Tinta Media - Fitrah manusia menyukai dan cenderung pada kebenaran. Dengan kebenaran manusia menjadi mulia. Demi kebenaran manusia rela melakukan dan mengorbankan apa pun. Manusia memahami bahwa kebenaran mendatangkan kebahagiaan ketika diperoleh, dipertahankan dan disebarluaskan. Namun anehnya saling klaim kebenaran dari sudut pandang berbeda menjadikan kebenaran seolah ditentukan oleh siapa yang menyampaikan kebenaran itu. Siapa yang paling kuat dan mendominasi maka dialah yang akan memenangkan kebenaran sesuai versinya.
Menurut KBBI kebenaran adalah keadaan yang cocok dengan hal sesungguhnya. Qadhi dan Ulama alumni Al-Azhar Mesir, Taqiyuddin An Nabhani menjelaskan bahwa kebenaran dinilai dengan nash Syar’i. Nash syar’i sendiri bersumber dari Al-Qur’an, As-Sunnah, Ijma’ Sahabat dan Qiyas Syar’iiyah. Dikatakan benar bila sesuai, dikatakan keliru bila sebaliknya. Beliau menegaskan bahwa menilai kebenaran bukan berdasarkan suara mayoritas, dengan kata lain suara mayoritas bukan standar menilai benar atau salahnya sesuatu.
Penerapan sistem sekuler dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara menjadikan rakyat di dalamnya memiliki ikatan rapuh berdasarkan identitas dan kepentingan, melahirkan aturan yang menguntungkan pembuatnya, mewujudkan perasaan marah dan bencinya rakyat seuai aturan tersebut. Sistem ini memiliki ciri yang nyata dalam bentuk dipisahkannya agama dari urusan kehidupan. Agama hanya diberi tempat pada urusan individu seputar ibadah mahdhah, perkawinan, talak dan akhlak, sedangkan urusan lain di atur berdasarkan aturan yang dilahirkan dan bersumber dari akal manusia. Kebenaran dalam sistem sekuler ditentukan oleh sistem tersebut yang menempatkan suara mayoritas sebagai penentu benar dan salah.
Dengan standar menentukan kebenaran berdasarkan suara mayoritas, menjadi dianggap wajar praktik politik uang dalam ajang pemilu dengan aneka dalih, pemberlakuan pajak sebagai sumber pendapatan dianggap benar karna banyak yang mampu dibiayainya, riba dianggap solusi menguntungkan kedua belah pihak antara peminjam dan yang memberi pinjaman, hutang luar negeri yang tak gratis juga dianggap lumrah, korupsi, kolusi, nepotisme juga sah-sah saja asal tidak ada pengaduan dan pihak yang dirugikan, membuka aurat di tempat umum, pergaulan pria-wanita non mahram bercampur baur dianggap kultur, LGBT dianggap sebagai yang harus diakui dan dibela, dan sekian fenomena kehidupan dianggap tak mengapa selama mayoritas membenarkannya, seringnya pembenaran itu dalam wujud mendiamkan.
Kebenaran berdasarkan suara mayoritas juga diusung melalui media tulisan. Baik dalam bentuk karya sastra seperti puisi, novel maupun juga dalam bentuk opini, makalah, karya tulis, dll. Gugatan terhadap perda syari’at, monsterisasi sistem khilafah dan panji Rasulullah, serangan pada niqab dan busana muslimah, vonis mabok agama bagi mereka yang ingin berislam secara benar, upaya peleburan dan pengaburan agama (Islam) dalam bentuk moderasi beragama, merupakan sekelumit contoh tema tulisan yang diusung kubu ini.
Disisi lain, internal umat Islam sendiri juga terindikasi menggunakan media tulisan sebagai alat untuk menyerang pihak lain yang berbeda pandangan fiqih, bahkan vonis bid’ah terhadap bentuk amaliah khair tak jarang menjadi sebab timbulnya pertikaian. Hasil kajian maupun pandangan keagamaan terhadap topik tertentu, seperti menasihati penguasa di depan umum, larangan meng-ghibah penguasa, klaim wajib memilih pemimpin dalam sistem sekuler, juga disajikan dalam bentuk tulisan. Akibatnya banyak pembaca terpengaruh dan bersikap sesuai dengan apa yang dibaca, karena dianggap benar.
Upaya untuk menggugat, mengkritisi dan menjelaskan ketidakmampuan sistem sekuler sebagai pondasi lahirnya aturan, hukum dan pendapat yang diadopsi saat ini sering kali direspons dengan tuduhan radikal dan berbahaya. Tulisan-tulisan yang mengkritisi dan memberi solusi tambal sulam tak jarang diakomodir sebagai sumber informasi pembaca, namun tulisan yang mengkritisi, menjelaskan persoalan dan menawarkan solusi fundamental (seperti pergantian sistem) dianggap menimbulkan polemik dan memberi efek negatif bagi sebagian media massa mayor.
Begitu masifnya arus informasi melalui media tulisan, begitu pengusung sistem sekuler memproduksi tulisan dan menyebarkannya, familiarnya masyarakat dengan media sosial, bahkan adanya media-media online Islami yang di gagas penulis muslim menjadi tantangan sekaligus peluang untuk menghadirkan tulisan-tulisan yang membawa pesan kebenaran sesuai fitrah manusia. Dalam kitab Nidzamul Islam, An Nabhani menjelaskan bahwa fitrah manusia itu meliputi kepuasan akal dan ketenteraman jiwa. Saatnya penulis muslim mengambil bagian memenangkan Islam lewat tulisan.
Oleh: Abah Afiji
Pegiat Islam politik