Tinta Media - 'Kewarasan itu tercermin dari cahaya dalam dirimu. Ketakwaan, kesabaran, dan keistikamahan'.
Berangkat dari quotes di atas, dapat kita petik pelajaran bahwasanya kewarasan berasal dari diri, yakni ketakwaan, kesabaran, dan keistikamahan. Hal tersebut harus dikaitkan dengan Maha Pencipta, apalagi dalam konteks tahun politik saat ini.
Sedih, simpati, dan berempati ketika melihat dan menyaksikan umat yang selalu disodori janji manis dan kartu di ajang lima tahunan. Janji itu pun ada yang ditepati dengan syarat dan ada yang tidak dipenuhi.
Upaya caleg dan capres-cawapres menampakkan keseriusan dalam mengumbar janji manis tersebut. Maka, konten-kontennya pun dibuat semenarik mungkin di media sosial.
Sebagai umat terbaik, yang diberi Allah pemikiran, sejatinya hal itu mesti menjadi perhatian serius. Apalagi terkait janji lima tahunan tersebut, seperti makanan gratis, susu gratis, ciptakan 17 juta lapangan kerja, kemudahan birokrasi, dan lain-lain. Apakah narasi itu akan terwujud 100%? Apakah berdampak bagi keberlangsungan kehidupan umat? Tentu pertanyaan itu selalu menggelayut di pikiran kita.
Janji manis dari caleg atau capres-cawapres mesti disadari bahwasanya hal itu hanya lip service untuk mendulang suara. Namun, yang menjadi substansi adalah perlunya kesadaran umat bahwa pemilu di alam demokrasi telah meniscayakan manusia untuk membuat hukum. Jelas sekali ini bertentangan dengan Islam yang menyatakan bahwa pembuat hukum hanyalah Allah Swt.
Sebagaimana tertuang dalam firman Allah,
"Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah." ( TQS. Al An'aam: 57)
Nah, dengan kesadaran inilah umat Islam sebagai umat terbaik akan terjaga kewarasan. Jika yang diucapkan itu tidak ditepati, maka ia ingkar. Tentulah kita memahami bahwa ingkar janji termasuk tanda-tanda orang munafik.
Sebagaimana Rasulullah bersabda, "Tanda-tanda orang munafik itu ada tiga, apabila berbicara ia bohong, apabila berjanji ia ingkar, apabila dipercaya ia mengkhianati". (Hadist Riwayat Bukhari).
Berpegang pada Syariat Islam
Setiap muslim dalam mengarungi kehidupan harus selalu berupaya berpegang pada syariat Islam. Sesuai kaidah fiqh "al-ashlu fi al-af'al at-taqayyudu bi al-hukmi asy-syar'iy (hukum asal perbuatan adalah terikat dengan hukum syariat)
Untuk menjaga kewarasan di tahun politik ini, ada beberapa hal yang perlu dilakukan:
Pertama, menguatkan ketakwaan. Bekal takwa ini merupakan benteng dalam menghadapi gempuran setiap harinya. Tentu lebih kuat lagi tekanan dan godaan di tahun politik ini.
Allah Swt. berfirman,
"Seandainya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi." (TQS. Al A'raf: 59).
Kedua, kesabaran. Menghadapi situasi sulit dan morat-marit ini amatlah diperlukan kesabaran. Kondisi ekonomi yang susah, tekanan hidup yang lain terus menerpa. Agar kewarasan tetap terjaga, maka kita harus sabar dan selalu berjalan sesuai koridor syariat Islam.
Ini sesuai dengan firman Allah Swt.
"Sungguh Kami akan menguji kalian dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikan kabar gembira bagi orang-orang yang sabar." ( TQS. Al-Baqarah: 155).
Ketiga, Keistikamahan. Senantiasa idrak silabillah harus terus dikuatkan. Amar makruf tidak boleh berhenti dan tetap melaju. Dengan semua itu, maka kewarasan kita aman terjaga.
Sebagaimana firman Allah Swt.
"(Yaitu) orang-orang (menaati Allah dan Rasul) yang ketika ada orang-orang mengatakan kepadanya 'Orang-orang (Quraisy) telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu, karena itu takutlah kepada mereka,' ternyata ucapan itu menambah kuat iman mereka dan mereka menjawab," Cukuplah Allah menjadi penolong bagi kami dan Dia sebaik-baik pelindung." (TQS. Ali Imran: 173).
Maka, seharusnya hal itu tidak hanya ada pada diri kita sendiri, tetapi kita harus mengajak saudara, teman, kerabat, dan lain sebagainya. Maknanya adalah secara kolektif dan komprehensif. Semoga Allah memberikan berkah bagi negeri ini. Aamiin.
Oleh: Muhammad Nur
Sahabat Tinta Media