dana penanganan tanah longsor di Majalengka, korupsi logistik bencana Kudus, proyek dana renovasi gedung pendidikan terdampak gempa di NTB, dan masih banyak lagi kasus korupsi lainnya.

Banyaknya kasus korupsi pada anggaran bencana ini, menjadi bukti bahwa sistem sekuler kapitalisme adalah sumber masalah dari ketidakmampuan pemerintah dalam menanggulangi bencana alam. Alhasil, anggaran tersebut disalahgunakan, dijadikan ladang bagi tikus berdasi untuk memperkaya diri dan kelompoknya. Jadi, seberapa pun besar anggarannya, kalau penguasanya tidak amanah, maka penanganan pasca bencana tetap ala kadarnya.

Kasus korupsi yang semakin marak di negeri ini, selain karena kurang pengawasan dari pemerintah dan penegak hukum dalam pencairan dana dan pendistribusian logistik penanganan bencana, juga tidak ada hukuman yang maksimal, yang mampu membuat efek jera untuk pelaku korupsi. Bagaimana rakyat bisa tertangani dengan baik jika masih banyak tangan-tangan usil yang mencuri hak rakyat?

Karena itu, dibutuhkan sistem aturan yang mempunyai anggaran tetap untuk masalah tanggap darurat dalam berbagai bencana, dengan tanggung jawab penuh terhadap keselamatan dan pemulihan mental masyarakat serta lingkungan pasca bencana. Sistem itu adalah sistem Islam.

Pemerintah harus belajar dari sistem Islam (khilafah). Dalam sistem ini, rakyat selalu menjadi prioritas. Negara wajib meriayah (mengurusi) rakyat, dalam kondisi apa pun, termasuk saat bencana terjadi. 

Pemahaman bahwa manusia dan alam tidak bisa dipisahkan, betul-betul harus dipahami oleh umat Islam. Maka dari itu, Allah Swt. menurunkan Islam bukan hanya sebagai agama ritual saja, tetapi sebagai sebuah ideologi yang mampu memecahkan problematika kehidupan.

Termasuk pencegahan dan penanganan pasca bencana, Islam memiliki mekanisme sebagai berikut:

Pertama, adanya pemimpin yang memiliki mafhum ra'awiyah atau pemahaman mengurus. Pemahaman ini menjadikan penguasa sadar betul bahwa kekuasaan adalah amanah yang harus dipertanggungjawabkan di dunia dan akhirat. Pemimpin seperti ini akan berpikir keras dan bekerja optimal agar kebijakannya tidak membahayakan lingkungan dan manusia. 

Ini termasuk juga amanah dalam menggunakan anggaran penanggulangan pasca bencana. Anggaran tersebut akan sepenuhnya dialokasikan untuk kebutuhan rakyat. Pemimpin sepenuhnya sadar bahwa ada Allah Ta'ala terus mengawasinya. Maka dari itu, dia tidak akan meninggalkan celah sedikit pun untuk tangan-tangan usil perampok hak rakyat seperti dalam sistem sekuler kapitalisme. 

Sistem Islam mempunyai sanksi berat bagi pelaku pencuri uang rakyat (koruptor), yaitu hukuman potong tangan, sehingga membuat efek jera bagi pelaku dan orang lain.

Kedua, semua pihak harus menyadari bahwa Allahlah pemilik alam semesta. Sehingga, penguasa dan masyarakat tahu bagaimana  pemanfaatan dan pengelolaan lingkungan, dengan tidak merusaknya, tidak boleh berlebihan, dan tidak boleh zalim. Maka, jika manusia masih nekat berbuat zalim terhadap alam, maka Allah dengan kekuasaan-Nya, akan memberi peringatan kepada manusia melalui bencana alam. 

Selain itu, pemanfaatan SDA wajib terikat syari'at, harus dilakukan dengan berserikat karena merupakan harta kepemilikan umum. Harta ini tidak boleh dikuasai oleh pihak asing, swasta, pemilik modal, oligarki, dan teman-temannya. 

Rasulullah bersabda, "Kaum muslimin berserikat dalam 3 hal, yakni air, rumput, api, harganya adalah haram." (HR. Ibnu Majah). 

Penguasa bertindak sebagai pengawas, agar dalam pemanfaatan SDA tidak menimbulkan bahaya (dharar).

Oleh karena itu, jangan pernah menaruh harapan hidup sejahtera pada sistem sekuler kapitalisme. Hanya dengan penerapan syariah secara kaffah, pencegahan dan penanganan pasca bencana dapat dilakukan dengan optimal dengan anggaran yang maksimal. Wallahualam.

Oleh: Neng Mae
Sahabat Tinta Media


Rekomendasi Untuk Anda × +

Bagikan artikel ini

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini.

Artikel Menarik Lainnya :