Pajak Berhasil Melebihi Target, Positif atau Negatif? - Tinta Media

Selasa, 06 Februari 2024

Pajak Berhasil Melebihi Target, Positif atau Negatif?



Tinta Media - Indonesia adalah negeri yang begitu luas. Tidak hanya jumlah penduduknya yang banyak, akan tetapi Allah SWT menganugerahkan Sumber Daya Alam (SDA) yang luar biasa, baik di darat maupun di laut. Namun kekayaan itu tidak menjamin kehidupan rakyat sejahtera dan terpenuhi semua kebutuhannya. Kehidupan justru semakin mencekik rakyat dengan diwajibkannya membayar pajak. 

Seruan Kepatuhan Bayar Pajak oleh Penguasa 

Pajak merupakan salah satu pilar utama pemasukan negara, yang mana rakyat diwajibkan untuk membayar pajak dengan besaran dan rentang waktu tertentu. Saking seriusnya pemerintah menanggapi soalan pajak ini, Kepala Kantor Pelayanan Pajak (KPP) menggandeng jajaran pemerintahan untuk mengimbau rakyat mematuhi bayar pajak. Dikutip dari Kahaba, Kepala KPP Pratama Raba Bima, Wahyudi melakukan audiensi terkait perpajakan dengan Pj. Walikota Bima, H. Mohammad Rum pada Rabu, 10 Januari 2024. Wahyudi menjelaskan, bahwa penerimaan perpajakan untuk wilayah Kota Bima sepanjang 2023 berhasil melebihi target 100 persen dan mencatatkan pertumbuhan sebesar 4 persen. "Meski masih didominasi oleh sektor pemerintahan, namun terdapat pula sektor lain yang berperan besar mendorong pertumbuhan. Seperti sektor perdagangan, sektor transportasi dan pergudangan", ungkap Wahyudi. 

Beliau menjelaskan bahwa penerimaan pajak di Kota Bima dari sektor pemerintahan mendominasi dengan kontribusi hingga 46,51 persen. Total pajak yang dipungut oleh pemungut (instansi pemerintah) di Kota Bima juga mengalami peningkatan sebesar 5,03 persen dari sebesar Rp 77,2 miliar pada tahun 2022 menjadi sebesar Rp 81,1 miliar pada tahun 2023. Kemudian perdagangan otomotif menempati posisi terbesar kedua di Kota Bima dengan penerimaan pajak sebanyak Rp 49,5 miliar atau berkontribusi sebesar 28,33 persen dengan pertumbuhan sebesar 8,77 persen. 

Sementara itu, H Mohammad Rum mengimbau kepada seluruh jajaran masyarakat Kota Bima, khususnya jajaran Aparatur Sipil Negara (ASN) untuk segera melakukan pemadanan NIK-NPWP sebelum 30 Juni 2024, juga melakukan pelaporan SPT tahunan sebelum tanggal 31 Maret 2024. Selain itu, ia juga menyempatkan untuk memberikan testimoni dan dukungan kepada KPP Pratama Raba Bima guna memperoleh predikat Zona Integritas Wilayah Bersih Bebas Melayani (ZI-WBBM) untuk tahun 2024. Di akhir pertemuan, Kepala KPP Pratama Raba Bima juga menyampaikan apresiasi atas dukungan dan kontribusi masyarakat Kota Bima dalam menyukseskan program-program perpajakan. 

Pajak, Kebijakan Mezalimi Rakyat 

Dalam sistem demokrasi yang sekuler kapitalistik hari ini, pos pemasukan utama negara adalah pajak dan utang luar negeri. Pajak merupakan pungutan wajib yang dibayarkan oleh penduduk kepada negara yang dilakukan secara terus menerus dan bersifat permanen. Pajak dipungut dari semua kalangan, baik orang kaya maupun orang yang berpenghasilan menengah ke bawah, bahkan orang miskin sekalipun berdasarkan pemasukan yang didapat. Kalaupun tidak dipungut lewat penghasilan, maka bisa dikenakan lewat pemasukan lain atau jenis barang yang dimiliki. 

Dalam sistem sekuler hari ini hal tersebut sangat wajar terjadi. Negara memalak dan memaksa masyarakat untuk patuh kepada aturan yang dibuat karena negara punya kendali besar dalam membuat aturan tanpa melihat apakah mezalimi rakyat atau tidak. Inilah wajah buruk sistem demokrasi yang tidak melihat dan tidak peduli dengan kemaslahatan rakyatnya. 

Andaipun negara berharap pajak sebagai salah satu pemasukan yang akan menstabilkan keuangan dan ekonomi negara serta berharap dengan penarikan pajak mampu menyelesaikan permasalahan negeri, itu adalah hal yang mustahil. Karena dengan total besaran pajak yang akan dipungut dari rakyat saja, tetap tidak akan bisa membayar serta menutup utang negara. Sebagaimana yang kita ketahui, utang negara kian hari kian buruk dengan bunga yang terus berlipat-lipat. Maka jika pendapatan saja selalu minus, kesejahteraan seperti apa yang dimaksud? 

Dalam sistem sekuler saat ini pajak merupakan pemalakan paksa oleh pemerintah kepada rakyat. Dibebankan kepada semua rakyat termasuk orang miskin. Kebijakan seperti ini sangat wajar dalam sistem sekarang karena asas yang dipakai adalah pemisahan agama dari kehidupan termasuk pemerintahan. Negara tidak hadir sebagai raa'in (pengatur) urusan rakyat, justru sebaliknya negara malah menzholimi rakyat. Negara hadir sebagai pelayan oligarki dan pemilik modal saja. 

Sistem Keuangan Negara Islam 

Yang perlu kita garis bawahi, bahwa di dalam negara Islam pajak (dharibah) memang ada, tetapi bukan menjadi pemasukan utama apalagi sebagai pilar penopang ekonomi negara. Islam dengan sistem aturan-Nya yang sempurna mampu mewujudkan sistem keuangan dan ekonomi terbaik, yang memiliki ketahanan menghadapi krisis. Asy-Syari' menetapkan sumber pemasukan di Baitul Mal negara berdasarkan beberapa pos, dan hal ini pun telah dipraktikkan oleh Rasulullah saw. serta para khulafa'ur rasyidin. 

Di antara sumber pemasukan negara Islam secara umum ada tiga sumber, yaitu: (1) bagian fa'i dan kharaj yang meliputi ghanimah termasuk anfal, fa'i dan khumus (seperlima harta fa'i), kharaj, sewa tanah-tanah milik negara, jizyah, barang temuan, waris yang tak ada pewarisnya, harta sitaan, pajak; (2) bagian kepemilikan umum yang meliputi minyak dan gas, listrik, pertambangan, laut, sungai, perairan, mata air, hutan, padang rumput, aset produktif yang dikuasai negara, misalnya yang berasal dari wakaf; (3) bagian shadaqah yang terdiri dari shadaqah wajib seperti zakat harta dan perdagangan yang berupa uang (emas/perak), zakat pertanian, buah-buahan, dan ternak. 

Jika negara misalnya mengoptimalkan incomenya lewat pos ke-2, tak terbayang besarnya besaran materi yang akan diperoleh, mengingat SDA di Indonesia begitu kaya. Belum lagi pos pertama dan ke-3. Negara bisa memenuhi kesejahteraan rakyat, tanpa harus utang atau repot-repot menarik pajak rutin. 

Pajak sendiri adalah pungutan negara yang sifatnya insidental. Ia hanya akan dilakukan jika ada kondisi kas baitul maal kosong, namun ada tuntutan untuk memenuhi pengeluaran wajib (misal kebutuhan jihad). Maka negara akan melakukan penghitungan dengan seksama terkait kebutuhan yang defisit, untuk kemudian dipungut pajaknya kepada kaum muslimin dalam rentang waktu tertentu. 

Terkait pajak ini, meski beban tersebut menjadi kewajiban rakyat, namun yang diwajibkan hanya aum muslim. Itu pun tidak semuanya. Pajak hanya diambil dari mereka yang mampu saja. Begitu kebutuhan negara terpenuhi dan kas kembali mencukupi, maka pungutan pajak akan langsung dihentikan. 

Di samping itu, negara juga mempunyai kewajiban untuk menyejahterakan rakyat dengan berbagai kebijakan politik yang mendukung. Dengan politik Islam, negara hadir sebagai junnah dan mengurus urusan umat, termasuk menjamin semua kebutuhan dasar manusia seperti sandang, pangan, dan papan. Negara yang mempunyai tugas untuk mengurusi tadi harus memiliki harta yang bisa digunakan untuk melakukan kewajibannya terhadap rakyat. 

Harta itulah yang telah disebutkan di awal yang berasal dari pos pemasukan Baitul Mal. Pos tersebut yang nantinya memiliki jalur pengeluarannya masing-masing. Sehingga umat atau rakyat tidak diwajibkan bayar pajak secara permanen seperti yang terjadi hari ini. Agar semua itu terwujud, sudah menjadi kewajiban kita sebagai muslim untuk terus memperjuangkan Islam hingga kelak sistem sekuler kapitalisme yang zalim ini tergantikan oleh sistem Islam dalam naungan khilafah yang terbukti menyejahterakan. 

Wallahu a'lam.

Oleh : Paramita, Amd. Kes.
Sahabat Tinta Media 

Rekomendasi Untuk Anda × +

Bagikan artikel ini

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini.

Artikel Menarik Lainnya :